"Baiklah, kami percaya. Akan tetapi demi ketertiban, harap sam-wi me mper kenalkan na ma sa m-wi agar kami catat."
"Aku ber marga Cu, dan dua orang temanku ini adalah kakak beradik ber marga Kam. Sekarang maafkan kami karena kami harus segera menghadap keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi." kata Li Cu Seng. Para penjaga itu tidak berani lagi mengha langi dan mereka me mpersilakan tiga orang yang mengaku sebagai perwira-perwira utusan Jenderal Bu me masu ki pintu gerbang kota raja.
Akan tetapi pada saat itu, tujuh orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai perwira datang dari luar. Su Lok Bu dan Cia Kok Han berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka, diikuti oleh lima orang Liong-san Ngo-eng. Su Lok Bu dan Cia Kok Han sudah menghadang tiga orang yang baru hendak me masu ki pintu gerbang dan Su Lok Bu, murid Siauw- lim-pai yang bertubuh tinggi besar hitam brewokan itu berkata dengan suara yang nyaring.
"Harap kalian bertiga berhenti dulu!" seru Su Lok Bu sa mbil berdiri tegak di depan tiga orang itu dan menga mati wajah mereka dengan tajam menyelidik. "Siapakah kalian, datang dari mana dan hendak ke mana? "
Dengan penuh kewaspadaan namun dengan sikap yang tenang, Li Cu Seng tersenyum lalu menjawab. "Baru saja para penjaga pintu gerbang sudah menanyakan hal yang sama kepada kami sudah kami jawab dengan sejelasnya. Akan tetapi kalau cu-wi (kalian se mua). ingin tahu, boleh kami ulang jawaban kami. Aku she (bermarga) Cu dan dua orang temanku ini kakak beradik bermarga Kam. Kami bertiga datang dari barisan penjaga garis depan di San hai-koan, kami tiga orang perwira kepercayaan Panglima Besar Bu Sairi Kwi dan kami diutus oleh Bu Thai-ciangkun untuk mengunjungi keluarganya di kota raja."
Cia Kok Han yang bertubuh pendek gendut bertanya. "Maafkan kami, sobat-sobat, kalau kami bersikap teliti. Kalau kalian bertiga benar perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi, tolong perlihatkan surat kuasa untuk tanda kalian agar ka mi merasa yakin. Juga agar kalian me mberi keterangan mengapa kalian berpakaian seperti petani dusun dan mengapa pula kalian meninggalkan tiga ekor kuda tunggangan kalian di hutan itu."
Dia m-dia m tiga orang pimpinan laskar pemberontak itu terkejut. Kiranya tujuh orang itu telah mengetahui bahwa mereka datang berkuda! Ini berarti bahwa sudah sejak jauh dari situ mereka telah diawasi! Akan tetapi Li Cu Seng yang cerdik tetap tenang ketika dia menjawab sa mbil tersenyum.
"Ka mi kira sebagai perwira-perwira yang berpengala man, tentu cu-wi mengerti keadaan kami. Di luar sana terdapat banyak sekali pasukan pe mberontak. Kalau kami mengenakan pakaian perwira, sudah pasti kami tidak mungkin dapat sampai di sini dan sudah terbunuh di tengah perjalanan. Kami sengaja meningga lkan kuda kami di hutan karena kami ingin agar tidak menarik perhatian karena kami menyamar sebagai orang desa. Dan tentang surat-surat yang menunjukkan bahwa kami utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi, ah, tentu cu- wi sudah mengetahui. Kami adalah perajurit-perajurit yang setia sampai mati. Andaikata kami yang melaksanakan tugas ini harus mati dalam perjalanan, jangan sampai ada yang mengetahui siapa kami untuk menjaga rahasia pimpinan kami."
Jawaban yang lancar ini me mbuat hati Su Lok Bu, Cia Kok Han dan kelima Liong-san Ngo-heng merasa puas.
"Maafkan kalau kami me mer iksa dengan teliti karena kami tidak ingin kecolongan. Nah, kalau begitu silakan sa m-wi (kalian bertiga) me lanjutkan perjalanan ke rumah keluarga Panglima Besar Bu. Perkenalkan, kami bertujuh adalah para pembantu Ciong Goan-swe yang juga merupakan rekan dan sahabat Panglima Besar Bu Sam Kwi. Kami akan melaporkan kedatangan kalian di kota raja kepada beliau." kata Su Lok Bu.
Dia m-dia m hati Li Cu Seng terkejut juga. Kalau Jenderal Cong sendiri yang bertemu dengannya, tentu jenderal itu akan mengenalnya. Maka dia cepat mengucapkan terima kasih dan me lanjutkan perjalanannya ke dalam kota raja, diikuti oleh dua orang pe mbantunya. Karena Li Cu Seng menduga bahwa para perwira tadi cerdik dan tentu tidak akan melepaskannya dari pengawasan begitu saja, maka dia terpaksa mengajak dua orang temannya menuju ke rumah keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi, tidak jadi langsung menyelidiki keadaan dan kekuatan benteng pasukan kerajaan.
Dua orang temannya berbisik, menyatakan kekhawatirannya kalau mereka mengunjungi keluarga Bu Sam Kwi. Bagaimana kalau keluarga itu mengenal Li Cu Seng? Pasti akan gempar dan pasukan datang menangkap mereka. Di dalam kota raja, mereka bagaikan tiga ekor harimau yang sudah terjebak dalam ruangan tertutup dan tidak mungkin dapat lolos!
"Jangan khawatir, tidak ada seorang pun anggauta keluarga Bu Sam Kwi yang pernah mengena! aku. Bahkan Bu Sam Kwi sendiri kalau bertemu dengan aku belum tentu dapat mengenalku. Kami bersahabat ketika kami masih muda, belasan tahun yang lalu. Jangan khawatir, kita ke sana dan biarkan aku yang bicara dengan mereka. Setelah ada kesempatan, baru kita akan berkeliling dalam kota untuk me lakukan penyelidikan."
Tiga orang itu lalu menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggal keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi. Tentu saja mereka sudah tahu di mana rumah itu karena sebelumnya mereka telah me mpelajari keadaan kota raja dari para penyelidik yang lebih dulu sudah d isebar dalam kota raja Peking. Ketika mere ka sedang berjalan dan tiba di depan sebuah pasar, seorang pengemis berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian compang-ca mping penuh ta mbalan, terbungkuk-bungkuk mengha mpiri mereka dan menyodorkan sebuah mangkok retak dengan tangan kanannya minta sedekah (sumbangan). Tangan kir inya me megang sebatang tongkat hita m. "Kasihanilah, Tuan, berilah sedikit sumbangan!" kata pengemis itu dengan suara cukup lantang sehingga terdengar orang-orang di sekitar tempat itu. Li Cu Seng dan dua orang pembantunya segera mengena l pengemis ini. Ada belasan orang anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Penge mis Tongkat Hita m), sebuah perkumpulan penge mis yang mendukung gerakan Li Cu Seng, me mang telah menyusup ke dalam kota raja dan menjadi mata-mata yang melaporkan keadaan kota raja kepada para pimpinan pe mberontak. Maka Li Cu Seng dan dua orang te mannya segera mengeluarkan uang receh dan me masukkan nya ke dalam mang kok retak itu. Ketika tidak ada orang lain me mperhatikan peristiwa biasa dan wajar ini, si Pengemis berbisik.
"Beng-cu (Pemimpin Rakyat), hati-hati, ada beberapa ekor serigala me mbayangi." setelah berbisik demikian, pengemis itu pergi. Tiba-tiba Li Cu Seng menjatuhkan dua buah uang receh dan segera membungkuk untuk me mungutnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk melihat ke arah belakangnya dan dia dapat melihat lima orang menyelinap di antara para pengunjung pasar dan tahulah dia bahwa mereka itu yang disebut srigala oleh anggauta Hek-tung Kai-pang itu. Sebutan srigala berarti mata-mata musuh, atau kaki tangan pasukan kerajaan.
Li Cu Seng me mberi isarat kepada dua orang te mannya untuk berjalan tenang seperti biasa dan dia lalu mengajak mereka pergi ke gedung keluarga Panglima Bu. Gedung itu besar dan halaman depannya amat luas. Akan tetapi anehnya, mereka tidak melihat ada perajurit yang berjaga di gardu dekat pintu gerbang. Padahal Panglima Bu Sam Kwi adalah seorang pembesar militer yang me miliki kedudukan tinggi, bahkan kini pertahanan seluruh balatentara kerajaan untuk menghadang gerakan orang-orang Mancu berada di tangan Panglima Bu. Akan tetapi mengapa rumah keluarga panglima yang berkuasa itu tidak dijaga perajurit? Karena tidak ada yang menjaga, tiga orang itu langsung saja memasu ki halaman yang luas me nuju ke pendapa gedung besar itu.
Ketika mereka tiba di pendapa, dua orang laki-la ki setengah tua yang berpakaian sebagai pelayan keluar menyambut. Melihat bahwa yang datang hanya tiga orang laki-la ki berpakaian seperti orang-orang desa, dua orang pelayan itu mengerutkan alis mereka dan tampa k tidak senang.
"Heh, siapa kalian dan mau apa datang ke sini!" seorang di antara mereka me mbentak, ta mpaknya marah.
"Kalau mau minta pekerjaan atau minta sumbangan, kami tidak dapat me mbantu dan hayo pergi dari sini!" kata orang kedua, cak kalah galaknya.
Li Cu Seng dan dua orang pe mbantunya segera dapat mengenal dua orang pelayan ini. Dari sikap mereka, tahulah Li Cu Seng bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang suka menjilat ke atas dan meludah ke bawah, mencari muka kepada atasan dan menekan kepada bawahan. Dan dia tahu bahwa Kerajaan Beng kini penuh dengan orang-orang maca m ini. Sebagian besar para pejabatnya adalah penjilat-penjilat kaisar dan me meras rakyat, merendahkan rakyat, dan menumpuk harta kekayaan dari hasil me meras rakyat. Karena para pembesar sebagian besai merupakan penjilat dan koruptor, maka dia tergerak dan mengerahkan laskar rakyat untuk me mberontak, untuk meruntuhkan kekuasaan para koruptor itu. Baru dua orang pelayan saja sudah begini sikapnya. Dia yakin bahwa mereka ini merupakan sebagian dari anak buah atau pendukung dari para thai-kam yang kini berkuasa di istana.
Gu Kam dan Giam Tit sudah tidak sabar melihat sikap dua orang pelayan itu. Gu Kam yang tinggi besar dan brewok itu me langkah ke depan meng hadapi mereka dan berkata dengan suara keren. "Ka mi adalah perwira-perwira utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi! Cepat laporkan kepada keluarga Panglima Bu bahwa kami diutus untuk bicara dengan keluarga beliau!"
Dua orang pelayan itu saling pandang dan cengar-cengir. Jelas bahwa mereka tidak percaya dan menghina. "Huh, siapa percaya?" kata yang seorang.
"Kalian bohong! Hayo pergil Masa ada perwira-perwira seperti kalian tiga orang desa kotor?"