Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi! Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San.
Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh! Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat! Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
"Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!"
"Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!"
Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
"Rrrrtt.... cring-cring....!"
Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah! Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung.
Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan! Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu "enak"
Bagi Han Ki yang dibencinya!
Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya! Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apalagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai.
Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap mengacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat "mematikan rasa"
Sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apapun juga.
Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan. Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
"Apa....? Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!"
Panglima ini berkata dengan suara keras.
Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya. Akan tetapi, malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, karena waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal!
Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi. Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya? Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong. Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah.
"Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?"
"Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu...."
"Apa....?"
Menteri tua itu menjadi terkejut.
"Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk. Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih,
".... mengapa.... mengapa....?"
Dan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
"Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan."
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata,
"Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan."
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana! Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan. Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih,
"Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku...."
"Suhu....!"
Tek San berseru kaget. Menteri Kam Liong memandang muridnya yang setia.