“Lo-cianpwe (orang tua gagah) Sin-kiam Lojin memang seorang sakti yang bijaksana.”
“Ah, bicara tentang suhu membuat aku merasa rindu sekali padanya, Sam-ko. Kalau begitu, tentang Kam Ki biar kuserahkan saja padamu apa yang akan kaulakukan terhadap dirinya. Kalau engkau tidak keberatan, aku ingin ikut padamu mencari sambil meluaskan pengalaman di dunia kang-ouw, dan kalau kita berada dekat Heng-san, aku akan berkunjung kepada suhu yang sudah tua.” “Tentu saja aku tidak keberatan, Hwa-moi. Kalau engkau setuju kita dapat mulai perjalanan kita besok.”
“Besok? Aku harus bicara dulu dengan kedua orang kakakku, dan merundingkan urusan pertunangan mereka dengan kedua enci kembar.”
“Wah, engkau memang pandai menjadi comblang. Mungkinkah kelak engkau juga menjadi comblang dan mencarikan seorang jodoh untukku?”
“Apakah engkau yang sudah berusia duapuluh lima tahun belum mempunyai calon jodoh, Sam-ko?”
Bun Sam tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Belum, Hwa-moi. Entah me-ngapa, akan tetapi sampai sekarang aku masih belum laku. Bahkan yang datang menawarkan belum pernah ada!”
“Ih! Memang engkau ini barang dagangan? Hayo kita temui mereka, Sam-ko. Sudah cukup lama kita memberikan kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap dan berunding. Mari Sam-ko!”
Mereka lalu memasuki ruangan di mana mereka tadi meninggalkan dua pasang kekasih itu bercakap- cakap dengan leluasa. Karena tidak ingin mengganggu, maka setelah tiba di depan pintu ruangan, sebelum masuk Bun Sam mengetuk daun pintunya terlebih dulu.
“Siapa? Masuklah!” terdengar Ui Kiang menegur dari dalam.
Bwee Hwa dan Bun Sam muncul dan serentak empat orang muda yang berada di dalam menyambut dengan gembira dan mereka berseru, “Nah, ini mak comblang kita datang!”
Bwee Hwa memandang kepada mereka dan ikut tertawa senang melihat betapa wajah empat orang itu begitu cerah berseri dan mereka tersenyum gembira.
“Hemm, sepatutnya kalian berempat berterima kasih dan memberi hadiah kepadaku, bukan malah mentertawakan aku!” kata Bwee Hwa.
Dua orang gadis kembar menghampiri dan merangkulnya.
“Adikku yang manis, kami memang amat berterima kasih padamu!” kata Ui Kiang dan Ui Kong hampir berbareng.
Mereka semua duduk mengelilingi meja. “Nah, sekarang ceritakan padaku, keputusan apa yang telah kalian ambil. Aku sebagai mak comblang harus mengetahuinya!”
“Begini, Hwa-moi. Adik Gin Siang bersama aku akan pergi mengunjungi Pek-hwa Sianli di Kim-ke-san (Bukit Ayam Emas) untuk membicarakan urusan perjodohan kami berempat, sedangkan enci Kim Siang akan berada di sini membantu Kiang-ko mengurus perusahaan kita yang cukup merepotkan. Tentu saja engkau juga harus membantu Kiang-ko mengurus beberapa macam perusahaan kita, Hwa-moi.”
“Wah, sayang sekali aku belum dapat membantu, Kiang-ko dan Kong-ko. Aku juga akan pergi membantu Sam-ko mencari Thio Kam Ki, dan aku ingin me-ngunjungi guruku di Heng-san untuk memberitahu bahwa aku telah mendapatkan dua orang kakak angkat yang baik hati di Ki-lok. Aku sudah merasa rindu kepada suhu yang sudah tua.” “Tapi...... engkau harus berada di sini kalau. kami merayakan pernikahan kami!” kata Ui Kiang.
“Benar, Hwa-moi! Kami tidak akan merasa bahagia kalau adik kami satu-satunya tidak hadir menyaksikan upacara pernikahan kami!” kata Ui Kong.
Bwee Hwa tertawa. “Hemm, jangan kalian khawatir, kakak-kakakku yang baik! Katakan saja, kapan pernikahan kalian dilaksanakan, aku pasti akan pulang pada waktunya!”
“Ah, hal ini kami belum dapat memastikan kapan, Hwa-moi,” kata Ui Kiang. “Tergantung hasil pertemuan Kong-te dan Gin-moi nanti dengan Pek-hwa Sianli. Kami ingin melangsungkan pernikahan secepatnya ”
“Aih, terburu-buru amat! Tidak sabar lagi, Kiang-ko?” Bwee Hwa menggoda sehingga muka Ui Kiang menjadi merah.
“Hussh!” cela Ui Kong. “Adik macam apa kau ini, menggoda kakak yang lebih tua!” Akan tetapi berkata begini dia sambil tertawa sehingga semua orang ikut tertawa, maklum bahwa itu hanya kelakar belaka. “Kita semua sudah yatim piatu, maka kalau memang sudah ada keputusan, mengapa harus menunggu- nunggu lagi? Perusahaan kita yang banyak membutuhkan penanganan perlu segera kita urus, dan enci Kim beserta adik Gin dapat membantu kami. Juga engkau!”
“Begini saja,” kata Bwee Hwa. “Besok pagi aku berangkat, dan bagaimana kalau setahun kemudian aku kembali? Apakah terlalu lama untuk kalian yang sudah tidak sabar lagi?”
“Setahun?” kata Ui Kiang. “Nanti dulu, lama waktunya tergantung dari kepergian Kong-te berdua ke Kim-ke-san. Berapa lama kira-kira perjalanan ke sana sampai selesai dan kembali ke sini, Kim-moi?”
Kim Siang dan Gin Siang mengingat-ingat, lalu Kim Siang berkata. “Kim-ke-san cukup jauh dari sini. Perjalanan menunggang kuda akan makan waktu sekitar dua bulan.”
“Hemm, dua bulan? Jadi perjalanannya saja empat bulan pulang pergi, belum waktu yang dipergunakan untuk berunding di sana bersama Pek-hwa Sianli, dan belum lagi diperhitungkan kalau ada rintangan dalam perjalanan. Kukira kalau aku kembali satu tahun setelah besok aku pergi, aku tidak akan terlambat menghadiri upacara pernikahan kalian.”
“Baiklah, Hwa-moi. Kamipun harus menghabiskan masa perkabungan kami. Jadi, setahun lagi engkau harus pulang dan kami akan menunggu kedatanganmu sampai setahun sejak besok pagi,” kata Ui Kiang.
Malam itu, enam orang muda ini bercakap-cakap sampai jauh malam. Mereka bercakap-cakap dan bersendau gurau sehingga suasana semakin akrab. Bahkan Sie Bun Sam sendiri yang selama ini tinggal di Pegunungan Himalaya yang sunyi, merasa amat gembira karena belum pernah dia mendapatkan sahabat-sahabat yang sehaluan dan sebaik mereka.
Diam-diam dia memperhatikan sikap dan ucapan Bwee Hwa dan dia mengambil kesimpulan bahwa gadis yang cantik jelita ini biarpun tampaknya keras hati, namun sesungguhnya memiliki watak yang lembut dan juga berjiwa pendekar. Maka dia menjadi semakin tertarik kepada Ang-hong-cu Lim Bwee Hwa, Si Tawon Merah ini. Pada keesokan harinya, Bwee Hwa berangkat pergi dengan Bun Sam. Biarpun Bun Sam dengan sungkan menolak namun kedua orang kakak beradik Ui itu memaksanya untuk menerima pemberian mereka seekor kuda. Bwee Hwa juga mendapatkan seekor kuda dan sekatung uang emas dan perak untuk bekal perjalanan. Ui Kong dan Can Gin Siang juga pergi menunggang kuda. Ui Kiang tinggal di rumah bersama Can Kim Siang yang akan membantunya mengurus perusahaan keluarga Ui yang banyak itu.
Dusun Liok-teng sebetulnya merupakan sebuah dusun yang cukup besar dan ramai, dan daerah itu sebetulnya merupakan daerah yang subur. Hasil pertanian dan perkebunan di daerah itu melimpah sehingga sebetulnya dapat memakmurkan rakyatnya. Akan tetapi, seperti kebanyakan keadaan dusun di waktu itu, hampir semua tanah pertanian maupun perkebunan dimiliki oleh beberapa orang hartawan saja sehingga sebagian besar rakyatnya hidup dari penghasilan mereka sebagai pekerjaan tani yang mendapat upah yang besarnya ditentukan oleh para pemilik tanah dan kebun. Maka, keadaan di dusun Liok-teng, kalau dilihat dari rumah-rumah para penduduk, tampaknya seperti daerah yang miskin.
Rumah-rumah penduduk kebanyakan kecil dan menggambarkan kemiskinan. Namun di situ terdapat banyak toko besar dan juga ada rumah penginapan dan rumah makan karena dusun itu didatangi banyak tamu yang berdagang dengan para hartawan. Dan ada sepuluh rumah besar dan mewah di dusun itu, yaitu delapan buah rumah besar tempat tinggal para hartawan yang memiliki tanah dan sawah di pedusunan itu. Yang dua buah lagi adalah rumah kepala dusun dan komandan pasukan keamanan yang hanya terdiri dua losin orang saja.
Pada suatu pagi, dusun Lok-teng geger karena dusun itu diserbu perampok yang jumlahnya tidak kurang dari limapuluh orang, dipimpin dua orang kepala perampok yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya menyeramkan. Tentu saja pasukan kemanan dusun itu segera melakukan perlawanan. Akan tetapi ternyata para perampok itu rata-rata tangguh dan sudah biasa berkelahi, apalagi dua orang pemimpin mereka adalah orang-orang yang amat tangguh. Jumlah mereka juga terlampau banyak bagi dua losin perajurit yang bertugas menjaga keamanan dusun itu.
Para perajurit ini tidak pernah bertempur dan mereka itu biasanya hanya menghadapi orang-orang dusun yang tidak berani melawan. Maka begitu menghadapi lawan yang selain jauh lebih besar jumlahnya, juga rata-rata jagoan berkelahi, sedikitnya selosin orang perajurit roboh dan sisanya melarikan diri cerai berai keluar dari dusun Liok-teng.