Pendekar Pemabuk Chapter 74

NIC

“Kau memang keras kepala ..... terlalu dimanja tadinya ” kemudian ia bicara keras-keras,

“Hal ini kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, mulai sekg kau jangan keluar dari kamarmu. Berlakulah sebagai seorang gadis bangsawan yang terhormat. Jangan kau berkeliaran di luar seperti seorang gadis kang-ouw yang liar dan tidak tahu kesopanan!” Ayah ini lalu meninggalkan anaknya yang masih bertangisan dengan ibunya.

Demikianlah, semenjak saat itu Tin Eng tidak pernah keluar dari dalam rumah. Ia bermaksud untuk mentaati ayah ibunya, asal jangan dikawinkan dengan Gan Bu Gi.

Pada waktu Gwat Kong datang, Tin Eng sedang berada di dalam kamarnya bersama ibunya. Gadis ini sedang membaca sebuah kitab kuno untuk menghibur hatinya waktu senggang.

Ibunya menyulam dan duduk di dekatnya. Tiba-tiba pintu diketuk dan bibi Song masuk dengan membungkuk-bungkuk.

Nyonya Liok mengangkat muka memandang pelayan itu. “Ada keperluan apakah?” tanyanya.

Bukan main bingungnya hati nenek itu. Ia memandang ke arah Tin Eng yang sudah mengangkat muka memandang nenek itu. “Hamba ........ hamba ada pesanan untuk siocia

......”

Tin Eng lalu berdiri dan menghampiri nenek itu. “Ada apakah bibi Song? Pesanan apa dan dari siapa?”

Nenek itu ragu-ragu dan memandang kepada nyonya Liok dengan takut-takut. Bagaimana ia harus menyampaikan pesanan Gwat Kong di depan nyonya majikannya itu?

“Jangan takut, katakanlah bibi Song!” Tin Eng mendesak. “Gwat Kong ”

Mendengar nama ini, Tin Eng memegang pundak pelayan itu. “Apa .....? Dia di mana ?”

Juga nyonya Liok bangun berdiri dari kursinya. “Kau bilang Gwat Kong berada di sini? Berani betul anak itu! Tin Eng, ada perlu apakah kau dengan bekas pelayan itu?” “Ibu, Gwat Kong bukan pelayan kita lagi! Dia ..... dia adalah guruku yang mengajar ilmu

pedang. Biarkan aku betemu dengan dia!”

Pandangan mata gadis itu kepada ibunya membuat nyonya Liok tertegun dan terkejut sekali. Sepasang mata gadis itu bersinar dan wajahnya berseri-seri.

“Bagaimana mungkin? Kau tidak boleh keluar dari sini. Kalau ayahmu melihatnya, ia tentu akan marah sekali. Apa lagi kalau dilihatnya kau bertemu dengan Gwat Kong!”

“Kalau begitu, biar dia masuk ke kamar ini!” Tin Eng mendesak.

“Gila!” Ibunya berseru kaget. “Kau lupa daratan, Tin Eng. Bagaimana seorang laki-laki muda boleh memasuki kamar kita? Tidak, hal itu tidak boleh jadi!”

Tin Eng membanting-banting kakinya dengan manja. “Akan tetapi, aku harus bertemu dan bicara dengan dia, ibu!”

Nyonya Liok menarik napas panjang dan ia bingung sekali. Kemudian ia menengok ke arah jendela kamar yang beruji besi dan berkata,

“Begini saja, suruh dia masuk dan bicara kepadamu dari balik jendela itu!”

Tin Eng memberi isyarat kepada nenek pelayan tadi untuk melakukan usul ibunya ini. Bibi Song segera keluar lagi menemui Gwat Kong yang masih menanti di belakang rumah.

“Bagaimana, bibi yang baik?” tanya pemuda itu dengan penuh gairah.

“Sssst, jangan banyak ribut. Kau pergilah ke kamar siocia melalui ruang pelayan dan kau boleh bicara dengan siocia dari balik jendela!”

Gwat Kong sudah hafal keadaan rumah itu. Maka setelah mendengar kata-kata ini, ia lalu masuk ke dalam rumah itu melalui ruang pelayan dan langsung menuju ke ruang dalam, terus menghampiri jendela kamar Tin Eng yang menembus di ruang dalam itu. Ia melihat Tin Eng sudah berdiri di dekat jendela dan memandang keluar.

“Tin Eng ” bisik Gwat Kong sambil menghampiri dengan cepat.

“Gwat Kong ” Tin Eng memanggil dengan girang.

Panggilan yang disertai pandangan mata mesra ini sudah cukup bagi keduanya untuk menyatakan perasaan hati mereka yang girang dan gembira sekali. Wajah Tin Eng menjadi merah padam, akan tetapi Gwat Kong menjadi pucat ketika melihat bahwa di belakang Tin Eng itu nampak nyonya Liok duduk sambil menyulam. Nyonya itu mengerling ke arahnya dan Gwat Kong buru-buru menjurah memberi hormat. Akan tetapi nyonya Liok segera membuang muka pura-pura tidak melihatnya.

“Tin Eng .... kau baik-baik saja?”

Tin Eng mengangguk singkat lalu berkata, “Gwat Kong aku dikalahkan Ang Sun Tek ” “Aku sudah tahu akan hal itu. Aku sudah bertemu dengan kedua saudara Pui!” “Bagus kalau begitu. Kau harus balaskan penasaranku kepada bangsat she Ang itu!” “Jangan khawatir, memang aku hendak mencari dan mencoba kepandaiannya.”

“Dan Gwat Kong, karena aku tak mungkin melanjutkan tugasku yang sudah kujanjikan

kepada dua orang sdr Pang, kau harus mewakili aku dan meneruskan usahaku. Aku tak dapat bercerita panjang lebar. Gwat Kong, kau pergi dan carilah sahabatku Kui Hwa, si Dewi Tangan Maut!”

“Hm, dia ?”

“Ya, dia musuh besarmu itu! Akan tetapi, kau tak boleh memusuhinya, biarpun ia anak Tan- wangwe yang menjadi musuh besarmu. Ia seorang baik dan gagah, bantulah dia, Gwat Kong. Tanpa bantuanmu, tak mungkin ia akan dapat menemukan harta itu.”

“Mengapa?” tanya Gwat Kong yang hanya mengetahui sedikit saja dari kedua saudara Pui tentang harta terpendam itu.

“Karena dahulu aku belum memberitahukan dengan jelas tempat harta itu tersembunyi. Majulah dan perhatikan ini!”

Gwat Kong mendekat dan Tin Eng lalu mengeluarkan sehelai saputangan sutera hijau dari kantong bajunya bagian dalam. Ia memang telah menyediakan sebuah peta yang digambarnya di atas saputangan itu karena takut kalau-kalau ia akan lupa lagi. Ia membuka sapu tangan yang berbau harum itu dengan telunjuknya yang kecil runcing. Ia menunjuk sebuah titik pada saputangan yang bergambar peta itu.

“Tempatnya memang di sini, akan tetapi enci Kui Hwa belum tahu bahwa jalan masuknya bukan dari kanan atau kiri, melainkan dari atas! Orang harus naik ke atas dan di bawah sebuah batu besar terdapat jalan masuk itu. Simpanlah saputangan ini, Gwat Kong!”

GWAT KONG menerima saputangan itu yang cepat dimasukkan ke dalam saku bajunya. Kemudian ia memandang gadis itu dengan sayu.

“Tin Eng .....kau tidak tidak dengan Gan Bu Gi?” Sukar baginya untuk mengucapkan

kata-kata “kawin” yang menikam hatinya.

Makin merahlah wajah Tin Eng mendengar ini dan berbareng dengan perasaan malu yang menyerangnya, ia merasa amat girang. Teranglah sudah bahwa pemuda yang gagah perkasa ini masih mencintainya dan kalau saja keadaan tidak seperti itu, ingin sekali ia menggoda pemuda ini.

“Tidak, Gwat Kong! Apapun yang akan terjadi, aku takkan sudi! Aku lebih suka mati!” Gwat Kong bernapas lega mendengar ini dan sebelum ia dapat berkata lagi, tiba-tiba nyonya Liok berkata perlahan. “Pergilah, Liok-taijin datang !”

Posting Komentar