Mendengar usul Hung Wu atau Cu Goan Ciang itu, Siauw Yen mengangguk-angguk dan berkata, “Memang benar. Kakek pernah mengatakan pendapat seperti itu. Akan tetapi, bagaimana kita mampu mempengaruhi mereka atau mengambil alih kekuasaan? Dengan kekerasan, tentu akan terjadi pertempuran antara kedua kaipang, dan mengingat bahwa pasukan pemerintah tentu akan membantu Hek I Kaipang, sukar sekali bagi kita untuk mendapatkan kemenangan.”
“Tentu saja tidak dengan kekerasan, karena maksud kita bukan membasmi perkumpulan itu dan memusuhi anggotanya, melainkan menundukkan para pimpinannya agar kita dapat mengembalikan Hek I Kaipang ke jalan perjuangan.”
“Akan tetapi bagaimana caranya, toako? Hek I Kaipang memiliki pemimpin-pemimpin yang lihai. Ketuanya, Coa Kun itu lihai sekali terutama puterinya yang bernama Coa Leng Si, biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi ia memiliki kepandaian yang melebihi ayahnya! Aku sendiri bahkan pernah bertanding dengannya dalam sebuah bentrokan baru- baru ini, dan harus kuakui bahwa ia amat lihai dan kalau dilanjutkan tentu aku akan roboh olehnya.”
“Hemm, begitu hebatkah ia?”
“Masih ada para pembantu pimpinan yang juga lihai dan jangan dilupakan, setelah kini mereka membantu pemerintah, tentu mereka dekat dengan para jagoan Mongol yang berada di Nan-king. Tidak mudah menundukkan Hek I Kaipang sekarang ini, toako.”
“Akan tetapi, kita harus mencari jalan, harus menundukkan mereka dan merenggut mereka lepas dari pengaruh pemerintah Mongol. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita dapat bergerak bebas?” “Ssttt... lihat di sana, toako,” tiba-tiba Siauw Yen berbisik dan matanya memandang ke arah jalan. Hung Wu menengok dan diapun melihat apa yang menarik perhatian gadis yang menyamar sebagai pemuda itu. Seorang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berjalan di tepi jalan. Yang menarik perhatian mereka berdua adalah bahwa laki-laki itu mengenakan pakaian berkembang dan tambal-tambalan, pakaian seorang anggota Hwa I Kaipang!
“Jelas dia seorang yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang,” kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk. Peraturan pertama yang mereka berikan kepada para anggota dan yang segera ditaati, kini sudah menghasilkan buah. Dengan peraturan baru itu, kalau ada yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang, akan mudah dilihat dan segera dikenal. Kalau orang tinggi kurus itu seorang anggota Hwa I Kaipang yang asli tentu dia sudah tahu akan peraturan baru itu dan tidak akan mengenakan pakaian menyolok itu! Jelas, dia seorang mata- mata yang biasa menyelidiki Hwa I Kaipang. Mungkin orangnya pemerintah, mungkin pula orangnya Hek I Kaipang.
“Mari kita membayanginya,” kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk dan tersenyum, karena dia merasa semakin kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang bukan saja berjiwa pahlawan, patriotik, akan tetapi juga cerdik dan pemberani!
“Dia bukan anggota kita?” Dalam perjalanan membayangi pengemis itu, Hung Wu bertanya. Siauw Yen menggeleng kepala dan Hung Wu merasa yakin karena tentu saja gadis yang mewakili kakeknya memimpin Hwa I Kaipang ini sudah hafal akan semua anggota perkumpulan itu.
Tepat seperti telah diduganya, Siauw Yen melihat orang itu memasuki pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang. Di depan rumah itu terdapat papan nama besar dengan tulisan Hek I Kaipang yang coretannya gagah dan di pekarangan itu terdapat sebuah gardu penjagaan di mana terdapat belasan orang anggota Hek I Kaipang berjaga. Orang yang berpakaian pengemis baju kembang itu berhenti sebentar karena ditahan oleh para penjaga, akan tetapi setelah bicara sebentar, dia diperkenankan masuk.
Melihat ini, Siauw Yen berbisik kepada Hung Wu, “Toako, jelaslah bahwa pihak Hek I Kaipang menyebar mata-mata yang menyamar seperti anggota kita. Akan tetapi, dengan adanya peraturan baru kita, maka kini kita semua akan mudah menangkap mata-mata mereka. Kiranya sudah banyak yang kita dapatkan dalam penyelidikan kita tadi, mari kita pulang, toako.”
Hung Wu mengangguk, akan tetapi pada saat itu nampak sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dipersiapkan orang di pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang.
Siauw Yen memberi isarat kepada Hung Wu untuk menanti sebentar. Mereka dapat melihat seorang laki-laki yang berusia lima puluhan tahun, bertubuh sedang dan mukanya gagah sekali, seperti muka harimau, keluar dari dalam rumah itu bersama seorang kakek dan nenek yang keduanya sudah tua renta dan berjalan dibantu tongkat. Mereka bertiga naik ke dalam kereta dan Siauw Yen cepat memberi isarat kepada Hung Wu untuk segera pergi dari situ.
Siauw Yen mengajaknya menyelinap di tempat sepi dan berkata, “Toako, engkau harus membayangi kereta itu jangan dilepaskan. Laki-laki tadi adalah ketua Hek I Kaipang, Coa Kun. Kebetulan sekali dia hendak keluar kota dan yang menemaninya hanya seorang kakek dan seorang nenek yang sudah sangata tua. Inilah kesempatan tepat bagi kita untuk turun tangan, membunuh pengkhianat bangsa itu. Kalau dia mati dan Hek I Kaipang dipegang orang lain mungkin sikap mereka akan menjadi lain. Kau bayangi saja, jangan turun tangan karena dia cukup lihai. Aku akan mencari bala bantuan.” Tanpa menanti Hung Wu menjawab, Siauw Yen sudah menyelinap dan lenyap.
Hung Wu tinggal seorang diri, termangu. Namun, dia dapat melihat kebenaran dalam pendapat gadis itu. Memang sayang sekali kalau Hek I Kaipang dibawa menyeleweng oleh ketuanya, menjadi antek Mongol. Semua kekuatan yang ada pada rakyat yang terjajah harus dikerahkan, kalau hendak membebaskan diri dari belenggu penjajah. Terutama semua perkumpulan, harus bersatu padu. Kalau perkumpulan yang tidak mau bersatu, apa lagi yang bahkan berkhinat membantu penjajah, harus dibasmi, karena hal ini berarti merontokkan sebuah di antara gigi dan kuku penjajah.
Kereta itu mulai bergerak meninggalkan pekarangan. Hung Wu segera mengikutinya dari jauh. Untung baginya bahwa kereta itu oleh kusirnya, dijalankan lambat-lambat sehingga tidak sukar baginya untuk terus membayangi kereta itu. Kereta itu ternyata menuju ke utara dan keluar dari pintu gerbang utara. Hung Wu juga keluar dari pintu gerbang itu. Matahari sudah mulai condong ke barat. Hung Wu menduga-duga apakah Siauw Yen berhasil mendapatkan bala bantuan. Ah, gadis itu terlalu berhati-hati, pikirnya. Biarpun ketua Hek I Kaipang lihai, kalau dia, maju bersama Siauw Yen, tentu akan mampu mengalahkannya!
Bahkan dia sendiripun agaknya tidak takut menghadapinya. Bukankah Siauw Yen pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak gentar menghadapi ketua Hek I Kaipang, akan tetapi yang amat lihai adalah puteri ketua itu? Dan sekarang yang berada di dalam kereta hanyalah Coa Kun, sang ketua, bersama seorang kakek dan seorang nenek yang sudah tua renta dan nampak loyo. Juga kusirnya itu tentulah hanya anak buah biasa saja.
Pada waktu itu, karena tadi matahari amat teriknya, jalan yang keluar dari Nan-king ke utara itu nampak sunyi. Hal ini juga memudahkan Hung Wu untuk membayangi kereta yang kini berjalan agak cepat sehingga dia harus berlari.
Bagaimana kalau Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan? Dan bagaimana pula kalau Siauw Yen tidak dapat menyusulnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara? Apakah dia harus mengikuti terus sampai kelelahan? Atau harus membiarkan saja ketua Hek I Kaipang itu pergi tanpa mengganggunya? Akan tetapi, kalau dia turun tangan sendiri kemudian gagal, bukankah hal itu akan membuat Siauw Yen menjadi amat kecewa dan marah? Sungguh serba salah, pikirnya.
Setelah kini kereta tiba di jalan menuji perbukitan yang sunyi dan kereta dilarikan semakin cepat, Hung Wu mengeluh. Kalau begini terus, akhirnya sebelum mati tiba dia akan kehabisan tenaga dan semua usahanya membayangi akan sia-sia belaka. Sudah hampir dua jam dia membayangi dan belum juga Siauw Yen muncul. Sebaiknya, aku turun tangan sendiri, membunuh ketua Hek I Kaipang, pikirnya. Andai kata gagalpun, dia masih dapat menyelamatkan diri dan diapun tidak akan malu kepada Siauw Yen akan kegagalannya, karena setidaknya dia telah berusaha! Agaknya Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan, atau gadis itu mengambil jalan yang keliru ketika mengejarnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara.
Hung Wu mempercepat larinya, mendahului kereta. Setelah mendahului kereta dalam jarak tiga puluh meter, dia berhenti, membalik dan menghadang, mengangkat kedua tangan ke atas dan membentak kepada kusir agar menghentikan keretanya. Kusir kereta yang duduk di depan atas, melihat seorang pemuda jangkung berpakaian seperti seorang petani menghadang di tengah jalan dan membentak agar kerta dihentikan, tentu saja menjadi marah sekali. Dua ekor kudanya juga menjadi ketakutan ketika dihadang orang yang membentak-bentak. Kusir menghentikan keretanya lalu menghardik.
“Siapakah engkau yang tak tahu diri dan kurang ajar berani menghentikan kereta? Tidak tahukah siapa yang menjadi penumpang kereta ini? Minggir, atau aku akan menerjangmu dan melindasmi!” Tukang kereta menggerakkan cambuknya yang panjang untuk mengusir orang itu yang dianggapnya sinting atau kurang ajar. Cambuknya yang panjang menyambar ke arah kepala Hung Wu. Akan tetapi, pemuda ini menyambar ujung cambuk dan secara tiba-tiba seklai dia menarik cambuk itu sehingga kusinya yang memegang gagang cambuk terkejut dan terbawa jatuh dari atas keretanya!
“Heii, apa yang terjadi?” terdengar teriakan dari dalam kereta. Pintu kereta terbuka, tirainya tersingkap dan keluarlah tiga orang dari dalam kereta itu. Mereka adalah Coa Kun ketua Hek I Kaipang dan dua orang tua renta tadi. Seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya berusia delapan puluh tahun, memegang tongkat dan kurus, nampak ringkih dan loyo. Coa Kun melihat betapa kusirnya mengerang kesakitan dan tidak mampu bangun karena sebelah kakinya terkilir, ketika dai terbanting jatuh dari atas kereta. Marahlah ketua Hek I Kaipang itu.
“Jahanam keparat! Sudah gilakah engkau? Siapakah engkau berani menghadang keretaku? Apa matamu sudah buta, tidak melihat bahwa aku, ketua Hek I Kaipang yang menjadi penumpang kereta ini?”
Hung Wu memandang dengan mata bersinar-sinar. “Aku tahu bahwa engkau adalah Twa-sin- to Coa Kun, ketua Hek I Kaipang yang telah membawa perkumpulan itu menjadi pengkhianat bangsa, penjilat orang-orang Mongol. Karena itu, aku akan membunuhmu!”