Pendekar Super Sakti Chapter 21

NIC

"Rumah siapa ini....?"

Tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak dan Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.

"Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku."

"Rumahmu....?"

Han Han makin kagum.

"Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah. Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja."

Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malampun tiba. Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ.

Betapapun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas daripada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan. Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok. Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya. Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa.

"Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?"

Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap.

Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersamadhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu. Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia melatih diri dan muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang.

Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia. Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain. Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng.

"Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,"

Antara lain putera pangeran itu berkata.

"Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekalipun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati."

Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain. Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya. Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini, pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng.

Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kwali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi, mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali. Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kwali besar yang airnya mulai mendidih. Pada saat itu, muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat cepat.

"Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?"

Ouwyang Seng bertanya.

"Hemmm...., masih jauh. Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kwali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur."

Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kwali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kwali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.

"Aduh, terlalu panas....."

Serunya.

"Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih."

Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas.

"Yang begini saja tidak kuat, apalagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kwali itu, jangan ragu-ragu, masukkan."

Ouwyang Seng memandang ke arah suhunya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kwali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.

"Bantulah dengan hawa dalam tubuh, Kongcu harus dalam keadaan siulian (samadhi) jika tidak kuat,"

Suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.

"Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dari ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,"

Pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang. Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas.

"Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?"

Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi, cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kwali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.

"Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan aku masukkan ke dalam air ini."

Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersamadhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan "dapur"

Dari lian-bu-thia ini.

Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya, ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas. Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang.

Posting Komentar