Segera Sin Cie ketahui itu tentu ada perbuatan kawan wanitanya, ia jadi kerutkan alis. Ia cerdik dan gagah tapi ia seperti habis daya akan layani ini nona luar biasa. Untuk memohon, ia tak mau, ia sungkan, akan tetapi untuk tinggal pergi nona itu, ia tidak tega, itulah tak dapat dilakukan. Ia ada satu gadis remaja dan sekarang yatim-piatu, sebatang kara. Apa bisa ia antapkan dia berkelana seorang diri? Ia jadi sangat bingung!
Dihari besoknya itu, dua anak muda ini meninggalkan Kim-hoa, akan menuju ke Gie-ou. Si nona masih mendongkol, ia jalan didepan, hingga si pemuda mesti ikuti dia.
Mereka sudah lalui tiga puluh lie lebih tatkala cuaca menjadi buruk dengan tiba-tiba, awan mendatangi secara cepat, udara jadi mendung tandanya sang hujan bakal segera turun membasahi bumi. Keduanya lantas cepatkan tindakan mereka, akan tetapi belum sampai lima lie, air langit itu sudah turun juga, malah lantas dengan lebat.
Sin Cie sedia payung, ia tidak kuatirkan air hujan, tapi Ceng Ceng tidak, dari itu, ia lantas saja lari keras, untuk cari tempat meneduh. Apa lacur, disitu tidak ada rumah orang, tidak ada kuil atau paseban umum dimana orang bisa berlindung dari serangan air langit itu.
Sin Cie bisa lari lebih pesat, dengan cepat ia dapat menyusulnya, ia sengaja melewati, untuk dari sebelah depan, ia serahkan payungnya.
"Pakai ini," katanya.
Tanpa menjawab, Ceng Ceng tolak payung itu.
"Adik Ceng," berkata si anak muda," kita berdua sudah angkat saudara, kita telah bersumpah untuk hidup dan mati bersama, untuk senang dan susah dipikul bersama juga, kenapa sekarang kau gusari kokomu?"
Mendengar demikian, nona ini menjadi lebih sabar. "Jikalau kau tidak ingin bikin aku gusar, kau mesti turut
aku dalam satu hal," kata dia.
"Sebutkan itu," bilang Sin Cie. "Jangan kata Baru satu, sepuluh juga dapat aku menerimanya!"
"Baik, kau dengar," kata nona itu. "Sejak hari ini kau jangan ketemui pula nona An dan ibunya! Jikalau kau terima baik permintaanku ini, aku segera akan hatur maaf terhadapmu. "
Kata-kata ini ditutup dengan tertawa yang manis.
Sin Cie menjadi sulit sekali. Ia berhutang budi pada An Toanio, ia mesti balas budi itu, maka kenapa sekarang, tak
418 ada sebab tak ada lantaran, tak dapat ia menemui nyonya yang budiman itu? Sebagai seorang jujur dan kenal budi, tak dapat ia sembarang mengiakan si nona.
Selagi orang terbenam dalam keragu-raguan, Ceng Ceng kata :
"Memang aku sudah duga tak nanti kau tega meninggalkan itu adik Siau Hui. "
Ia lantas putar tubuhnya dan lari dengan pesat.
"Adik Ceng! Adik Ceng !" Sin Cie terperanjat dan memanggil-manggil.
Si nona tidak meperdulikannya, dia lari terus.
Sukur untuk mereka, sesudah beberapa pengkolan, mereka dapati sebuah paseban. Si nona lantas singgah di paseban itu, si anak muda susul dia.
Pakaian Ceng Ceng kuyup basah semua. Itu waktu musim panas, dia memakai pakaian yang tipis, tapi setelah sekarang pakaiannya lepek, maka berpeta tegaslah potongan tubuhnya. Ia merasa tidak enak sendirinya apabila ia tampak si anak muda turut masuk bersama, sedang anak muda itu pun likat. Lantas saja ia menangis.
"Kau menghina aku, kau menghina aku...." Katanya sambil menangis terus.
"Inilah aneh! Kapannya aku hinakan kau?" pikir si anak muda. Ia tidak bilang apa-apa, ia buka baju luarnya, untuk kerebongi itu pada tubuh si nona. Ia pakai payung, bajunya itu tidak basah.
Ceng Ceng ingat kebinasaan ibunya, dengan tiba-tiba saja ia menangis, ia menangis menggerung-gerung.
Sin Cie sibuk sendirinya, tak tahu apa ia mesti buat untuk mendiamkan nona ini, terpaksa ia berdiam saja.
419 Untung berselang tidak lama, hujan mulai redah dan akhirnya berhenti.
Ceng Ceng masih saja menangis, akan tetapi sambil menangis itu, satu kali ia melirik si anak muda. Justru itu, Sin Cie sedang mengawasinya, hingga dengan sendirinya, sinar mata mereka bentrok satu dengan lain. Ia lekas berpaling, kembali ia menangis keras.
Sin Cie jadi habis sabar.
"Aku hendak lihat, berapa banyaknya sih air matamu!" pikir dia. Dan dia mengantapkannya.
Ketegangan itu berjalan terus sampai sekian lama, sampai mendadak terdengar tindakan kaki, yang datangnya dari arah utara, apabila keduanya menoleh, mereka tampak satu petani muda sedang tuntun satu nyonya muda memasuki paseban itu. Si nyonya rupanya sedang sakit, ia merintih saja.
Rupanya si petani ada suaminya nyonya itu, nampaknya ia sangat merasa kasihan, berulang-ulang ia menghiburkannya.
Oleh karena disitu ada orang asing, Ceng Ceng berhenti menangis.
"Baik, aku nanti mencoba," pikir Sin Cie, yang dengan tiba-tiba dapat satu pikiran.
Tidak lama, pasangan suami-isteri muda itu meninggalkan paseban.
Ceng Ceng lihat hujan sudah berhenti betul, ia berniat melanjutkan perjalanannya, akan tetapi disaat ia berbangkit, untuk bertindak keluar, sekonyong-konyong Sin Cie menjerit: "Aduh! Aduh!...." Ia kaget sekali, segera ia menoleh, hingga ia tampak si anak muda, dengan terbungkuk-bungkuk sedang pegangi perutnya, anak muda itu lantas mendeplok di lantai. Masih saja ia teraduh-aduh dan pegangi perutnya, mukanya meringis menahan sakit.
Dalam kagetnya, Ceng Ceng lompat mendekati. Ia lihat jidatnya Sin Cie mandi keringat!
"Kau kenapa?" tanyanya. "Apakah perutmu sakit?"
Sin Cie tidak menyahuti, sedang dalam hatinya, ia berpikir : "Bersandiwara tidak boleh kepalang-tanggung. "
Dan ia tahan ambekannya, hingga ketika si nona raba tangannya, tangannya itu dingin bagaikan es.
"Kau kenapa, kenapa?" tanya pemudi ini, yang jadi sibuk bukan main.
Si anak muda merintih, ia tidak menjawab.
Tanpa merasa, nona itu menangis, saking bingung dan berkuatir.
"Adik Ceng, sakitku ini tak dapat disembuhkan," kemudian kata Sin Cie dengan suara lemah. "Tidak usah kau perdulikan aku, pergilah kau berangkat. "
"Tapi kenapa, tidak keruan-keruan kau sakit?" tanya si nona.
"Sejak masih kecil aku ada punya serupa penyakit," sahut Sin Cie dengan susah," ialah tak dapat aku dibikin mendongkol atau gusar, asal orang menerbitkannya, hatiku pepat, lantas penyakitku itu kumat, perutku sakit....Aduh!.....Aduh!....Sakit amat!. "
Ceng Ceng jadi demikian sibuk hingga lupa dia pada adat sopan-santun, ia tubruk si anak muda untuk dirangkul, dipeluki, lalu ia urut-urut dada si anak muda.
Sin Cie merasa likat sendirinya karena orang peluki ia. "Engko Sin Cie, dasar aku yang salah..." nona itu mengaku kemudian. "Sudah, engko, aku minta kau jangan bergusar lagi..."
Sin Cie pikir : "Apabila aku tidak terus bersandiwara, dia bisa sangka aku ada satu pemuda ceriwis..." maka ia tunduk terus, ia merintih.
"Aku bakal tidak hidup lebih lama pula," ia mengeluh," kalau nanti aku menutup mata, tolong kau kubur mayatku, habis itu tolong kau beri kabar pada Uy Toako..."
Ia merintih pula, ia mengeluh, akan tetapi dalam hatinya, ia tertawa geli.
"Tak dapat kau mati," Ceng Ceng menangis. "Kau tidak tahu, aku bergusar secara main-main saja, aku gusar bohong, sengaja aku hendak gaduh padamu, sedang hatiku, sebenarnya, aku suka, aku sangat sukai kau....Jikalau kau mesti mati, mari kita mati bersama. "
Heran Sin Cie, kaget dia.
"Ah, kiranya dia menyintai aku...." Pikirnya. Hatinya lantas memukul. Ia girang, Ia pun likat, dalam bimbang, ia jadi berdiam saja.
Ceng Ceng masih saja berkuatir, ia sangka si pemuda benar-benar bakal mati, maka ia merangkul dengan keras sekali.
"Engko, engko, tak dapat kau mati!. " katanya.
Mereka berada demikian dekat, Sin Cie membaui harum istimewa, hatinya goncang. Tapi mendadak ia seperti sadar.
"Sakit hatiku belum terbalas, cara bagaimana aku sudah main cinta?" demikian ia pikir. "Satu laki-laki mesti berlaku terus-terang! Bagaimana aku dapat pedayakan satu anak dara?" "Aku bergusar bohong, jangan kau anggap sebenar- benarnya," kembali si pemuda berikan pengakuannya.
Tiba-tiba saja Sin Cie tertawa.
"Sakitku juga sakit bohong, jangan kau anggap sebenar- benarnya!..." kata dia, yang kembali tertawa berkakakan.
Ceng Ceng terperanjat, hingga ia melengak. Dengan tiba- tiba ia lepaskan rangkulannya, dia lompat bangun, menyusul mana sebelah tangannya melayang kekupingnya si anak muda, hingga Sin Cie rasai kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang.
Ceng Ceng tutupi mukanya, terus dia lari. Sin Cie bingung sekali.
"Tadi dia bilang dia menyayangi aku, dia tak dapat hidup tanpa aku, kenapa sekarang dia gusar dan pukul aku?" pikirnya.
Dalam bingungnya, Sin Cie lompat bangun, untuk susul si nona, akan mengikuti dibelakangnya.
Ceng Ceng sudah umbar adatnya, habis itu hatinya lega, ketika ia menoleh, ia lihat tanda merah bergelang dipipi kiri si anak muda, bekas gaplokannya, lantas hatinya jadi lemah. Tapi ia masih likat. Tanpa kehendaknya, ia telah beberkan rahasia hatinya, ia malu sendirinya, ia jengah sekali.
Itu magrib mereka sampai di Gie-ou, lantas mereka cari hotel.
Ceng Ceng lantas minta disediakan barang makanan, Sin Cie duduk di satu meja, untuk bersantap bersama-sama.
Tiba-tiba si pemudi tertawa sendirinya. "Mau apa ikuti orang saja, sungguh menjemukan. "
Katanya.
Sin Cie raba pipinya, ia pun tertawa.
"Perutku sakit, itulah sakit bohong," katanya. "Yang benar-benar sakit adalah ini. "
Ia maksudkan pipinya sasaran gaplokan itu.
Ceng Ceng tertawa pula. Itulah tertawa yang membuat mereka berdua akur pula, hingga mereka bisa bersantap dengan bernapsu, kemudian mereka pasang omong dengan asyik.
Malam itu mereka tidur dalam kamar masing-masing. Puas hatinya Ceng Ceng akan saksikan pemuda itu ada satu laki-laki terhormat.
Besoknya pagi, Sin Cie kata pada si nona : "Adik Ceng, pekerjaan kita paling penting sekarang ini adalah antar abu ibumu ke gunung Hoa San untuk dikubur disana."