Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 80

NIC

dua kali dua sama dengan empat, dua orang mati digotong empat orang, dua kali tiga sama dengan enam, tiga orang mati harus digotong enam orang, dua kali empat sama dengan delapan ..." dia tidak melanjutkan, tapi lantas tertawa ter-kikik2.

Tercengang juga orang banyak melihat anak perempuan ini sebentar tertawa sebentar menangis, kalau anak kecil umur lima-enam tahun masih dapat dimengerti, tapi anak perempuan ini tampaknya berumur antara dua belasan, malahan perawakannya rada jangkung, apalagi setiap ucapan selalu mengutuki Ciamtay Cu-ih, jelas bukan kata2 anak kecil yang belum tahu apa2, tapi pasti ada dalangnya di belakang anak ini.

Dengan suara keras Ciamtay Cu-ih lantas berseru: "Seorang lelaki sejati harus bertindak secara terang2an, jika ada kawan yang tidak suka kepada diriku, silakan tampil ke muka untuk bicara, jika main sembunyi2 dan menyuruh seorang anak kecil untuk mengoceh iseng begitu, memangnya terhitung ksatria atau orang gagah macam apa?" Meski pendek perawakan Ciamtay Cu-ih.

tapi kata2nya itu sangat keras dan lantang hingga terasa mendengung di telinga pendengarnya.

Mau-tak-mau semua orang sama merasa kagum dan tidak berani lagi memandang hina padanya.

Suasana menjadi hening, tiada seorangpun yang menanggapi.

Selang sejenak, tiba2 anak perempuan tadi berkata; "Losuhu, dia tanya orang gagah macam apa" Apa orang dari Hong-hoa-wan mereka itu-pun orang gagah?" Ting-yat Suthay adalah tokoh terkemuka Siong-san-pay, meski iapun tidak suka terhadap pribadi Ciamtay Cu-ih, tapi tidaklah leluasa baginya untuk menghina Hong-hoawan didepan umum, maka ia hanya menjawab secara samar2: "Hong-hoa-wan di.

dimasa dahulu memang banyak juga menampilkan orang gagah." "Dan sekarang bagaimana" Apakah masih tersisa orang gagahnya?" tanya pula si anak perempuan.

Di seluruh ruangan pendopo hanya si anak perempuan saja yang bicara, suaranya bening dan jelas sehingga sangat menarik perhatian.

Dengan benci Ciamtay Cu-ih melototi anak perempuaanitu, dari ucapan anak itu ia ingin tahu sebenarnya siapa biangkeladi dibelakang layar yang sengaja mencari perkara kepada Tang-wan.

Ting-yat berdehem, jawabnya kemudian: "Hal ini kurang jelas, jaman sudah berubah, orang sekarang lain dengan orang dulu.

Ksatria sejati dan orang gagah tulen memang jarang terlihat lagi." Di balik ucapan itu jelas dapat diketahui dia tidak mengakui bahwa di Hong hoa-wan sekarang masih ada ksatria sejati.

Si anak perempuan lantas berkata pula: "Tapi kutahu ada seorang ksatria tulen." Sambil bicara ia tertawa terhadap Gi-lim.

Sementara itu tokoh2 angkatan tua sudah keluar keruangan depan, Kiau Lo-kiat dan Gi-lim juga ikut keluar.

Kiau Lo-kiat kembali bergabung dengan para Sutenya, sedangkan Gi-lim berdiri tidak jauh di samping Ting-yat, saat itu dia sedang melamun, maka jamsa sekali tak dihiraukannya apa artinya mendadak anak perempuan itu tertawa kepadanya.

Ia sedang mengenangkan kejadian pagi tadi, ia memondong jenazah Sau Peng-lam dan meninggalkan Cuisian-lau tanpa menghiraukan pandangan orang lain yang ter-heran2.

Tanpa tujaan ia melangkah ke depan, ia merasa jenazah yang dipondongnya makin lama makin dingin.

ia tidak merasakan beratnya jenazah itu, juga tidak tahu berduka.

lebih2 tidak tahu kemana jenazah itu akan dibawanya" Setiba ditepi sebuah kolam teratai, tertampak bunga teratai mekar dengan indahnya, mendadak dadanya ditumbuk sesuatu, ia tidak tahan lagi, bersama jenazah yang dipondongnya ia lantas jatuh pingsan.

Waktu ia siuman kembali, terasa cahaya matahari menyilaukan mata, cepat ia hendak memondong jenazah Sau Peng-lam lagi, tapi tangannya meraba tempat kosong.

Ia melompat bangun, dilihatnya dirinya masih berada ditepi kolam teratai itu, bunga teratai masih mekar dengan indah, namun jenazah Sau Peng-lam sudah hilang tak berbekas.

Dengan cemas ia berlari mengitari kolam teratai itu, tetap jenazah itu tidak diketemukan, ia coba memandang pakaian sendiri yang berlepotan darah, terang bukan mimpi, tapi kemana perginya jenazah Sau toako" Selain takut dan sedih, hampir saja ia jatuh kelengar pula.

Ia berusaha menenangkan diri, lalu mencari lagi, namun jenazah Sau-toako benar2 telah lenyap tanpa bekas.

Malahan iapun memeriksa kolam teratai dengan airnya yang jernih itu.

tapi juga tiada terlihat sesuatu yang mencurigakan.

Begitulah, dengan bingung iapun menuju ke Cu-joan dan bergabung dengan gurunya di kediamanan Wi Kay-hou.

Tapi dalam hati senantiasa ber-tanya2: "Kemana perginya jenazah Sau-toako" Apakah ditolong orang yang kebetulan lalu di Sana" Atau digondol binatang buas?" Teringat tewasnya Sau-toako adalah akibat hendak menyelamatkan dirinya, tapi sekarang jenazah Sau-toako saja tak dapat dijaga dengan baik olehnya.

Bila benar jenazah digondol dan dimakan binatang, maka dirinya sungguh tidak ingin hidup lagi.

Padahal seumpama jenazah Sau Peng-lam sekarang masih baik-baik dan tidak hilang, rasanya ia pun tidak ingin hidup lagi.

Tiba-tiba, dari libuk hatinya yang dalam timbul pikiran yang seharusnya tidak boleh terjadi pada orang beragama seperti dia.

Pikiran ini sudah timbul ber-kali2 seharian ini, tapi segera ia dapat mengatasi pergolakan pikiran itu, ia membatin: "Mengapa hatiku menjadi tidak tenang dan suka berpikir hal yang bukan2 begini" Sungguh terlalu dan tidak boleh terjadi lagi." Akan tetapi sekarang pikiran demikian timbul kembali dan sukar lagi dihalau.

dengan jelas terbayang olehnya; "Waktu kupondong jenazah Sau-toako, timbul pikiranku akan kupondong dia untuk selamanya, betapapun akan kucari jenazahnya.

Sebab apakah timbul pikiran demikian" Apakah karena tidak tega jenazahnya dimakan binatang buas" Ah, tidak, rasanya tidak.

Waktu kupondong jenazahnya dan duduk termenung ditepi kolam teratai, mengapa mendadak aku jatuh pingsan" Ah, sungguh konyol aku ini.

Tapi, tapi seharusnya tidak boleh kupikirkan hal ini, Suhu takkan mengizinkan, Buddha juga melarang, ini pikiran sesat, pikiran jahat, aku tidak boleh tersesat.

Akan tetapi, kemana perginya jenazah Sau-toako?" Begitulah pikirannya menjadi kacau, tiba2 ia seperti melihat senyuman yang menghiasi ujung mulut Sau Penglam, senyuman yang acuh-tak-acuh, lalu terbayang pula cara Sau Peng-lam memakinya sebagai "Nikoh cilik sialan" dengan sikap yang menghina itu.

Mendadak dadanya kesakitan seperti disayat-sayat dan.

..

tersadarlah dia dari lamunannya.

Begitulah didengarnya Ciamtay Cu-ih sedang bertanya: "Kiau Lo kiat, apakah anak perempuan ini anak murid Soh-hok-han kalian?" Rupanya teringat olehnya anak perempuan itu menyebut "Belibis jatuh denan pantat lebih dulu" tadi, timbul dugaannya jangan2 anak perempuan ini kenal Sau Peng-lam dan mungkin pula anak murid Lam-han.

Tapi Kiau Lo-kiat telah menyangkal, jawabnya: "Bukan, adik cilik ini bukan murid Lam-han, bahkan baru sekarang Tecu melihat dia." "Baik, tak menjadi soal jika kau tidak mengakuinya," kata Ciamtay Cu-ih, mendadak tangannya berayun, setitik sinar hijau terus menyambar kearah Gi-lim, berbareng ia membentak: "Siau-Suhu, apa ini?"' Gi-lim sedang ter-mangu2 tak disangkanya Ciamtay Cuih akan menyerangnya dengan Am-gi atau senjata gelap.

Titik hijau itu adalah sebiji gurdi kecil, dari suara mendengingnya jelas tenaga sambitannya cukup keras.

Tiba-tiba timbul rasa senang dalam hati Gi-lim: "Biarkan saja dia membunuhku.

Memangnya aku tidak ingin hidup lagi, bisa mati akan lebih baik." Karena hasrat ingin mati, maka sama sekali ia tidak menghindar atau berkelit ketika senjata rahasia itu menyambar tiba, padahal beberapa orang sama berteriak memperingatkan dia.

Cepat Ting-yat mendorong pelahan anak perempuan tadi kesamping, menyusul ia terus melayang maju dan mengadang di depan Gi-lim.

Jangan mengira Ting-yat sudah tua, gerakannya ternyata gesit dan cepat luar biasa, dia sempat mengadang didepan senjata rahasia dan masih dia sempat menangkis atau menangkap senjata rahasia itu.

Tak tersangka kira2 setengah meter di depan Ting-yat, mendadak senjata rahasia itu jatuh kebawah dan "plok", jatuh ke lantai.

Sebenarnya sekali raih saja senjata rahasia itu dapat ditangkap Ting-yat dengan mudah, tapi menurut taksirannya, luncuran gurdi yang lambat itu masih sempat ditangkapnya nanti bila sudah dekat didepan dadanya.

Dengan cara demikian akan lebih menonjol gayanya sebagai seorang tokoh silat terkemuka.

Tak tersangka cara Ciamtay Cu-ih menggunakan tenaga sambitan senjata rahasia memang sangat aneh, sudah diperhitungkannya dengan baik bilamana senjata rahasia itu mendekati sasarannya, daya luncurnya akan mulai lemah dan kira2 setengah meter didepan ia akan akan jatuh ketanah, Dan Ting-yat ternyata terjebak, begitu tangannya terjulur.

tahu2 meraih tempat kosong, hal ini berarti dia telah kalah satu jurus.

Tanpa terasa mukanya menjadi merah, tapi tiada alasan baginya untuk marah.

Pada saat itulah dilihatnya tangan Ciamtay Cu-ih berayun lagi, segulung kertas telah dilemparkan kemuka anak perempuan tadi.

Gulungan kertas ini adalah kertas yang bergambar kura2 yang diremasnya tadi.

Baru sekarang Ting-yat tahu maksud tujuan Ciamtay Cuih, rupanya Hong-hoa-wancu itu sengaja menyambitkan gurdi kecil tadi untuk memancing dia menyingkir dan tidak sengaja hendak melukai Gi-lim.

Dilihatnya sambaran pulungan kertas itu sangat keras, jauh lebih kuat daripada sambaran gurdi tadi.

Bagi seorang ahli Lwekang, biarpun sehelai daun atau secuil kelopak bunga saja dapat digunakan melukai orang.

Jika pulungan kertas itu tepat mengenai muka anak perempuan itu, maka sukar baginya untuk terhindar dari luka parah.

Tatkala mana Ting-yat berdiri disamping Gi-lim, apa yang terjadi ini terlalu cepat, betapapun ia tidak sempat lagi menolongnya.

Baru saja ia berseru memperingatkan, tiba2 terlihat anak perempuan itu mengangkat tangan kanan, jarinya yang kecil itu menyelentik pulungan kertas.

"Crit", pulungan2 kertas itu hancur menjadi kertas kecil2 dan bertebaran seperti kupu2.

Posting Komentar