Siauw Beng dan A Siong yang sudah membayar harga makanan, tidak segera keluar, melainkan masih duduk dan memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Juga para tamu yang masih berada di situ memandang dengan hati berdebar. Mereka semua mengikuti lima orang perajurit pengawal yang naik ke loteng. Mereka yang berada di bawah tidak dapat melihat apa yang terjadi di atas, akan tetapi mereka dapat mendengar suara seseorang membentak.
"Loteng ini sudah kami borong dan kami sewa. Tak seorangpun boleh mengusir kami dari sini sebelum kami selesai makan minum."
Terdengar bentakan perwira pasukan tadi. "Puteri Maya membutuhkan tempat ini, maka kalian harus pindah ke bawah, sekarang juga atau terpaksa kami menggunakan kekerasan menyeret kalian turun ke bawah!"
Terdengar suara tawa beberapa orang disusul suara berdebukan dan mereka yang di bawah melihat betapa lima orang perajurit pengawal itu berpelantingan dan terguling- guling turun dari anak tangga loteng! Agaknya lima orang itu dengan paksa dilempar- lemparkan turun!
”Bagus " A Siong berseru, akan tetapi Siauw Beng segera menyentuh tangannya dan
raksasa muda tadi menutup kembali mulutnya. Siauw Beng tidak terlalu menyalahkan temannya yang agaknya berpihak kepada mereka yang berada di loteng karena baik A Siong maupun ia sendiri sudah banyak mendengar dari Ma Giok tentang kekejaman dan kesewenang-wenangan pasukan Mancu yang menjajah tanah air dan bangsa mereka. Namun, Ma Giok juga memperingatkan bahwa tidak semua orang Mancu jahat, di antara mereka banyak juga yang baik.
Puteri Maya menengok dan matanya yang indah, jeli dan tajam itu menyapu ruangan itu, agaknya hendak mencari siapa orangnya yang mengeluarkan suara pujian tadi. Akan tetapi melihat semua orang terdiam, ia lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke arah anak tangga. Ketika melihat lima orang pengawalnya yang lain mencabut pedang hendak menyerbu ke atas, puteri itu membentak "Tahan, dan mundur kalian!"
Lima orang pengawal itu tidak jadi menyerbu dan membantu kawan-kawan yang berpelantingan tadi. Namun tidak ada yang terluka parah dan kini sepuluh orang perajurit pengawal itu memandang ke arah gadis jelita yang dengan langkah tenang naik ke atas loteng melalui anak tangga itu! Semua orang, termasuk Siauw Beng dan A Siong, mengikuti langkah gadis cantik jelita itu dengan heran dan tegang. Sungguh berani gadis bernama Puteri Maya itu. Lima orang perajuritnya saja begitu naik sudah berpelantingan jatuh dan kini ia, seorang gadis cantik jelita yang usianya paling ban yak delapan belas tahun, berani naik ke loteng seorang diri saja! Juga majikan rumah makan Ho Tin dan semua pelayannya, yang hanya mengenal Puteri Maya makan di rumah makan itu selama beberapa kali dalam waktu sebulan ini, memandang heran.
Siauw Beng memberi isarat kepada A Siong dan mereka berdua menggunakan kesempatan selagi orang tercurah perhatian mereka ke arah loteng, cepat menyelinap keluar dan dari sisi rumah makan itu, di mana terdapat sebatang pohon. Mereka lalu memanjat pohon mengintai dari jendela loteng yang kini berada di depan mereka. Dari luar.jende
la itu mereka dapat menonton dengan jelas apa yang terjadi di ruangan loteng itu.
Mereka melihat ada lima orang duduk menghadapi meja besar penuh hidangan. Yang duduk di kepala meja adalah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, pakaiannya seperti seorang hartawan sehingga mudah diduga bahwa tentu dia yang disebut Song Wan-gwe (Hartawan Song) yang dermawan itu. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya yang tampak gembira itu membayangkan kesabaran dan kematangan, namun juga berwibawa.
Jenggotnya yang masih hitam itu rapi berjuntai sampai ke lehernya dan mukanya kemerahan. Orang ke dua berusia sekitar lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang berpakaian ringkas dan wajahnya masih menunjukkan bekas ketampanannya. Orang ke tiga bertubuh pendek gemuk, berusia sekitar lima puluh lima tahun, mukanya menyeringai seperti orang tertawa dan tarikan mukanya lucu. Orang ke e.mpat dan ke lima adalah dua orang yang tadi naik dan yang jubahnya longgar kedodoran adalah yang tadi menotok pelayan sehingga pelayan itu tak dapat bergerak seperti patung. Sedangkan orang ke lima adalah si kurus yang mukanya seperti tengkorak. Usia si jubah kedodoran sekitar lima puluh tiga dan si muka tengkorak sekitar lima puluh tahun. Mereka adalah orang-orang yang sudah mulai tua, berusia lima puluh ke atas dan pakaian merekapun sederhana, kecuali yang tertua dan yang duduk' di kepala meja yang berpakaian seperti seorang hartawan.
Orang pendek gemuk yang mukanya lucu itu tertawa sambi! membersihkan kedua telapak tangannya seolah baru saja memegang barang kotor. "Heh-heh, segala macam tikus busuk datang mengganggu pesta kita, Song-ko (kakak Song). Sungguh menjemukan dan mengurangi selera saja!"
Orang tertua, yaitu Hartawan Song yang agaknya menjamu empat orang itu tersenyum, akan tetapi kata-katanya mengandung nada teguran ketika dia berkata, "Ciang-te (Adik Ciang), engkau masih saja tidak dapat mengubah watakmu yang suka main-main. Permainan tadi hanya akan merepotkan aku yang tinggal di Sauw-ciu ini, Ciang-te karena peristiwa tadi pasti akan ada ekornya!"
"Heh-heh-heh, Song-ko, tidak usah khawatir. Aku orang she Ciang selalu berpendirian, berani berbuat harus berani menanggung resikonya! Aku yang tadi telah mengusir lima ekor tikus itu, kalau ada ekornya, biarlah aku yang menghadapi. Engkau tidak perlu mencampuri dan engkau tidak bersalah apa-apa, Songko." kata si pendek gemuk.
"Uh, Ciang-ko (kakak Ciang), bagaimana engkau bisa berkata begitu kepada Song-toako (kakak tertua Song)? Biarpyn kini kita sudah terpisah-pisah, namun kita tetap merupakan lima bersaudara yang saling membela, bukan? Apa yang dilakukan seorang di antara kita, menjadi tanggung-jawab kita berlima. Bukankah begitu, Song-twako?"
Hartawan Song mengangguk-angguk, kemudian dia bangkit berdiri ketika muncuI gadis cantik jelita dari bawah tangga. Melihat ini, empat orang yang lain juga menoleh dan melihat gadis cantik jelita berpakaian bangsawan Mancu, mereka juga bangkit berdiri.
Dengan matanya yang indah namun bersinar tajam, Puteri Maya yang sebetulnya nama lengkapnya adalah Mayani, menyapu lima orang itu, lalu terdengar suaranya yang nyaring dan merdu, dalam bahasa yang logat Mancunya masih kental.
"Siapa yang telah merobohkan lima orang pengawalku ke bawah loteng tadi?"
Lima orang itu adalah orang-orang yang selalu bersikap gagah, maka si pendek gendut yang bernama Ciang Hu Seng itu cepat melangkah maju menghadapi gadis itu dan berkata, sambil tersenyum.
"Akulah orang she Ciang yang melakukannya, nona. Yang lain-lain ini tidak ikut campur dan aku yang bertanggung jawab. Lima orang perajurit tadi bersikap kasar hendak mengusir kami dari sini, maka terpaksa aku memaksa mereka turun kembali."
Sinar mata yang bening indah dan tajam itu mengamati wajah si pendek gendut dan tangan kirinya perlahan-lahan melolos sebuah sabuk sutera merah yang tadinya melingkar di pinggangnya yang Kecil ramping. Ternyata sabuk sutera merah itu panjangnya sekitar tiga meter.
"Hemm, bagus, orang she Ciang! Engkau merobohkan mereka yang menjadi pengawalku, berarti engkau tidak memandang kepada Puteri Mayani. Nah, cobalah engkau jatuhkan juga aku seperti kaulakukan kepada lima orang pengawalku tadil"
Ciang Hu Seng menjadi bingung. Biarpun mulutnya masih tersenyum lebar, namun sinar matanya kacau dan dia benar-benar menjadi salah tingkah. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, tidak akan mundur selangkahpun menghadapi lawan yang bagaimanapun dahsyatnya. Akan tetapi sekarang dia ditantang seorang gadis berusia belasan tahun, seorang puteri bangsawan yang cantik jelita seperti bidadaril Bagaimana mungkin dia menyerang seorang puteri muda belia seperti itu?
"Aku...... aku....... tidak bisa menyerang wanita muda belia......." katanya gagap dengan muka berubah kemerahan walaupun mulutnya masih tersenyum.