Si Tangan Halilintar Chapter 60

NIC

“Ayahmu dimakamkan di sana? O ya, engkau belum mengatakan siapa mendiang ayah kandungmu itu, Siauw Beng”.

“Mendiang ayah yang belum pernah ku lihat itu bernama Lauw Heng San”. “Setelah mengunjungi makam ayahmu, engkau lalu pergi ke kota raja?”.

“Ya, kami ingin melihat-lihat kota raja dan menyaksikan sendiri apakah benar Kaisar Kang Shi merupakan Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) yang bijaksana dan kabarnya kini sedang berperang melawan bangsa Mongol. Dari keadaan penghidupan rakyat di kota raja kita dapat melihat bagaimana sikap rakyat terhadap kaisar itu”.

“Bagus! Kalau begitu, aku akan pergi ke sana bersama kalian!” Ai Yin tampak gembira sekali, wajahnya berseri. Siauw Beng dan A Siong saling pandang, agaknya terkejut mendengar ucapan gadis yang mengatakan hendak ikut dengan mereka ke kota raja! Tentu saja kedua orang pemuda ini terkejut dan ragu karena baru saja mereka mengenal Ai Yin dan tiba-tiba saja gadis itu hendak melakukan perjalanan bersama!.

“Akan tetapi sebelum kita pergi ke sana, aku ingin minta bantuan kalian lebih dulu”. “Bantuan? Tentu saja kami siap membantumu, Ai Yin!” kata A Siong.

“Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu, Ai Yin?” Siauw Beng juga bertanya.

“Begini, aku sudah berada di sini, mengikuti kelompok yang di pimpin susiok Can Ok selama hampir tiga bulan. Aku mendengar bahwa di Bukit Menjangan di sana itu terdapat gerombolan jahat yang suka mengganggu penduduk, bukan hanya melakukan perampokan, melainkan juga suka menculik wanita. Semua itu ku dengar dari para nelayan dan sudah kuusulkan kepada susiok untuk menyerbu dan menentang gerombolan itu. Akan tetapi susiok selalu menolak dan mengatakan bahwa gerombolan itu adalah Perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Macan Hitam) yang juga merupakan sekumpulan patriot yang menentang Pemerintahan Mancu. Selama ini aku masih ragu untuk turun tangan sendiri karena menurut keterangan yang ku dapat, gerombolan itu mempunyai anggota sebanyak lima puluh orang lebih dan mereka semua ganas dan kejam, memiliki senjata sepasang cakar harimau dan di pimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar berjuluk Hek-houw Mo-ko (Iblis Macan Hitam) yang sakti. Aku khawatir kalau gagal jika pergi sendiri.

Akan tetapi aku mendengar laporan dari dusun di kaki bukit itu bahwa kemarin puteri kepala dusun di culik dan lima orang penduduk dusun yang membela gadis itu telah di bunuh. Sekarang aku kebetulan bertemu dengan kalian maka aku minta bantuan kalian untuk menolong penduduk dusun di sekitar dusun itu dan menghajar gerombolan jahat itu”.

“Wah, aku siap membantumu, Ai Yin. Biar ku hajar si Harimau Hitam itu!”. kata A Siong sambil mengepal tinjunya. “Benar, Ai Yin. Kami berdua siap membantumu”.

Gadis itu menjadi girang sekali. Ia meloncat berdiri dan berkata, “kalau begitu, kita tunggu apa lagi? Mari kita berangkat. Kasihan puteri lurah dusun itu yang telah mereka culik kemarin!”.

Mereka bertiga lalu berangkat, menumpang perahu kecil milik Siauw Beng. A Siong mendayung perahu, Ai Yin duduk di tengah dan Siauw Beng duduk di depan. Perahu meluncur cepat ke hilir dan tak lama kemudian Ai Yin berseru agar A Siong mendayung perahu itu ke tepi sungai sebelah kanan. Mereka lalu mendarat dan A Siong menambatkan tali perahu ke sabatang pohon.

“Inikah Bukit Menjangan itu?” Tanya Siauw Beng sambil memandang kea rah sebuah Bukit tak jauh dari situ. Bukit itu penuh dengan hutan lebat sehingga tampak hijau kehitaman, menyeramkan.

“Benar, mari kita cepat mendaki sebelum matahari condong ke barat “, kata Ai Yin. Mereka bertiga mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dengan cepat berlari mendaki bukit itu. Ada jalan setapak mendaki ke atas. A Siong berjalan ke depan sambil memegang dayung perahu. Dengan dayung itu dia siap untuk menjaga diri kalau-kalau ada serangan mendadak. Ai Yin berjalan di belakangnya dan Siauw Beng mengikuti dari belakang. Karena mereka belum pernah datang ke situ dan asing dengan daerah yang penuh hutan di bukit itu, maka tentu saja mereka kini tidak dapat melakukan perjalanan cepat. Hutan-hutan bukit itu ternyata lebat bukan main. Ketika mereka melihat bekas jejak kaki banyak rusa dan setelah tiba di lereng bukit melihat ratusan ekor menjangan yang melarikan diri setelah melihat mereka, tahulah mereka mengapa tempat itu disebut Bukit Menjangan. Kiranya memang terdapat banyak sekali rusa di situ.

Saking lebatnya hutan dan jalan setapak itu kini tidak tampak lagi karena banyaknya semak belukar dan rumput tebal tumbuh dengan liar, maka beberapa kali tiga orang itu menjadi bingung karena jalan mereka terhalang jurang yang curam sehingga terpaksa mereka harus mencari jalan lain. Juga berkali-kali mereka menemukan jalan yang tadi pernah mereka lalui sehingga mereka menjadi bingung. Padahal, matahari mulai turun ke barat karena perjalanan mereka yang tersesat dalam hutan itu membuat mereka berputar- putar dan makan waktu yang lama.

“Ah, mengapa aku begini bodoh? Kalian tunggu sebentar, aku akan meneliti keadaan dari atas“, kata Ai Yin, lalu tubuhnya melayang ke atas seperti seekor burung terbang. Ia hinggap di atas cabang sebatang pohon besar, lalu memanjat naik sampai ke puncak pohon yang tinggi itu. Dari tempat tinggi itu Ai Yin memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian ia sudah melayang turun.

“Nah, sudah tahu aku dimana sarang mereka “, katanya. “Mari ikut aku!” Ia lalu menjadi penunjuk jalan menuju kea rah tertentu. Matahari yang sudah condong ke barat menjadi penentu arah sehingga mereka menuju ke arah yang benar, yaitu menuju sebuah perkampungan kecil yang terlihat dari puncak pohon oleh Ai Yin tadi.

Akan tetapi karena mereka tidak dapat menemukan jalan rahasia yang dibuat perkumpulan Hek-houw-pang untuk keperluan mereka sendiri, dan terpaksa harus mengambil jalan pintas yang harus melalui daerah sukar yang penuh dengan semak belukar dan berduri, maka setelah senja barulah mereka tiba di depan sebuah perkampungan. Cuaca mulai agak gelap dan ketika mereka bertiga berdiri di depan pintu gerbang yang amat kokoh itu, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan dari dalam bermunculan puluhan orang dengan pakaian serba hitam! dan sambil berlari-lari mereka membuat lingkaran mengepung tiga orang itu.

Tiga orang muda itu tampak tenang-tenang saja menghadapi pengepungan sekitar empat puluh orang itu, bahkan Ai Yin tersenyum-senyum mengejek. Gadis yang pemberani ini menyapu para pengepung dengan pandang matanya yang tajam, lalu setelah memutar tubuhnya satu kali berkata dengan suara nyaring.

“Heeiii! Macan-macan kecil, kami datang untuk bicara dengan pemimpin kalian. Mana dia Hek-houw Mo-ko? Apakah dia tidak berani keluar menemui kami?”.

Tiba-tiba, seolah menyambut seruan Ai Yin tadi, terdengar auman harimau dari dalam perkampungan, gerengan suaranya menggetarkan keadaan sekeliling tempat itu. Tiga orang muda itu maklum bahwa orang yang mengeluarkan gerengan sehebat itu tentu menggunakan sin-kang ( tenaga sakti) sehingga suaranya mengandung getaran yang amat kuat. Lalu dari dalam gapura itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Pakaiannya dari sutera hitam. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, mukanya penuh brewok dan matanya yang lebar mencorong penuh wibawa. Kedua tangan orang ini disambung cakar harimau, tidak seperti para anak buah yang kedua tangan mereka memegang sepasang cakar harimau yang bergagang sepanjang lengan. Dengan langkah perlahan namun tegap bagaikan langkah seekor harimau, laki-laki itu berjalan dan para pengepung di bagian gapura memberi jalan dengan sikap hormat, dia maju terus sampai berhadapan dengan tiga orang muda itu. Dengan matanya mencorong dia mengamati tiga orang itu, pandang matanya berhenti pada Ai Yin dan gadis itu merasa seoalah pandang mata laki-laki tinggi besar itu menggerayangi tubuhnya dari kepala sampai ke kakinya sehingga mukanya berubah merah dan matanya mencorong merah.

“Jahanam busuk, apakah engkau yang berjuluk Hek-houw Mo-ko dan menjadi pemimpin gerombolan Hek-houw-pang yang suka mengganggu penduduk, merampok barang dan ternak, juga menculik gadis-gadis itu?”.

Hek-houw Mo-ko mendengus, matanya seolah hendak menelan gadis itu hidup-hidup dan jelas tampak bahwa dia terpesona oleh kecantikan Ai Yin.

“Nona, engkau tinggallah di sini menjadi biniku dan dua orang pemuda ini boleh pergi dari sini dengan aman dan tidak akan kami ganggu”.

Ai Yin membelalakkan matanya. Beraninya orang itu! Mukanya serasa di bakar oleh api kemarahan yang berkobar dihatinya.

“Keparat bermulut busuk!” bentaknya dan Ai Yin sudah mengunus pedangnya lalu tanpa banyak cakap lagi karena saking marahnya gadis itu tidak mampu mengeluarkan kata- kata lagi, ia sudah menerjang Hek-houw Mo-ko dengan dahsyat sekali.

Posting Komentar