Rajawali Lembah Huai Chapter 52

NIC

Setelah Shu Ta memasuki kota Nan-king, seregu pasukan yang agaknya sudah menunggu di pintu gerbagn, menghadangnya dan pemimpin regu itu bertanya dengan hormat apakah dia yang bernama Shu Ta. Tadinya, Shu Ta terkejut san meragu, takut kalau-kalau pasukan Mongol itu hendak menangkapnya. Akan tetapi melihat sikap mereka yang hormat dan lembut, diapun bertanya kembali.

“Apakah maksud kalian menanyakan namaku?”

Komandan regu itu tersenyum. “Kami diperintah oleh Bouw Kongcu untuk menjemput si-cu (orang gagah) di sini dan mengantar si-cu ke benteng di mana Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menanti bersama komandan kami.”

Shu Ta merasa girang dan diapun segera mengikuti regu itu menuju ke markas besar atau perbentengan pasukan keamanan yang bertugas di Nan-king. Dan di kantor tempat markas itu, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menantinya, dan di situ terdapat pula dua orang panglima. Yang menjadi panglima di benteng itu bernama Yatucin, akan tetapi dia mempergunakan nama pribumi menjadi Yauw Tu Cin atau lebih terkenal disebut Yauw- Ciangkun (Panglima Yauw). Dia seorang Mongol asli, mukanya persegi penuh kejantanan, dengan brewok tebal dan matanya bersinar-sinar, hidungnyaa dan mulutnya besar dan bibirnya tebal. Tubuhnya tinggi agak kurus, namun penuh dengan otot melingkar-lingkar, nampak kokoh kuat.

“Inilah saudara Shu Ta yang kami ceritakan tadi, Ciangkun,” kata Bouw Kongcu, lalu dia memperkenalkan dua orang panglima itu kepada Shu Ta. “Saudara Shu Ta, Yauw-Ciangkun ini adalah panglima yang menjadi komandan benteng di Nan-king ini, dan yang ini adalah saudara misan kami, juga seorang panglima yang menjadi komandan di kota Wu-han dan sekarang sedang datang berkunjung ke sini, dia adalah Panglima Khabuli.”

Shu Ta memberi hormat kepada dua orang panglima itu. Orang yang diperkenalkan sebagai Yauw-Ciangkun yang menjadi komandan pasukan di Nan-king itu memang pantas menjadi seorang panglima, berwibawa dan pembawaannya memang sebagai seorang militer yang kokoh dan gagah perkasa, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Diam-diam Shu Ta kagum kepada panglima ini. Seorang seperti ini, berbangsa apapun juga, tentu memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, tegas dan pemberani. Ketika dia memberi hormat dan memandang kepada panglima kedua yang diperkenalkan sebagai saudara misan dari kakak beradik itu, Shu Ta segera merasa kurang suka kepada panglima ini. Panglima Khabuli berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dengan kulit hitam tebal. Dia memang nampak gagah dan menyeramkan, akan tetapi pembawaannya menunjukkan bahwa dia seorang tinggi hati, angkuh dan membanggakan kedudukan dan kekuasaannya. Juga matanya yang sipit itu ketika memandang kepada Bouw Siocia, bersinar dan mulutnya tersenyum menyeringai ceriwis, membayangkan bahwa dia seorang laki-laki yang mata keranjang, juga sambaran kerling matanya membayangkan kelicikan.

Kalau Yauw-Ciangkun mengamati Shu Ta dengan penuh selidik, diam-diam merasa heran bahwa orang yang dipuji setinggi langit oleh kakak beradik itu, ternyata hanya seorang pemuda sederhana saja, dengan pakaian sederhana mendekati kasar, tubuhnya juga sedang saja, wajahnya tampan dan mulai tumbuh brewok di dagu dan pipinya, sebaliknya, Panglima Khabuli tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, adik-adikku yang baik, bagaimana seorang pemuda dusun macam ini kalian usulkan agar menjadi seorang perwira? Ha-ha, jangan-jangan kalau dia melihat pertempuran, mukanya berubah pucat dan dia akan lari tunggang-langgang!” Khabuli tertawa-tawa dan pandang matanya mengejek dan merendahkan sekali. Dia bersikap berani karena Bouw Kongcu dan Bouw Siocia adalah adik-adik misannya. Dia sendiri adalah keponakan Menteri Bayan, maka hubungan keluarga ini membuat dia berani bersikap kasar terhadap kakak beradik itu, berbeda dengan Yauw-Ciangkun yang bersikap hormat, bukan saja mengingat bahwa mereka ini putera puteri menteri yang paling berkuasa sesudah kaisar, juga karena dia tahu bahwa kakak beradik ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri.

“Panglima Khabuli, harap jangan menertawakan!” tegur Yauw-Ciangkun. “Bukankah Bouw Kongcu dan Bouw Siocia sendiri yang telah menguji kepandaian saudara Shu Ta ini?”

“Ha-ha-ha-ha!” kembali Khabuli tertawa bergelak. Sebetulnya, dalam hal kedudukan atau pangkat, dia masih kalah tinggi dibandingkan Yauw-Ciangkun. Akan tetapi karena mengandalkan pengaruh pamannya, yaitu Menteri Bayan, sudah terbiasa baginya untuk mengangkat diri sendiri dan bersikap angkuh. Dan para panglima yang biarpun memiliki kedudukan lebih tinggi darinya seperti Yauw-Ciangkun, terpaksa mengalah, mengingat akan Menteri Bayan. “Yauw-Ciangkun, apakah engkau mempercayai ujian yang diberikan kedua orang adikku itu? Ha ha, mereka masih amat muda, bagaimana mungkin akan mampu menilai tingkat kepandaian seseorang?”

Melihat sikap kakak misan itu, apa lagi sejak tadi pandang mata Khabuli seperti menggerayangi seluruh tubuhnya, Bouw Siocia sudah menjadi marah sekali.

“Kakak Khabuli, engkau terlalu memandang rendah orang!” bentaknya. “Sekarang begini saja, Yauw-Ciangkun. Biar kakak Khabuli yang sombong itu menguji sendiri kepandaian Shu Ta! Kalau dia kalah, dia harus minta maaf kepada saudara Shu Ta! Tentu saja kalau dia berani, atau mungkin dia hanya pandai menghamburkan suara yang tidak ada gunanya saja!”

Wajah yang kulitnya hitam dari muka Khabuli, menjadi semakin hitam, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Bagus! Dan bagaimana kalau pemuda dusun ini kalah olehku, Mimi yang manis? Mau engkau berjanji bahwa kalau dia kalah olehku, engkau harus menjamu makan minum padaku sampai mabok?” Ucapan ini mengandung kekurang ajaran, karena menjamu makan minum sampai mabok merupakan hal yang sma sekali tidak mungkin, mengingat bahwa Mimi adalah seorang gadis. Walaupun masih adik misannya sendiri. Akan tetapi ia sudah tahu akan tingkat kepandaian Khabuli yang tidak berselisih banyak dengan tingkatnya sendiri, maka tentu saja ia merasa yakin bahwa Shu Ta pasti akan mampu mengalahkannya.

“Baik! Kita bertaruh. Kalau kau menang, akan kujamu makan minum, sebaliknya kalau kau kalah, jangan melanggar janji, engkau harus minta maaf kepada saudara Shu Ta karena kau telah memandang rendah kepadanya!” kata Mimi.

Bouw Kongcu sebaliknya merasa tidak enak. Diapun tahu bahwa kakak misannya yang sombong itu pasti tidak akan menang melawan Shu Ta, maka diapun mendekat dan berkata, “Kakak Khabuli, harap jangan lanjutkan adu kepandaian ini, karena aku yakin bahwa engkau tidak akan menang. Sudahlah, kita serahkan saja kebijaksanaan untuk menerima dan memberi pekerjaan kepada saudara Shu Ta ini kepada Yauw-Ciangkun saja.”

Akan tetapi, ucapan Bouw Kongcu yang sebetulnya menyayangkan kalau sampai kakak misannya itu nanti kalah dan mendapat malu, bahkan membuat Khabuli semakin penasaran dan marah, menganggap bahwa adik misannya itu terlalu memandang rendah kepadanya.

“Adik Bouw Ku Cin, tanpa diuji, bagaimana kita dapat membuktikan kemampuan orang ini? Aku juga seorang panglima, sudah menjadi kewajibanku untuk ikut menguji agar pasukan kita tidak kemasukan orang yang tidak becus, agar Yauw-Ciangkun tidak menerima seseorang hanya karena orang itu kauusulkan untuk diterima. Nah, Shu Ta, majulah dan ingin kulihat kemampuanmu!”

Tentu saja Shu Ta merasa tidak enak sekali. Orang ini masih kakak misan dari kakak beradik Bouw, dan seorang panglima. Karena dia akan bekerja di bawah perintah Yauw-Ciangkun, maka tidak akan baik kalau dia melayani Khabuli ini tanpa persetujuan dari Yauw-Ciangkun, calon atasannya. Maka, diapun menghadapi Yauw-Ciangkun dan berkata dengan sikap tenang. “Saya mohon petunjuk Ciangkun, apa yang harus saya lakukan.”

Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk. Dia sendiripun kurang senang kepada Khabuli yang biasa mempunyai watak angkuh itu. Sekarang, kakak beradik Bouw sendiri yang mengusulkan agar Khabuli menguji kepandaian Shu Ta ini. Dia percaya bahwa kakak beradik itu tidak akan sembarangan menyuruh orang yang mereka calonkan itu menandingi Khabuli kalau mereka tidak yakin akan kemampuan Shu Ta. Maka, diapun mengangguk.

“Sebagai seorang calon perwira, engkau harus dapat membuktikan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh, oleh karena itu, setelah kini Khabuli-Ciangkun hendak mengujimu, tandingilah dia, saudara Shu Ta.”

Ruangan itu memang cukup luas dan dengan sikap tenang, setelah mendapatkan persetujuan Yauw-Ciangkun, Shu Ta lalu melangkah maju menghampiri Khabuli yang sudah berdiri di tengah ruangan dengan sikap bengis. Pria itu memang menyeramkan, tinggi besar hitam dan nampak kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, namun, Shu Ta melihat titik kelemahan, yaitu pada pandang matanya. Pandang mata Khabuli jelas memperlihatkan ketinggian hati. Orang seperti ini akan memandang rendah lawan dan itulah kelemahannya, karena sikap memandang rendah lawan menimbulkan kelengahan.

Posting Komentar