"Haiiittttt....!" Dia membentak de-ngan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.
"Wuuusssss....!" kembali dia kehilang-an lawan dan hanya melihat bayangan merah berkelebat.
Cengkeramannya luput dan dia melihat bayangan itu berada di sebelah kanannya.
Cepat kakinya yang kiri melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim tendangan ke arah tubuh Sian Li.
Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung kekuatan otot yang besar.
Kembali tendangan itu luput dan se-belum kaki itu turun, Sian Li sudah me-loncat ke depan, kakinya yang kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan.
Karena pada saat itu kaki kiri Hek-bin-gu se-dang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya didorong kaki dari belakang, tanpa dapat dicegahnya lagi kaki kanan-nya ikut pula terangkat ke atas.
"Bluggggg....!" Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul terlebih dahulu dan debu pun beterbangan.
Biarpun tubuhnya kebal, namun sekali ini Hekbin-gu meringis kesakitan.
Seperti patah-patah tulang punggungnya terbawah ketika berat badan-nya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan kerasnya.
Dan sekali lagi temantemannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Bagai-mana mungkin gadis itu dalam dua gebrakan telah membuat orang terkuat diantara mereka dua kali terbanting jatuh" Hek-bin-gu bukan sekadar heran saja, akan tetapi dia lebih merasa penasaran dan marah, tetap tidak mau meng-akui bahwa dia kalah jauh dibandingkan lawannya.
Sambil menggereng dia me-lupakan rasa nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, menghampiri Sian Li.
Tanpa disadarinya, jalannya agak terseok seperti kerbau pincang kaki bela-kangnya.
"Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!" Setelah berkata demi-kian, Hek-bin-gu menerjang dan menye-rang.
Sekali ini, dia bukan sekedar me-nubruk dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan me-nyerang dengan jurus-jurus ilmu silat, memukul dan menendang.
Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu meng-elak ke samping.
Hek-bin-gu menyusulkan hantaman yang diseling tendangan, akan tetapi sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas.
Dia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kem-bali dia kalah cepat.
Kedua kaki Sian Li bergerak.
"Plak! Desss....!" Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras dan sekali ini, hidung-nya bercucuran darah karena bukit hi-dungnya patah oleh tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal, dan membuat kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan--kawannya untuk mengeroyok! Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walaupun kelihatan le-mah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata me-reka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi.
Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta.
Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya ber-hadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tidak berisi apa-apa kecuali nafsu angkara murka.
Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan mereka.
Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun sambil merangkak.
Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukan-nya itu tepat sekali.
Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan em-pat buah kakinya.
"Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanya seekor kerbau.
Tentu saja engkau tidak akan memegang janji.
Tapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!" Tiba--tiba tubuhnya meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.
Dua belas orang itu terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bin-gu.
Kakinya me-nendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda penarik kereta.
Karena jatuh-nya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu.
Tentu saja, biarpun dia masih nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah, menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari ko-toran itu.
Akan tetapi dia mengeluh kesakitan ketika tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah.
Bau ko-toran itu yang memasuki mulut dan hi-dungnya tidak hanya membuat dia mun-tah-muntah, akan tetapi juga megap--megap karena sulit bernapas.
Dua belas orang anak buahnya men-jadi marah sekali dan sambil berteriak--teriak mereka menyerbu, mengeroyok Sian Li seperti segerombolan anjing sri-gala mengepung seekor singa betina.
Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat ping-gangnya.
Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangan.
Suling itu pemberian Kam Bi Eng isteri kakek Su-ma Ceng Liong.
Kemudian, begitu suling-nya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik de-ngan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga.
Itulah ilmu pedang Liong--siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kim--siauw-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Bukan main hebatnya ilmu ini.
Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambarnyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan--teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu pun roboh satu demi satu.
Ada yang tertotok lumpuh, ada yang terkena tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting.
Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua! Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya melari-kan diri, diikuti oleh dua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit--birit dan terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.
Sian Li tertawa geli lalu menghampiri ayah ibunya.
Kao Hong Li tersenyum, teringat akan kesukaannya mempermain-kan orang-orang jahat di waktu mudanya.
Akan tetapi puterinya ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi.
Sedangkan Sin Hong mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.
"Kenapa, Ayah?" tanya Sian Li.
"Ke-napa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?" "Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh me-reka atau melukai berat.
Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan meng-hina orang.
Yang kaulakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan.
Kenapa tidak kaurobohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?" "Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku.
Memang baru puas hatiku kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu agar mereka jera untuk menghina orang lagi." "Sudahlah," kata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka.
"Sian Li kadang masih kekanak-kanakan.
Eh, Sian Li, kenapa engkau tadi mempergunakan dan memaikan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun" Dan kulihat engkau tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan." "Aih, apakah Ibu tidak tahu" Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolaholah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan ketika mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku.
Kalau aku melawan dengan Ang-ho Sin-kun aku terpaksa menggunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka.
Ihh, aku tidak mau!" Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya.
"Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu.
Jangan terlalu memandang rendah orang lain.
Mereka pun manusia, walaupun mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci" Yang tidak mengerti tentu akan mengira engaku bertingkah dan banyak lagak." Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah.
Ibunya yang melerai.
"Aihhh, sudahlah.
Engkau tidak tahu akan perasaan wanita.
Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan.
Jangan terlalu salahkan Sian Li.
Orang-orang itu memang menjemukan!" Sin Hong menghela napas panjang.
Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li.
Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li.
Pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka! "Mari kita lanjutkan perjalanan." akhir-nya Sin Hong berkata.
Mereka naik kem-bali ke atas kereta dan Sin Hong men-jalankan kereta menuju ke timur.
Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya.
Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh.
Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal.
Sin Hong sendiri beristira-hat, melenggut di dalam kereta, mem-biarkan isteri dan puterinya mempersiap-kan makan siang.
Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk di-hembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di dae-rah yang berbukit dan lengang itu.
Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana.