Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 51

NIC

Api baru padam setelah minyak pada kakinya habis terbakar, membuat ujung kedua kaki itu melepuh, jari-jari kakinya hangus terbakar. Kini Cui Hong merasa puas dan mengha mpiri Ki Cong, me mbebaskan totokannya dan me lepaskan borgol kedua tangannya. Begitu bebas, Pui Ki Cong lalu menjatuhkan diri berlutut sa mbil menangis.

"Nona, ampunkan saya.... ah, kau ambillah seluruh harta kekayaan saya.... akan tetapi ampunkan saya, Nona" ratapnya sambil me nangis sesenggukan.

"Bangsat Pui Ki Cong yang biadab! Coba ingat kembali betapa engkau menyuruh bunuh Ayah dan Suhengku, dan lupakah engkau akan apa yang kaulakukan terhadap tubuhku ini selama tiga hari t iga malam?" "Ampun.... saya mengaku salah, ampun.. .." Ki Cong meratap. Dia takut sekali, dan tidak seperti Cai Sun tadi, dia sama sekali tidak me mpunyai niat untuk melawan, karena apakah yang akan dapat dia lakukan terhadap wanita yang amat lihai ini? Cai Sun saja tidak ma mpu berbuat banyak, apalagi dia yang hampir tak pandai ilmu silat sa ma sekali!

"Engkau masih dapat minta a mpun kepadaku? Hemm, Pui Ki Cong, selama bertahun-tahun aku mendenda m dan aku bersumpah bahwa aku akan me mba las dendam se mua perbuatanmu kepadaku tujuh tahun yang lalu! Seluruh sisa hidupku kutujukan untuk pe mba lasan dendam ini dan engkau minta ampun? Jangan harap!" Kini Cui Hong mencabut ranting dari ikat pinggangnya. "Aku akan menyiksamu sa mpa i engkau menjad i manus ia bukan setan pun bukan, aku akan menghab iskan seluruh harta mu dan me mbunuh seluruh keluarga mu!" Tentu saja ini hanya merupakan anca man- ancaman untuk menyiksa batin Ki Cong.

"Lakukanlah semua itu, akan tetapi ampunkan saya, Nona." "Apa? Engkau membiarkan aku menghab iskan hartamu dan

me mbunuh seluruh keluarga mu asal engkau diampuni?"

"Benar, Nona. Lakukanlah segalanya, akan tetapi ampunkan aku. "

"Jahanam! Benar-benar seorang pengecut dan iblis berhati kejam!" bentak Cui Hong yang tadinya merasa heran mendengar ada orang mau men gorbankan anakisteri dan hartanya asal dirinya se lamat! Dari sikap ini saja dapat dilihat betapa rendahnya martabat manusia berna ma Pui Ki Cong ini. "Sikap mu ini me ndorongku untuk segera turun tangan karena manus ia maca mmu ini pantas sekali dihajar!" ranting di tangannya menyambar-nyambar, terdengar bunyi ranting itu bercuitan dan meledak-ledak di atas tubuh Ki Cong yang meraung-raung kesakitan. Cui Hong menyalurkan seluruh denda mnya melalui cambukan-cambukan itu, akan tetapi ia masih ingat untuk menyimpan tenaganya agar tidak me mukul terlalu keras dan me mbunuh orang itu. Ia terus menca mbuki seluruh tubuh Ki Cong sampai pakaiannya hancur semua, sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan penuh darah, la memukul terus sedangkan tubuh Ki Cong berkelojotan di atas tanah, dan ketika me mukul kedua lengan dan kaki, Cui Hong mena mbah tenaganya sehingga tulang-tulang dari siku ke bawah dan dari lutut ke bawah remuk-re muk se mua! Ki Cong tidak ma mpu meraung lagi, hanya mer intih dan men ggeliat, ha mpir tak ma mpu bergerak lagi. Ketika ranting itu menghujani mukanya, muka itu menjad i hancur kulitnya, kedua biji matanya keluar, hidung dan bibirnya hancur, juga kedua daun telinganya putus. Keadaannya lebih menger ikan daripada keadaan Cai Sun karena dia kehilangan kedua matanya!

Menjelang pagi, Cui Hong menyeret dua tubuh yang empas-e mpis itu, yang sudah tidak men geluarkan darah lagi karena dibubuhi obat bubuk, dua tubuh yang pingsan, menuju ke kota raja. Dengan kepandaiannya, ia dapat membawa mereka melompati pagar tembok dan menggantung kedua tubuh itu dengan kepala di bawah kaki di atas, tepat di depan pintu gerbang keluarga Pui!

Pagi hari itu, gegerlah kota raja. Semakin banyak saja orang berlarian mendatangi rumah gedung keluarga Pui dan mereka berkumpul di depan pintu gerbang yang menjadi ramai seperti pasar. Pemandangan di situ sungguh menger ikan semua orang. Dua tubuh itu digantung terbalik, dalam keadaan pingsan dan kalau siuman hanya dapat mer intih lir ih lalu pingsan lagi. Karena tadinya orang sukar mengenali dua tubuh itu, ma ka para penjaga dan pelayan di gedung itu merasa ragu-ragu untuk menurunkan mereka. Yang me mbuat orang merasa ngeri adalah me lihat wajah dua orang itu. Sudah hancur penuh darah dan sukar dikenali lagi. Hidung, telinga dan bibir mereka hilang, na mpak lubang hidung dan gigi mereka, apalagi yang seorang me miliki sepasang kaki yang hangus dan me lepuh bekas terbakar. Yang seorang lagi, tidak ada bagian tubuhnya yang tidak berdarah, seolah-olah dia telah dikuliti. Kulit tubuhnya masih ada, akan tetapi sudah hancur dan penuh darah!

Baru setelah Cia Kok Han dan Su Lok Bu datang ber larian, semua orang tahu bahwa dua tubuh itu adalah tubuh Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun! Tentu saja dua tubuh itu segera diturunkan dan dirawat. Memang nyawa mereka tertolong, akan tetapi tubuh mereka tidak mungkin tertolong lagi. Tubuh itu telah menjadi penuh cacat, menjadi tubuh yang menakutkan. Tanpa hidung tanpa bibir tanpa daun telinga, dengan kaki dan tangan lumpuh bengkok-bengkok, bahkan Pui Ki Cong kini menjadi buta! Sungguh, hukuman yang dijatuhkan Cui Hong kepada musuh-musuhnya terlalu kejam dan sadis, me mbuat mereka na mpak seperti bukan manusia lagi, seperti ga mbaran iblis-iblis yang a mat mena kutkan dan menyeramkan,

Yang menggegerkan mereka yang menonton, kecuali keadaan dua orang yang amat mengerikan itu, juga sehelai kain putih yang ditulis dengan huruf-huruf besar, tintanya merah karena yang dipergunakan adalah darah korban-korban itu MEWAKILI PARA WANITA YANG MEREKA PERKOSA DAN ORANG-ORANG TAK BERDOSA YANG MEREKA BUNUH.

Gegerlah penduduk kota raja, akan tetapi banyak di antara mereka yang ikut merasa puas karena Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun sudah terkenal sebagai pengganggu para wanita cantik, baik wanita itu isteri orang lain, atau janda, ataukah masih perawan. Dan banyak pula orang yang tewas di tangan mereka tanpa berani menuntut balas. Akan tetapi banyak pula yang merasa penasaran karena kedua orang itu pandai menutup i kejahatan mereka dengan sikap der mawan, menggunakan uang mereka yang kelebihan. Mereka yang pernah ditolong tentu saja merasa penasaran dan menyesal me lihat betapa dermawan penolong mereka menga la mi nasib yang demikian mengerikan.

Ketika banyak orang berkerumun dan tubuh manusia setengah mati yang tergantung terbalik itu, terdapat pula seorang tosu yang menonton sambil menang is! Dia hendak menye mbunyikan dan menahan tangisnya, tidak menge luarkan bunyi, akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata.

Ketika dua tubuh itu diturunkan oleh Cia Kok Han dan Su Lok Bu, ditangisi oleh keluarga Ki Cong dan Cai Sun, dibantu oleh anak buah pasukan pengawal tosu iu menyelinap pergi di antara para penonton yang berjubel di tempat itu. Dia seorang tosu yang usianya belum begitu tua, di bawah lima puluh tahun akan tetapi wajahnya yang penuh kerut merut tanda penderitaan batin itu membuat wajahnya nampak lebih tua. Pakaiannya sederhana sekali, berwarna kuning yang agak luntur dan kumal. Tosu ini ber mata tajam, akan tetapi matanya me mbayangkan kedukaan besar, apalagi setelah tadi dia melihat dua orang yang keadaannya amat menger ikan itu.

"Siancai....! Kekuasaan alam tak mungkin diingkari manus ia. Tangan kanan menana m tangan kir i menuai, itu sudah adil na manya. Semoga aku t idak akan menyeleweng daripada Jalan Kebenaran, siancai, siancai!" Berkali-kali tosu itu bicara kepada diri sendiri, menarik napas panjang dan berkali- kali me nggeleng kepala seperti hendak mengusir penglihatan yang tidak menyedapkan hatinya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak di tempat kerama ian tadi, ada seorang laki-la ki muda yang me mperhatikannya, bahkan ketika dia men inggalkan depan gedung keluarga Pui, laki-laki muda itu me mbayanginya dari jauh. Tosu itu berjalan terus, seperti orang kehilangan semangatnya, seperti orang me la mun, keluar dari pintu gerbang kota sebelah barat, dan terus berjalan dengan wajah penuh duka. Laki-laki muda itu tetap me mbayanginya dari jauh. Setelah meningga lkan kota sejauh kurang lebih lima belas Li, barulah tosu itu berhenti dan masuk ke dalam sebuah kuil yang tua dan sunyi me nyendiri, di tepi jalan simpangan yang kecil, di luar sebuah dusun kecil te mpat tinggal para petani.

Dan begitu dia me masu ki kuil itu, sampai di ruangan dala m, tosu itu pun menjatuhkan diri berlutut dan menang is dengan suara terisak-isak seperti anak kecil! Kemudian terdengar dia menge luh dengan suara yang cukup keras, karena dia yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia sendiri, "Nah, menangislah, Gan Tek Un! Sesalilah semua perbuatanmu yang terkutuk dan bertaubatlah, camkanlah bahwa semua perbuatan jahat akhirnya akan mendatangkan ma lapetaka yang lebih hebat, yang akan menimpa diri sendiri. Buah dari pohon yang kautanam akan kaumakan sendiri...!" Dan dia pun menangis sa mbil menutup i muka dengan kedua tangan, teisak-isak dan kedua pundaknya terguncang.

Tiba-tiba dia menghentikan tangisnya. Ada suara kaki orang tertangkap oleh pendengarannya yang tajam. Dia bangkit berdiri dan me mbalikkan tubuh setelah cepat-cepat menghapus air matanya dan dia berhadapan dengan seorang laki- laki muda yang tidak dikenalnya. Tosu itu mengerutkan alisnya dan me mandang penuh selidik. Kemunculan laki- laki ini yang secara tiba-tiba mendatangkan kecurigaan. Seorang laki- laki berusia t iga puluh tahun, pakaiannya seperti seorang petani, dari kain kuning yang kasar, rambutnya digelung ke atas dengan pita biru, tubuhnya sedang dengan dada yang bidang. Dia tidak mengenal pe muda ini dan jelas dia bukan seorang pemuda dusun dekat kuil itu. Akan tetapi, sudah menjad i kebiasaan tosu itu untuk menyambut siapa pun dengan ramah dan sopan, walaupun kedatangan pemuda ini kurang sopan, tahu-tahu langsung saja masuk ke ruangan dalam. Tosu itu menjura dengan sikap hor mat. "Selamat datang di kuil pinto yang sederhana inij orang muda. Tidak tahu apakah yang dapat pinto lakukan untukmu? Mari, silakan duduk di ruangan depan, di mana ada bangku dan kita boleh bercakap- cakap dengan enak. Apakah ada yang sakit dan me mbutuhkan obat? Atau engkau datang untuk bersembahyang?"

Akan tetapi orang muda itu me mba las penghormatan tosu itu, kemudian me mandang tajam penuh selidik dan akhirnya dia berkata, "Paman Gan Tek Un, apakah Pa man tidak ingat lagi kepada saya?"

Tosu itu na mpak kaget sekali me ndengar ada orang me manggil na manya, nama yang selama beberapa tahun ini tidak pernah dipergunakannya. Kini dia lebih dikenal dengan sebutan Gan Tosu. Dia me mandang dengan alis berkerut dan penuh perhatian, mengingat-ingat siapa gerangan orang muda ini, akan tetapi tetap saja dia tidak ma mpu mengenalnya.

"Orang muda, pinto adalah Gan Tosu, dan pinto merasa tidak pernah bertemu atau berkenalan denganmu. Siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apakah?" Akhirnya dia berkata dengan heran.

Pemuda itu tersenyum. "Paman Gan Tek Un, saya adalah Tan Siong, keponakan Paman sendiri."

Posting Komentar