Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 63

NIC

Kiranya Thio Yan-coan ini berjuluk "Ban-li-tok-heng" atau jalan sendiri berlaksa li, artinya ke manapun dia selalu beroperasi seorang diri.

Dia memang seorang bandit yang memusingkan kepala setiap orang Hek-to (kalangan hitam) maupun Pek-to (golongan putih).

Ilmu silat orang ini sangat tinggi, ditambah lagi banyak tipu akalnya pergi datang tanpa meninggalkan bekas.

cara turun tangannya juga sangat keji tanpa kenal kasihan, merampok, menculik, memperkosa anak gadis, hampir segala macam kejahatan dapat diperbuatnya.

Pernah beberapa kali tokoh2 Bu-lim bergabung bendak menangkapnya, tapi dia selalu dapat menghilang atau bersembunyi.

Begitu orang2 yang hendak menangkapnya itu bubar, lalu didatanginya orang itu satu persatu, ada yang disergap ada yang diracuni, pokoknya semua orang yang memusuhi dia itu telah dikerjainya dan terbunuh.

Yang paling merontokkan nyali orang, terutama kaum wanitanya.

ialah Thio Yan-coan ini gemar ia perempuan, bila perlu main perkosa.

Perempuan yang agak lumayan parasnya hampir tidak yang dapat mempertahankan kesuciannya jika jatuh ditangannya, sebab itulah orang Bulim sama membencinya dan bila mungkin ingin menumpasnya.

"Kau kenal keparat Thio Yan-coan itu, Gi-kong sumoay?" tanya Kiau Lo-kiat tiba2.

"Orang itu memang mudah dikenal," tutur Gi-kong.

"Pada dahi kanan orang itu ada toh hijau berbulu, toh hijau sebesar mata uang." Toh hijau berbulu memang merupakan tanda pengenal khas Thio Yan-coan, hal ini boleh dikatakan diketahui hampir setiap orang Kangouw.

Orang suka bilang Thian memang maha pengasih meski salah menciptakan manusia maha jahat seperti Thio Yan-coan itu, tapi setidak2nya pada muka orang jahat itu diberinya juga tanda pengenal yang menyolok agar orang dapat ber-jaga2 bila melihatnya.

Jika mukanya bersih tanpa cacat seperti orang biasa, mungkin orang yang menjadi korban keganasannya akan berlipat ganda jumlahnya.

Begitulah Ting-yat Suthay lantas berteriak pula: "Coba, Sau Peng-lam si binatang kecil ini ternyata bergaul dengan bangsat semacam Thio Yan-coan itu.

bukankah dia telah terjerumus benar2 dan tiada obatnya lagi" Maka kalau guru kalian tidak mau mengurusnya, jika kutemukan dia pasti tidak kuampun, harus kupenggal kepalanya." Setelah merandek sejenak, ia menyambung pula: "Hm, orang takut kepada bangsat Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan itu, bila bertemu justeru akan kulabrak dia habis2an.

Tapi ketika kuterima laporan dan memburu kesana, ternyata Gi-lim sudah dibawa pergi oleh mereka." Sampai di sini suaranya berubah menjadi parau, dengan menyesal ia berkata pula: "Ai, Gi-lim, anak ini, bagaimana ....

bagaimana jadinya nanti!" Di antara murid Pek-hun-am ada yang menangis pelahan, semuanya membayangkan nasib Gi-lim yang kecil mungil dan lemah-lembut itu pasti tak terhindar dari perbuatan jahat Thio Yan-coan.

Hati Kiau Lo kiat dan kawan2nya juga berdebar, pikir mereka: "Melulu mengajak minum arak bersama Gi-lim sehingga melanggar pantangan seorang Nikoh, perbuatan Toasuko ini saja sudah melanggar tata-tertib perguruan, apalagi dia bergaul pula dengan penjahat macam Thio Yancoan jelas dosanya lebih2 tak dapat diampuni." Sejenak kemudian, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Susiok mungkin Sau-suheng juga baru bertemu dengan Thio Yancoan dan belum kenal baik, soalnya Sau-suheng memang gemar minum arak, bisa jadi waktu itu dia sudah terlalu banyak menenggak arak sehingga pikirannya kurang sadar perbuatan orang mabuk tentu tak dapat dianggap.

" Dia tahu Toasuheng itu tidak pernah mabuk betapa pun arak yang diminumnya, dia bicara begitu hanya karena ingin membela sang Suheng saja.

Dengan gusar Ting-yat berkata: "Betapapun dia mabuk juga tetap ada dua-tiga bagian masih sadar, masa orang macam dia tak dapat membedakan antara yang baik dan busuk?" Terpaksa Kiau Lo-kiat mengiakan, katanya: "Entah sekarang Sau-suheng berada dimana, Sutit sekalian juga sedang menunggu dan ingin bertemu dengan dia.

Biarlah kami minta maaf dulu kepada Susiok dan nanti akan kami laporkan kepada Suhu biar memberi hukuman setimpal kepada Toasuheng." "Memangnya kau kira aku mau repot mengurusi Suheng kalian?" ucap Ting-yat dengan gusar, sekali tangan terjulur, mendadak pergelangan tangan Leng Seng dipegangnya.

Seketika Leng Seng merasa tangannya seperti terbelenggu, ia menjerit kaget dan berseru: "He, Su.

Susiok.

" "Kalian telah membawa lari Gi-lim, biar akupun menawan seorang murid perempuan kalian sebagai sandera, kalau Gi-lim sudah kalian lepaskan, segera aku pun membebaskan Seng-ji," kata Ting-yat, lalu ia menyeret Leng Seng keluar.

Leng Seng merasa separoh badan bagian atas kaku tak bertenaga, tanpa kuasa ia diseret sehingga sempoyongan dan ikut keluar rumah minum itu.

Cepat Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat memburu maju dan menghadang di depan Ting yat, dengan hormat Kiau Lokiat berkata: "Ting-yat Susiok, yang bersalah adalah Toasuheng kami dan tiada sangkut-pautnya dengan Siausumoay, mohon Susiok sudi lepaskan.

" "Baik, akan kulepaskan!" sela Ting-yat sambil melayang maju.

Kontan Kiau Lo-kiat dan Nio Hoat merasa ditumbuk oleh arus tenaga yang maha kuat, napas terasa sesak dan tanpa kuasa tubuh terus mencelat ke belakang.

Kiau Lo-kiat menumbuk daun pintu sebuah toko disebelah sana, sedangkan Nio Hoat mencelat kearah pikulan si penjual pangsit.

Tampaknya pikulan penjual pangsit itu akan berantakan diseruduk oleh tubuh Nio Hoat yang gede itu, mendadak si kakek tukang pangsit menjulurkan sebelah tangannya menahan dipunggung Nio Hoat sehingga No Hoat dapat berdiri dengan tegak.

Ting yat Suthay terkesiap, ia berpaling dan melototi si tukang pangsit, serunya kemudian: "O, kiranya kau!" "Betul, aku!" jawab si tukang pangsit dengan tertawa.

"Ai, terlalu keras juga watak Suthay ini." "Peduli apa?" omel Ting-yat.

-ooo0dw0ooo- PADA saat itulah dari jalan sana ada dua orang berlari datang dengan membawa payung dan menenteng lampu berkerudung.

Begitu dekat mereka lantas berseru: "Adakah disitu Sin-ni dari Siong-san-pay?" Agaknya Ting-yat merasa senang disebut "Sin-ni" atau Nikoh sakti, segera ia menjawab: "Ah, tidak berani.

Tingyat dari Siong-san memang berada di sini.

Dan siapa anda?" Sesudah dekat, kelihatan kerudung lampu yang dibawa kedua orang itu tertulis huruf '"Wi".

Seorang diantaranya lantas berkata: "Wanpwe diperintahkan oleb Suhu agar mengundang Ting-yat Supek dan para Suci ke tempat kediaman kami.

Sebelum ini Wanpwe tidak tahu akan kedatangan Supek sehingga tidak mengadakan penyambutan, untuk ini harap Supek sudi memberi maaf." Habis berkata mereka lantas memberi hormat.

"Tidak perlu banyak adat," kata Ting-yat.

"Apakah kalian murid Wi-sute, Wi Kay-hou?" "Betul, Wanpwe bernama Hiang Tay-lian dan ini Bi Oh-gi Sute," jawab orang itu.

Watak Ting-yat suka disanjung, melihat Hiang Tay-lian dan Bi Oh-gi sangat menghormat padanya, Ting-yat sangat senang, katanya: "Baik, memang kami akan berkunjung ke tempat kalian." Lalu Hiang Tay-lian bertanya kepada No Hoat dan lain2: "Dan anda ini" ...." "Cayhe Nio Hoat dari Lam-han," jawab Nio-hoat.

"Ah, kiranya Nio-samko dari Lam-han." Seru Hiang Tay-lian dengan gembira.

"Sudah lama kudengar nama kebesaran Nio-samko, silakan para hadirin ikut pergi ketempat kami.

Suhu sudah memberi pesan agar menyambut para ksatria yang datang dari segenap penjuru.

lantaran banyaknya pengunjung sehingga tidak merata penyambutan ini mohon para kawan suka memberi maaf Hayolah silakan." Sementara itu Kiau Lo-kiat sudah mendekat berkata: "Sebenarnya kami ingin bergabung dulu dengan Toasuheng, lalu berkunjung dan menyampaikan selamat kepada Wi-susiok." "O, anda tentunya Kiau-jisuko," kata Hiang Tay-lian, "Suhu sering memuji para Suheng dari Lam-han betapa lihay, bahkan Sau Peng-lam, Sau-suheng adalah ksatrianya ksatria.

Jika Sau-suheng datang.

kan sama saja para Suheng hadir lebih dulu." Kiau Lo-kiat pikir Siausumoaynya jelas akan diseret pergi oleh Ting-yat Suthay, melihat gelagatnya tidak mungkin dilepaskan meski dimohon, terpaksa ikut pergi saja sekalian agar dapat mengawasi keselamatan sang Sumoay.

Maka ia lantas mengiakan atas undangan Hiang Tay-lian itu.

"Dan orang tua ini kau undang atau tidak?" tiba2 Ting-Yat menuding sikakek tukang pangsit.

Hiang Tay-lian memandang si kakek sejenak, mendadak ia ingat sesuatu, cepat ia memberi hormat dan berkata: "Mungkin inilah Ho-supek dari Gan-tang-san" Ah, maaf, jika kurang hormat.

Silakan, silakan Ho-supek hadir juga." Kiranya si kakek tukang pangsit ini bernama Ho Sam-jit, tokoh Gan-tang-san dan selatan Ciat-kang.

Sejak kecil pekerjaan Ho Sam-jit adalah menjual pangsit, setelah berhasil meyakinkan ilmu silat tetap tidak meninggalkan pekerjaannya itu, dengan pikulan pingsit itulah dia mengembara Kangouw, pikulan pangsit itu boleh dikatakan "trade mark" nya Cuma penjual pangsit dimana2 ada, kalau tidak kenal, siapapun tidak tahu bahwa dia seorang tokoh ilmu silat yang kosen.

Tapi kalau jelas penjual pangsit mahir ilmu silat, maka pasti bukan orang lain kecuali Ho Sam-jit.

Begitulah Ho Sam-jit lantas bergelak tertawa dan berseru.

"Haha, bagus, memang aku ingin berkunjung ke tempat kalian." Lalu ia masuk ke rumah minum tadi dan membereskan mangkuk dan sumpit pangsit.

"Wanpwe tidak kenal, mohon Ho-cianpwe jangan marah?" cepat Kiau Lo-kiat minta maaf.

"Ah, tidak apa2, masa marah." ujar Ho Sam-jit dengan tertawa.

"Kalian sudi makan pangsitku, adalah kalian langgananku, masa aku marah2" Eh, delapan mangkuk pangsit, satu mangkuk sepuluh duit jadi seluruhnya delapan puluh duit." Sambil omong ia terus menyodorkan tangannya untuk menerima pembayaran.

Kiau Lo-kiat merasa kikuk dan serba salah tidak diketahui sikap He Sam-jit itu sungguh2 atau bergurau saja.

"Makan pangsit harus kasih uang, kan Ho Sam-jit tidak bilang mau menjamu kalian?" ucap Ting-yat Suthay.

"Betul," kata Ho Sam-jit dengan tertawa." "Kita ini penjaja kecilan, semuanya dijual secara kontan.

biarpun sobat anda atau sanak-pamili juga tidak boleh utang." "Baik, baik, pasti kubayar," seru Kiau Lo-kiat cepat2 menghitung uang, iapun tidak berani membayar lebih, ia bayar pas delapan puluh duit.

Setelah terima uang.

Ho Sam-jit menjulurkan tangannya pula kepada Ting-yat Suthay dan berkata; "Kau pecahkan tiga buah mangkuk pangsit,seluruhnva 45 duit, hayo bayar!" "Dasar pelit, orang perempuan juga kau peras." Omel Ting-yat dengan tertawa.

"Gi-kong.

bayar!" Gi-kong mengiakan dan lekas menyerahkan jumlah uang yang disebut.

Semua uang itu dimasukkan ke bumbung bambu yang terikat di pikulan, lalu Ho Sam-jit mengangkat pikulannya dan berkata: "Hayo berangkat." Sebelum pergi Hiang Tay-lian berkata kepada pemilik rumah minum: "Hitung saja semua minuman tuan2 ini, Wi-loya yang bayar nanti." "Ah, kiranya tetamu Wi-loya, mana kami berani menghitung dan menagih kepada Wi-loya, anggap saja kami yang menjamu tetamu Wi-loya," kata si pemilik rumah minum.

Maka Hiang Tay-lian lantas membawa para undangannya ke rumah.

Ting-yat tetap memegang tangan Leng Seng dan berjalan dibelakang Hiang Tay-lian, menyusul adalah Ho Sam-jit, anak murid Lam-han dan Siong-san-pay ikut dari belakang.

"Biarlah aku pun ikut pergi bersama mereka, mungkin dapat kuselundup ke tempat Wi Kay-hou," demikian pikir Peng-say.

Posting Komentar