Peninggalan Pusaka Keramat Chapter 60

NIC

I Ki Hu mendengus dingin.

"Mengapa Lo Sang (Si Sang tua) bisa meman-dang tinggi hidung kerbau itu?"

"Ada lagi Bu Kong Taisu dari Ngo Tay san," kata Sang Cin kembali.

I Ki Hu mendengar Sang Cin berturut-turut menyebut dua orang tokoh yang kepandaiannya memang tinggi dan sangat terkenal di dunia kang ouw, tetapi namanya sendiri masih belum disebut-kan, wajahnya mulai menyiratkan kemarahan.

"Siapa lagi?"

Sang Cin dan Sang Hoat saling pandang sekilas. "Yang satunya lagi tentu Tuan sendiri!"

I Ki Hu tahu kata-kata ini hanya ditambahkan kedua anak muda itu barusan saja. Tetapi dia senang melihat kecerdasan keduanya yang pandai mengambil hati.

"Apakah kalian tahu, siapa aku?" tanya I Ki Hu. Kedua pemuda itu tersenyum lagi.

"Langsung menyebut nama di hadapan orang yang lebih tua, sangat tidak sopan."

"Kalau kalian memang tidak tahu, untuk sementara aku juga tidak akan memberitahukan. Cepat antarkan kami menemui kakekmu!" Wajah keduanya menyiratkan kebimbangan sekilas. Tetapi sekejap mata sudah pulih kembali seperti biasa.

"Baiklah. Harap Tuan mengikuti kami!"

I Ki Hu bukan tokoh sembarangan, meskipun perubahan wajah kedua pemuda itu hanya sekilas, dia sudah menduga bahwa mereka akan menggunakan akal licik lagi. Tetapi dia hanya ter-tawa dingin. Dengan membimbing Tao Ling, tanpa tergesa-gesa sedikit pun, dia mengikuti Sang Cin dan Sang Hoat dari belakang.

Sebentar saja mereka sudah berjalan sejauh satu li. Tiba- tiba tampak Sang Cin dan Sang Hoat membelok ke kiri. Dari jalan besar mengambil jalan kecil.

Jalan itu bukan saja berkelok-kelok, bahkan setelah berjalan dua-tiga depa, tampak di depan merupakan sebuah hutan bambu.

Pohon bambu di dalam hutan tidak banyak, tetapi batangnya besar-besar dan lurus sekali. I Ki Hu terus mengikuti dari belakang. Melihat kedua pemuda itu masuk ke dalam hutan, dia pun meng-ajak Tao Ling ikut masuk juga. Tetapi baru saja masuk dua langkah dia merasakan sesuatu yang kurang beres. Di sekitarnya hanya terlihat batang bambu yang warnanya hijau dan mereka tidak bisa menentukan arah yang harus dipilih.

I Ki Hu yakin batang-batang bambu itu disusun sesuai dengan bentuk semacam barisan. Dan sekarang dia bersama Tao Ling sudah terjebak ke dalam barisan itu.

Mengingat kedua pemuda yang masih ingusan itu menjebaknya masuk ke dalam barisan bambu, I Ki Hu merasa geli.

"Bocah-bocah busuk, kemana perginya kalian?" ucap I Ki Hu pura-pura marah.

Terdengar suara Sang Cin menyahut. "Ilmu kepandaian tuan sungguh mengejutkan. Mengapa tidak berusaha menemukan kami?" sahut Sang Cin.

Hati I Ki Hu sendiri juga geli namun jengkel. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia memutari batang-batang bambu itu. Setiap kali ber-putar, dia menggunakan tangannya mengerat batang-batang bambu itu.

Tidak lama kemudian, seluruh batang bambu yang ada dalam hutan itu sudah terkerat oleh tangannya. Kemudian dia memperdengarkan suara tertawa terbahak-bahak.

Begitu suara tertawanya sirap, sepasang lengan bajunya langsung mengibas, berpuluh batang bambu seperti diterpa angin kencang secara tiba-tiba. Terdengarlah suara bergemuruh, lalu batang-batang bambu itu pun rubuh semuanya di atas tanah.

Ada yang saling bertumpuan, ada pula yang melayang di udara. Dalam sekejap mata saja, suasana di dalam hutan itu persis seperti terjadi gempa yang hebat. Boleh dibilang tidak ada sebatang pun pohon bambu yang utuh.

Rupanya ketika mengerat batang-batang bambu sambil berputar tadi, I Ki Hu sudah mengerahkan tenaganya untuk mengguncangkan akar yang tertanam di bawah tanah sehingga ter-lepas. Begitu dikibas dengan lengan bajunya, otomatis seluruh batang bambu itu rubuh tidak karuan.

Suara yang bergemuruh itu mengejutkan Sang Cin dan Sang Hoat. Mereka memang sudah men-duga kepandaian I Ki Hu sangat tinggi, tetapi tidak menyangka tenaga dalamnya bisa sekuat itu. Belum lagi sempat keduanya berteriak, tiba- tiba tampak bayangan berkelebat, gerakannya seperti terbang. I Ki Hu mengulurkan sepasang tangannya dan tahu-tahu leher baju Sang Cin dan Sang Hoat sudah tercengkeram olehnya

Kedua pemuda ini sungguh tidak menyangka bahwa barisan Telaga Bambu yang selama ini sangat dibanggakan oleh keluarganya ternyata dapat dihancurkan dalam waktu yang singkat, wajah mereka pun tampak pucat pasi.

Hati I Ki Hu bangga sekali melihat rasa terkejut kedua anak muda itu. la tertawa terbahak-bahak.

"Ibarat jangkerik menghadang kereta. Ternyata kalian berani menjebak aku ke dalam barisan bambu itu. Ini namanya mencari penyakit sendiri, tahu?"

Sembari berkata, I Ki Hu segera mengerahkan tenaga dalamnya. Tanpa dapat ditahan lagi tubuh Sang Cin dan Sang Hoat melayang sejauh dua depa dengan menimbulkan suara desiran angin kemudian terbanting di atas tanah. Wajah keduanya langsung bengap dan memar di sana sini.

Untung saja kedatangan I Ki Hu ke tempat tinggal keluarga Sang memang tidak bertujuan mencari permusuhan dengan Kakek berambut putih, Sang Hao. Karena itu, tindak tanduknya pun tidak berniat mencelakai kedua pemuda itu. Sean-dainya dia membanting kedua pemuda itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya lebih ban yak lagi, tentu mereka sudah mati saat itu juga.

Sementara itu, Sang Cin dan Sang Hoat berusaha bangun. Namun baru saja terduduk tegak, I Ki Hu sudah melayang turun di hadapan mereka. Keduanya terkejut setengah mati. Dalam keadaan gugup, mereka masih herusaha menga-dakan perlawanan. Masing-masing segera mencabut gantulan yang terselip di pinggang kemudian dihantamkan ke arah I Ki Hu. Sekali lagi I Ki Hu tertawa terbahak-bahak, tubuhnya berkelebat, sepasang tangannya menjulur ke depan. Bret! Bret! Tahu-tahu kedua gantulan itu sudah tergenggam di telapak tangannya.

Sejak tadi I Ki Hu sudah mengerahkan tenaga murninya ke dalam telapak tangan. Kedua gantulan itu bukan saja tidak sempat melukainya, bahkan tenaga pantulan dari telapak tangannya begitu kuat, hingga kedua gantulan itu terhentak ke depan dan tepat mengenai wajah Sang Cin dan Sang Hoat.

Keduanya langsung memekik kesakitan. Tam-pak hidung dan bibir mereka berdarah. Kedua gantulan tadi kembali melayang di udara setelah menyampok muka keduanya. Terdengar suara ber-dengung-dengung dan timbul dua gurat cahaya seperti pelangi yang melintas.

Kali ini, Sang Cin dan Sang Hoat tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan. I Ki Hu mengeluarkan suara bentakan. Sekali lagi dia menerjang ke depan untuk mencengkeram kedua pemuda itu. Tetapi baru saja tubuhnya bergerak, dari belakangnya terdengar seseorang berkata.

"Jangan turunkan tangan keji!" Suara terdengar, orangnya pun tiba.

Tampak sesosok bayangan melesat datang ke arah mereka. Tetapi mana mungkin I Ki Hu memandang sebelah mata. Dia tetap menerjang ke depan dan mencengkeram lengan Sang Cin dan Sang Hoat. Setelah itu dia baru menolehkan kepalanya.

Tampak dua orang laki-laki berusia setengah baya dan seorang perempuan yang usianya sekitar empat puluhan tahun sudah berdiri di belakangnya dengan wajah menyiratkan perasaan terkejut.

I Ki Hu tahu ketiga orang ini pasti masih turunan si Kakek berambut putih Sang Hao. Karena itu dia segera tertawa dingin.

"Dengan maksud baik aku datang kemari mengunjungi Kakek berambut putih, Sang Hao. Tetapi kedua bocah ini sungguh kurang ajar. Berani-beraninya mereka mengurung aku dalam barisan bambu. Karena itu aku memberi pelajaran sedikit kepada mereka agar kelak mereka tahu bahwa di atas gunung masih ada gunung, di antara yang jago masih ada orang yang lebih jago." Wajah perempuan setengah baya itu menyiratkan kepanikan.

"Apa yang dikatakan Tuan memang tidak salah. Kedua bocah ini memang agak nakal. Lagipula pengetahuannya cetek. Punya mata tapi tidak bisa melihat Thai san. Akibatnya malah menimbulkan kesulitan bagi Tuan." Berkata sampai di sini, dia mendelik kepada Sang Cin dan Sang Hao.

"Kalian berdua, cepat minta maaf kepada Cianpwe ini!" bentak perempuan itu.

I Ki Hu tertawa lebar.

"Tidak perlu sampai minta maaf. Cayhe hanya ingin bertemu dengan Lo Sang." Tangannya mengendur, kedua pemuda itu didorong ke depan dan tepat berdiri di samping kiri kanan perempuan setengah baya itu.

Mimik wajah perempuan itu tampak agak lega.

"Tuan ingin bertemu dengan ayah . . . sebetul-nya tidak menjadi masalah, tetapi ayah . . ."

"Apakah Lo Sang tidak bersedia menemui siapa pun?" tanya I Ki Hu.

Wajah perempuan itu langsung berubah menjadi murung. "Sebetulnya hal ini merupakan rahasia keluarga kami, dan

kami tidak ingin orang luar me-ngetahuinya ..."

"Piau moay (adik sepupu), masa kau akan men-ceritakan urusan ini kepada orang luar," tukas salah satu laki-laki setengah baya yang datang ber-sama perempuan itu.

Sepasang alis perempuan itu berkerut-kerut sekilas.

"Kalau tidak mengatakan secara terus terang, apakah kalian bisa menahan keinginan Tuan tamu ini?" sahut perempun itu. Kedua laki-laki setengah baya itu menatap kepada I Ki Hu sejenak, kemudian mereka menundukkan kepalanya.

Posting Komentar