"Hemm, kalau engkau tidak bisa menyerang aku, akulah yang akan menyerangmu untuk membalas apa yang kaulakan terhadap para pengawalku tadi!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan puteri itu bergerak dan meluncurlah sinar merah ke arah muka si pendek gemuk. Sinar merah itu menyambar sambil mengeluarkan suara berciutan, gerakannya cepat bukan main dan telah menyambar ke arah kedua mata orang she Ciang itu! Si pendek gemuk terkejut bukan main. Dia mengenal serangan berbahaya. Sabuk sutera yang lemas itu kini menjadi senjata yang kuat dan berbahaya sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa puteri muda belia itu memiliki sinkang (tenaga sakti) yang hebat! Dia cepat mengelak, akan tetapi kedua ujung sabuk itu mengejarnya dan kini terdengar lara meledak-Iedak ketika kedua ujung sabuk sutera itu melecut-Iecut dari atas mengancam kepala dan muka si pendek gendut.
Diam-diam Siauw Beng dan A Siong merasa terkejut dan heran sekali. gadis bangsawan yang muda belia itu ternyata seorang ahli silat yang lihai bukan main. Kini, kedua sinar merah mengurung dan mendesak, dan ketika orang she Ciang itu melompat ke samping, dia disambut dorongan tangan kiri adis bangsawan itu.
"Wuuuttt....... desss!" Tubuh di pendek gendut itu terpelanting. Dorongan telapak tangan yang mungil itu ternyata cukup kuat sehingga biarpun tubuh si pendek gendut yang memiliki kekebalan itu tidak terluka, namun dapat membuat dia terguling! Hal ini sungguh mengejutkan teman-temannya yang berada di situ. Si pendek gemuk she Ciang ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat terkenal, baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu pedangnya. Maka sungguh mengejutkan kalau dalam waktu beberapa jurus saja dia sampai terpukul roboh! Ciang Hu Seng juga merasa penasaran. Dia masih tersenyum akan tetapi cepat melompat bangun dan kini sebatang pedang telah berada,di tangan kanannya.
Melihat temannya mencabut pedang, Hartawan Song memperingatkan, "Ciangte, jangan lukai atau bunuh orang!"
Akan tetapi gadis bangsawan Mancu itu yang menjawab, "Katak buduk ini tidak akan mampu melukai aku, hi-hik!" Suara tawanya sungguh menggelitik dan membuat Ciang Hu Seng menjadi marah sekali karena merasa dipandang rendah, dengan sebutan katak buduk. Akan tetapi pada dasarnya memang dia tidak dapat marah, maka mulutnya masih tersenyum ketika dia menggerakkan pedangnya. Pedang itu berkelebat, berdesing dan ketika dia memainkannya, tampak gulungan sinar perak yang menyambarnyambar dahsyat.
"Bagus, kiranya engkau seorang ahli pedang. Hemm, jangan dikira aku jerih menghadapi pedang pemotong leher ayam di tanganmu itu!" Puteri Mayani mengejek dan iapun memutar sabuk sutera merahnya semakin cepat. Kini sang puteri itu benar-benar memperlihatkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali. Tubuhnya seolah lenyap, berubah menjadi bayangan yang menari-nari di antara gulungan sinar sabuk sutera merah dan gulungan sinar pedang keperakan. Sungguh merupakan suatu pemandangan indah namun juga menegangkan sekali.
Siauw Beng dan A Siong yang mengintai dari luar jendela, di antara dahan-dahan pohon menjadi semakin asyik. Mereka berdua tidak mengenal kedua pihak yang bertanding, maka tentu saja tidak berani mencampuri, hanya diam-diam nonton dengan hati kagum, terutama terhadap gadis bangsawan Mancu itu. Tanpa disadari hati kedua orang ini condong memihak kepada Puteri Mayani, sungguhpun mereka maklum bahwa puteri bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang seharusnya mereka musuhi karena bangsa Mancu itu sekarang menjajah tanah air dan bangsa mereka! Akan tetapi melihat seorang gadis muda belia dan demikian cantik jelita menggunakan sabuk sutera berkelahi melawan seorang laki-laki yang memegang pedang dengan gerakan demikian dahsyat, tentu saja mereka khawatir kalau-kalau tubuh yang indah menarik dengan kulit putih mulus itu akan terluka oleh bacokan atau tusukan pedang!
Akan tetapi, gerakan Mayani semakin cepat sehingga pandang mata Ciang Hu Seng menjqdi kabur. Bahkan empat orang kawannya juga memandang khawatir. Dengan kelebihan dalam gin-kang itu saja, mudah diduga bahwa gadis Mancu itu akan dapat mengatasi lawannya.
"Hyaaaattt...... !" Terdengar pekik melengking dan tiba-tiba ujung sabuk yang kiri sudah membelit pedang dan ujung sabuk yang kanan menotok ke arah pundak kanan. Tak dapat dihindarkan lagi, pedang itu terampas oleh belitan ujung sabuk!.
"Mampuslah oleh pedangmu sendiri, katak buduk!" Puteri Mayani berseru dan kini pedang di ujung sabuk itu meluncur turun ke arah leher Ciang Hu Seng. Ciang Hu Seng yang pundaknya tertotok saat itu tidak mampu menghindar. Akan tetapi ada sinar menyambar, menangkis pedang di ujung sabuk dan ada jari menepuk pundak Ciang Hu Seng sehingga si gendut pendek mampu bergerak kembali. Kiranya Hartawan Song sendiri yang turun tangan menyelamatkan Ciang Hu Seng.
Puteri Mayani terkejut. Pedang yang tertangkis itu terlepas dari libatan sabuknya, bahkan ujung sabuknya terpotong sedikit. Pedang rampasan itu melayang ke atas dan Ciang Hu Seng yang sudah bebas dari totokan itu melompat dan menangkap pedangnya dengan tangan kanan.
Puteri Mayani tersenyum mengejek. "Hemm, jangan dikira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berlima. Akan tetapi aku malu kalau menjadi tontonan di tempat ramai ini. Kalau memang kalian merasa diri jagoan, datanglah di hutan cemara di kaki bukit Kera besok pagi setelah terang tanah. Di sana aku akan melayani kalian! Nah, sampai bertemu besok pagi" Setelah berkata demikian, dengan tenangnya gadis itu menuruni anak tangga.
"Tunggu, nona!" seru Hartawan Song.
"Kami tidak bermaksud bermusuhan denganmu!" Dia mengejar turun, akan tetapi Mayani berhenti di bawah tangga, menoleh dengan suara mengejek.
"Apakah Hartawan Song yang terkenal dermawan juga terkenal pengecut dan penakut? Kalau ada omongan, kita bicarakan besok pagi di hutan cemara!" Setelah berkata demikian, gadis itu memberi isarat kepada sepuluh orang perajurit pengawalnya dan merekapun pergi meninggalkan rumah makan Ho Tin.
Siauw Beng dan A Siong juga cepat-cepat turun dari atas pohon. "Wah, ada tontonan menarik besok pagi, Siauw Beng. Kita tidak boleh lewatkan tontonan itu." kata A Siong. Siauw Beng mengangguk. "Bukan sekedar menonton, A Siong. Kalau bisa kita harus berusaha mendamaikan antara mereka.
Kedua orang muda itu lalu mencari rumah penginapan. Kini mereka lebih berhati-hati dan mereka tidak memilih rumah penginapan yang besar, melainkan memilih rumah penginapan kecil yang menampung para tamu yang bukan terdiri dari orang-orang kaya agar mereka tidak dipandang rendah oleh pelayan seperti ketika mereka memasuki rumah makan Ho Tin tadi.
Mereka meninggalkan buntalan pakaian dalam sebuah kamar yang mereka sewa untuk berdua. Buntalan itu hanya berisi pakaian sederhana milik mereka yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kantung uang berisi emas dan beberapa potong perak itu disimpan A Siong dalam kantung bajunya. Mereka lalu keluar untuk berjalan-jalan, melihat-lihat kota Sauw-ciu yang ramai.
Mereka berputar-putar dan ketika mereka tiba di depan sebuah rumah makan yang besar sekali, bahkan lebih besar dari rumah makan Ho Tin, Siauw Beng menyentuh lengan A Siong dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kereta yang berhenti di depan rumah makan itu.