Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 61

NIC

Akan tetapi yang membuat Bwee Hwa dan Bun Sam terheran-heran adalah ketika dua orang pemuda itu tanpa ragu dan tanpa meneliti lagi sudah melakukan pilihan masing-masing dengan tepat. Ui Kiang menghampiri Kim Siang dan memegang tangan gadis itu.

“Inilah adik Kim Siang!”

Dan Ui Kong tanpa ragu-ragu menghampiri gadis yang mengenakan sapu tangan merah di sabuknya, memegang tangannya dan berkata dengan tegas. “Inilah adik Gin Siang!”

Bwee Hwa tertawa dan bertepuk tangan memuji.

Bun Sam merasa kagum, dan berkata. “Hebat sekali kalian, Kiang-te dan Kong-te, bagaimana kalian dapat mengenal dan membedakan antara mereka dengan baik? Padahal aku harus mengakui bahwa aku sendiri akan bingung kalau disuruh membedakan di antara kedua orang adik kembar ini!”

“Kiang-ko dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat memilih begitu tepat? Pada hal aku sudah memindahkan saputangan merah itu dari sabuk enci Kim Siang ke sabuk enci Gin Siang! Tentu ada rahasianya sehingga kalian dapat melihat perbedaan di antara mereka! Katakanlah, apa rahasia mereka itu?”

“Tidak ada rahasianya. Akan tetapi aku akan mudah mengenal adik Gin Siang, biarpun andaikata ia mempunyai seratus orang saudara kembar. Sinar pandang matanya itulah yang membuat aku dapat mengenalnya dengan segera!” kata Ui Kong sambil menatap tajam wajah gadis itu.

Gin Siang balas memandang dan ketika dua pasang mata itu bertemu pandang, ada sesuatu yang membuat jantung mereka berdebar dan Gin Siang, gadis gagah perkasa itu menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan seperti seorang gadis dusun yang pemalu!

“Dan bagaimana dengan engkau, Kiang ko? Apa yang membuat engkau begitu mudah mengenal enci Kim Siang?” tanya Bwee Hwa.

Ui Kiang tampak malu-malu, apalagi dia baru menyadari bahwa sejak tadi dia masih memegangi tangan Kim Siang dan anehnya, gadis itupun membiarkan saja tangannya sejak tadi dipegang pemuda sasterawan itu!

“Kalau aku....... ah, mudah saja begitu adik Kim Siang tersenyum aku segera mengenalnya karena

…… karena ada yang gingsul (bertumpang tindih) pada giginya yang atas, yang membuat senyumnya menarik sekali.”

Semua orang tertawa dan Kim Siang menjadi perhatian. Iapun ikut tertawa dan tampaklah oleh semua orang bahwa memang benar ada giginya yang gingsul sedangkan Gin Siang tidak. Kalau keduanya tidak tersenyum, perbedaan itu sama sekali tidak tampak!

“Hei, kenapa kita semua lupa bahwa kita belum mendengar cerita kedua adik kembar ini? Enci Kim Siang, ceritakanlah pengalamanmu, bagaimana kalian berdua sampai tertawan pula oleh si jahanam Kam Ki,” kata Bwee Hwa.

Kim Siang menghela napas panjang.

“Kami berdua telah menjadi yatim piatu sejak kami berusia sembilan tahun. Ayah dan ibu tewas ketika terjadi perang saudara dan kami pasti terlantar kalau saja tidak ada piauw-ci (Kakak perempuan misan) kami yang menolong kami. Ia memelihara dan mendidik kami, mengajarkan ilmu silat kepada kami. Ketika kami berusia enambelas tahun, kami menjadi murid Hoa-san Kui-bo dan tinggal di Hoa-san selama tiga tahun. Setelah itu, kami kembali ke rumah piauw-ci di Kim-ke-san (Bukit Ayam Emas).

“Piauw-ci kami minta kepada kami untuk membalaskan dendam kepada seorang pemuda bernama Thio Kam Ki karena pemuda yang menjadi kekasihnya itu telah melakukan penyelewengan dan menyakitkan hatinya. Mengingat akan budi kebaikan piauw-ci itu kepada kami, terpaksa kami menyanggupi. Akan tetapi kami berdua diam-diam mengambil keputusan bahwa kalau Thio Kam Ki itu seorang pemuda yang baik-baik, kami tidak akan membunuhnya, hanya minta dia kembali ke Kim-ke-san untuk menghadap piauw-ci mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Akan tetapi di kaki bukit ini kami mendengar keluhan penduduk pedusunan tentang gerombolan pengganggu rakyat yang berada di puncak ini. Kami lalu naik untuk membasmi gerombolan. Sungguh tidak disangka bahwa pemimpin gerombolan Pek-lian-kauw ini mengaku bernama Thio Kam Ki, orang yang kami cari-cari. Tentu saja kami lalu menyerang untuk membunuhnya, pertama karena seorang kepala gerombolan yang jahat, kedua untuk memenuhi permintaan piauw-ci kami.

Kemudian, kami dikeroyok dan dibuat pingsan oleh asap pembius dari ledakan benda peledak. Dalam keadaan pingsan itu kami tidak tahu apa yang terjadi dan ketika siuman, kami sudah berada di dalam kamar, terikat kaki tangan kami, bersama Bwee Hwa ini. Nah, demikianlah kisah kami.”

“Sungguh luar biasa!” Ui Kiang berkata. “Betapa anehnya kalau Tuhan mengatur perjalanan hidup para manusia! Kita berenam ini secara kebetulan bertemu dan berkumpul di sini, bersama-sama menentang gerombolan penjahat dan kini aku mendapat kenyataan bahwa kami semua ini adalah orang-orang yatim piatu! Sungguh merupakan suatu kebetulan yang luar biasa. Karena itu, aku dan Kong-te dalam kesempatan ini mengundang kalian semua, kakak Sie Bun Sam, adik Lim Bwe Hwa, dan kedua adik Can Kim Siang dan Can Gin Siang, untuk bersama-sama berkunjung ke rumah kami. Secara kebetulan kita semua telah menjadi sahabat-sahabat baik, dan di rumah kami, kita dapat mempererat persahabatan kita dan dapat bercakap-cakap lebih leluasa. Marilah, kalian berempat kami undang!”

Kim Siang dan Gin Siang saling pandang dan Gin Siang berkata.

“Akan tetapi....... kami belum berhasil membunuh jahanam Thio Kam Ki, kami harus mengejar dan mencarinya.”

“Gin Siang-moi, jangan khawatir aku akan membantumu mencari penjahat itu. Sekarang. kuharap engkau sudi singgah ke rumah kami seperti yang diminta kakakku tadi.”

“Hemm, bukan aku tidak menghargai undangan kalian, akan tetapi aku harus mengejar Kam Ki agar dia tidak mendatangkan kekacauan mengganggu rakyat lebih lanjut!” kata Sie Bun Sam.

“Akan tetapi, Sam-ko, mengapa engkau begitu tergesa-gesa? Kam Ki itu tidak akan dapat menghilang. Seorang yang sesat biasanya tidak dapat mengubah kelakuannya yang jahat dan dia pasti akan meninggalkan jejak kejahatannya. Singgah dulu di Ki-lok hanya memakan waktu beberapa hari. Marilah, Sam-ko, kita bersama-sama singgah dulu ke rumah kakak beradik Ui. Baru nanti dari sana kita mencari jejak Kam Ki!” kata Bwee Hwa.

“Kita?” Bun Sam bertanya ragu.

“Ya, twako, karena aku sendiripun tidak mau sudah begitu saja! Jahanam itu terlalu menghinaku dan aku akan terus merasa penasaran sebelum melihat dia tewas!”

“Akan tetapi, aku berniat untuk membujuknva untuk menyerah dan menghadap suhu agar dia dapat bertaubat dan mengubah jalan hidupnya yang sesat, bukan membunuhnya.”

“Kalau dia tidak mau?” tanya Bwee Hwa.

Posting Komentar