Jago Pedang Tak Bernama Chapter 05

NIC

Pandangan matanya kabur.

"Sudah cukupkah, kawan? Maka menjadi orang janganlah sombing, kaukira di dunia ini hanya kau sendiri yang terpandai? Sebenarnya orang macam kau ini harus dilenyapkan dari muka bumi, tapi mengingat usiamu yang msih sangat muda, biarlah kali ini kuampunkan kau! Tapi kau perlu diberi hajaran sedikit untuk kau ingat!" kata-kata ini diucapkan diantara kilatan dan loncatan menghindari serangan pedang.

Tiba-tiba Bu Beng memasang dadanya dan tidak berkelit ketika Sim Tek Hin menusuk dadanya.

Sim Tek Hin menjadi girang sekali dan kerahkan seluruh tenganya, maksudnya hendak menusuk tembus dada lawan yang dibenci ini.

tapi tiba-tiba Bu Beng miringkan tubuh dan tangan kirinya bergerak cepat.

Dengan tiga jari tangan ia menjepit pedang dan tangan kanannya bergerak kearah pundak kanan Sim Tek Hin.

Terdengar suara "krek" dan pemuda she Sim itu tersungkur.

Tulang pundaknya patah dan pedangnyapun patah menjadi dua.

Suara tadi ternyata adalah suara patahnya tulang dan pedang dengan berbareng.

Orang-orang bersorak riuh.

Si Garuda Terbang berdiri terheran-heran sambil mulutnya mengeluarkan kata-kata, "Hebat! Ajaib!." Lim San meloncat ke atass panggung dan menyatakan terima kasihnya.

Ia memerintahkan anaknya Lim Seng, untuk menolong Sim Tek Hin.

Kemudian kembali ia menjuru kepada Bu Beng menyatakan terima kasihnya.

Bu Beng balas menjuru dan berkata, "Lo-Enghiong, tak perlu kiranya segala upacara ini.

siauwte hanya ingin menghabiskan pertempuran tak berarti ini.

menurut pandangan siauwte yang sempit, mantu yang Lo-Enghiong cari-cari itu sudah ada, ialah tak lain saudara Thio Bun yang tadi dijatuhkan oleh orang she Sim itu.

Siauwte telah merawatnya dan kini ia berada di hotel Peng An.

Ilmu silatnya tinggi dan ia seorang terpelajar, sopan santun dan berbudi.

Maka, jika kiranya tidak ada keberatan dari pihak Lo-Enghiong siauwte pujikan saudara Thio Bun itu untuk dijodohkan kepada Lim siocia.

Namun selanjutnya terserah, siauwte tak dapat lama di sini.

Perkenankan siauwte mengundurkan diri." "Tunggu dulu, anak muda.

Sebenarnya siapakah namamu?" Tanya Lim San.

"Siauwte tak bernama.

Ini bukan kata-kata bohong, benar-benar siuawte tak bernama, maka orang hanya menyebut siauwte Bu Beng Kiam hiap." Lim San terheran-heran dan ketika itu digunakan oleh Bu Beng untuk meloncat melewati kepala para penonton dan lenyap dari pandangan Lim San.

Orang tua itu hanya mengeleng-gelengkan kepala dan menghela napas.

Para LoCianpwe yang memburu ke situ ketika diceritakan oleh Lim San, semua menyatakan keherannan mereka dan menyayangkan mengapa anak muda luar biasa itu tidak dapat menjumpai mereka untuk bicara.

"Sepanjang penglihatanku hanya Kim Kong Tianglo saja yang setinggi itu kepandaiannya," berkata Hwat Lai ahli silat cabang Siauw lim itu.

"Tapi gerakannya ketika menjepit pedang dengan tiga jarinya tadi adalah gerakan ilmu silat Hoa San Pai," kata Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung.

"Memang aneh, benar-benar aneh." Si Garuda Terbang berkata, "Dulu suhu pernah berkata bahwa ilmu silat Kun sian ciang hoat adalah ilmu silat paling lihai di jaman ini.

gerakan anak muda tadi hampir menyerupai ilmu itu yang pernah kulihat.

Tapi kelitan-kelitannya sambil terhuyung-huyung tada ada miripnya dengan gerakan dari Kim Liong Pai, yaitu ilmu silat Ular Merayap diantara Rumput.

Sungguh aneh.

Dan namanya tidak ada pula.

Ah, tidak sangka kita yang sudah berkelana puluhan tahun di kalangan kang ouw baru sekarang menjumpai Bu Beng Kiam hiap yang berilmu setinggi itu.

Sayang...

sayang ia segera pergi." Demikian lah, hampir semua tamu dan penonton sehari itu dan sampai berhari-hari berikutnya membicarakan halnya Bu Beng yang aneh itu.

Kira-kira lima li di luar kota Sauwciu ada sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang karena tempat itu merupakan hutan belukar dengan pohon-pohon liar dan banyak terdapat rawa-rawa yang berbahaya.

Malam hari itu keadaan di bukit itu sunyi senyap dan gelap gulita.

Tpai pada kira-kira jam sepuluh malam, tampaklah bulan tua yang tinggal tiga perempat sehingga keadaan di hutan yang tadinya hitam itu kini berubah menjadi remeng-remeng menyeramkan.

Pohon-pohon besar tampak bagaikan raksasa-raksasa siluman berdiri bertolak pinggang dengan kepala yang besar.

Suara burung-burung malam makin menmbah seramnya hutan itu.

Keadaan yang remeng-remang itu diramaikan oleh bunyi suara jangkrik dan belalang yang mendesir-desir saling sahut tiada hentinya.

Tiba-tiba dari tengah-tengah hutan yang berada di puncak bukit, terdengar suara tiupan suling.

Suara suling itu melengking tinggi dan tergetar-getar seakan-akan membawa getaran kalbu yang sedih dari peniupnya.

Menyedihkan, menyayat hati, tapi suara itu indah sekali menggema di seluruh permukaan bukit.

Ternyata yang meniup suling itu adalah seorang pemuda yang sedang duduk diatas akar kayu pohon siong tua.

Di dekatnya berdiri sebuah pondok kecil terbuat dari pada bamboo dan beratap daun ilalang.

Pemuda itu sedang asyik benar dengan permainan sulingnya hingga dunia ini baginya hanya penuh dengan suara sulingnya yang membawa semangatnya seakan-akan melayang-layang tak tentu arah tujuan.

Kalau saja disitu ada orang lain dan agak lebih terang, orang itu pasti akan melihat air mata mengalir turun perlahan-lahan dari kedua mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya.

Tiupan suling makin endah dan akhirnya berhenti, berganti oleh suara belalang yang seakan-akan baru timbul setelah tenggelam dalam kenikmatan ayunan suara suling itu.

Bu Beng pemuda itu, menaruh sulingnya diatas tanah lalu menggunakan tangannya memeluk lutut.

Kepalanya ditundukkan dan mukanya disembunyikan diantara kedua lututnya.

Hatinya perih dan berkali-kali ia menghela napas.

Teringat olehnya semua keadaannya sejak ia dapat mengingat sampai saat itu.

Hidup penuh derita dan tekanan batin yang berat karena kesedihannya.

Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berangkali baru berusia lima atau enam tahun, ia telah dapatkan diri sendiri lari ketakutan keluar dari kampung yang terbakar musnah.

Entah mengapa kampung dan rumahnya terbakar.

Ia tak tahu.

Yang ia masih ingat hanya bahwa ayah ibunya rebah mandi darah dan rumahnya menyala-nyala dimakan api.

Ia tidak tahu apa-apa, hanya merasa takut sekali, lalu lari keluar dari kampung yang merupakan neraka itu! Hampir patah kakinya karena terus lari semalam penuh.

Akhirnya ia jatuh pingsan di sebuah hutan.

Seorang kampung menemukannya dan semenjak itu ia bekerja di kampung menjadi penggembala ternak.

Tapi induk semangnya, seorang kaya raya di kampung itu sangat kejam dan galak.

Hampir tiap hari ia menerima makian dan pukulan.

Namun ditahan-tahannya juga hingga setahun lebih ia bekerja kepada hartawan pelit itu hanya untuk dapat mengisi perut setiap hari.

Pada suatu hari ternaknya lenyap dua ekor.

Entah dimakan binatang buas, entah dicuri orang.

Induk semangnya marah dan ia dipukul setengah mati lalu disuruh pergi mencari dengan ancaman kalau tidak ketemu ia akan dibunuh.

Dengan putus harapan dan takut bercampur sedih ia pergi mencari-cari, tapi sia-sia.

Karena terus menerus berjalan semalam penuh dan perutnya belum diisi semenjak pagi, ia merasa amat lapar dan lemah.

Ketika sampai di tepi sebuah sungai, ia jatuh terduduk lalu menangis sedih.

Dari mulutnya yang kecil menyebut-nyebut ayah ibunya.

Kemudian kaarena bingungnya ia menjadi nekat dan loncat ke dalam sungai.

Ia tidak ingat apa-apa, hanya ketika membuka mata ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar tanah dan berbaring diatas tempat tidur yangbersih.

Ternyata seorang tua berjubah putih telah menolongnya.

"Kau sudah sadar, anak?" kata orang tua itu dengan suara manis, "Nah, ini makanlah." Karena lemah ia tak dapat berkata-kata, hanya makan saja makanan itu dengan lahapnya.

Setelah kenyang ia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.

"Kasihan kau, anak," orang tua itu membangunkannya, "Siapa namamu nak?" ia hendak menjawab tapi tahu-tahu ia merasa terkejut sekali karena entah bagaimana ia tidak ingat lagi namanya.

"Namaku ..

namaku...

ah, aku tak ingat lagi...!" ia menangis lagi.

Orang tua itu mengangguk-angguk.

Ia tahu bahwa anak itu karena sedih, bingung dan menderita lalu terganggu ingatannya hingga lupa akan nama sendiri.

"Tidak apa, kalau kau tak bernama, biarlah kuberi nama kau Bu Beng (tanpa nama).

Dan mulai sekarang kau menjadi muridku, maukah?" Bu Beng segera menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut "Suhu." Demikianlah hampir dua puluh tahun ia menjadi murid Hun San Tojin, bersama-sama dengan suhengnya yang sudah tua, yaitu Kim Kong Tianglo.

Mereka bertiga, suhu dan dua murid, hidup terasing diatas Gunung Liong san.

Hun San Tojin adalah sahabat baik ketua Hoa San Pai yang sering berkunjung kesitu, karena Hoa san tidak jauh letaknya dari Liong san.

Dan karena melihat bakat Bu Beng yang baik, ketua Hoa San Pai itu berkenan memberi pelajaran beberapa pukulan yang paling lihai dari ilmu silatnya.

Hun San Tojin sebenarnya adalah ahli waris satu-satunya dari Kim Liong Pai maka Bu Beng menerima peajaran campuran, hingga ia mahir sekali dalam menggabung-gabungkan silat berbagai cabang.

Suhunya memang ahli dalam cara menggabung ini dan pelajaran ini sebenarnya tiada batasnya, karena daya pikiran dan daya cipta seseorang itu tiada batasnya.

Maka setelah belajar teori dan praktek bertahun-tahun, Bu Beng sudah pandai merangkai gerakan-gerakan dari semua cabangsilat yang dikenalnya.

Bahkan sambil bersilat, ia dapat menggabungkan gerakan-gerakan yang sesuai.

Dalam hal kecepatan menggabungkan ilmu silat ini, bahkan suhengnya sendiri Kim Kong Tianglo tidak sepandai ia.

Hidup diatas gunung dengan suhu dan suhengnya itu merupakan bagian hidup yang paling bahagia baginya.

Dua orang itu merupakan orang-orang yang tercinta dan pengganti orang tuanya.

Tapi pada suatu hari gurunya meninggal dunia dengan meninggalkan pesan agar ia suka berkelana memenuhi kewajiban hidup sebagai seorang hohan.

Terpaksa ia berpisah dengan suhengnya dengan hati sedih.

Semenjak itu, ia hidup seorang diri, terlunta-lunta di dalam dunia yang penuh kepalsuan ini.

Demikianlah Bu Beng malam hari itu termenung-menung setelah meniup sulingnya.

Kepandaian meniup suling ini dipelajarinya dari suhengnya.

Memang semenjak turun gunung, kerapkali ia bersedih jika terkenang akan nasibnya.

Posting Komentar