“Liok Kong, kau majulah untuk membuat perhitungan secara gagah. Kalau tidak mau maju, terpaksa aku turun tangan!” berkata Hwe-thian Mo-li dengan suaranya yang masih merdu akan tetapi mengandung ancaman maut.
Tadi ketika Liok Kong menyaksikan kelihaian Hwe-thian Mo- li, hatinya telah menjadi jerih. Ia sendiri adalah seorang ahli golok dan belum tentu ia akan kalah terhadap permainan pedang Hwe-thian Mo-li, akan tetapi oleh karena hatinya telah tidak karuan rasanya ketika ia mendengar nama Pat-jiu Kiam- ong tadi, ia lalu mencari jalan paling aman. Ia telah mendekati Ngo-lian Hengte, sahabat-sahabat baiknya, ketua dari Ngo- lian-kauw di Hopak itu.
Ngo-ciangbun atau lima ketua dari Ngo-lian-kauw ini memang telah lama merasa gemas dan penasaran melihat sepak terjang Hwe-thian Mo-li yang dianggapnya tidak tahu aturan. Mereka berlima takkan memperdulikan andaikata Hwe- thian Mo-li melakukan perhitungan dengan Liok Kong secara pribadi, akan tetapi jangan di dalam pesta seperti ini. Menantang tuan rumah dalam sebuah pesta tanpa mengingat akan kehadiran sekian banyak orang-orang gagah yang menjadi tamu, berarti menghina para tamu itu pula. O leh sebab itu, ketika Liok Kong minta bantuan mereka, dengan segera mereka menyanggupi.
Maka ketika mereka melihat Hwe-thian Mo-li me lompat maju hendak menyerang Liok Kong, kelima orang itu segera berdiri dari tempat duduk mereka dan menghadang di depan tuan rumah.
“Hwe-thian Mo-li, kau benar-benar terlalu menghina orang!” bentak Kui Jin, saudara tertua dari kelima jago Hopak itu. “Urusan pribadi dan sakit hati memang sewajarnya diurus, akan tetapi sikapmu yang mendesak tuan rumah di depan para tamu dari dunia kang-ouw yang sekian banyaknya ini benar-benar keterlaluan sekali. Kami harap kau suka memandang kepada kami dan pergi dari sini, jangan mengacaukan pesta ini. Kalau kau me lanjutkan sikapmu yang kurang ajar, terpaksa kami Ngo-lian Hengte takkan tinggal diam saja!”
Hwe-thian Mo-li tetap tersenyum mengejek seakan-akan nama Ngo-lian Hengte yang amat tersohor itu bukan apa-apa baginya.
“Sudah kukatakan tadi bahwa siapa saja yang membela jahanam Liok Kong, ia akan berhadapan dengan pedangku!”
“Wanita buas!” bentak Kui Sin anggauta termuda dari kelima ketua itu sambil mencabut pedangnya lalu menyerang hebat.
“Bagus, makin banyak lawan makin gembira!” seru Hwe- thian Mo-li dan ia segera memutar pedangnya untuk menangkis. Sebentar saja ia dikurung oleh kelima orang kakak beradik she Kui yang mainkan ilmu pedang Ngo-lian-kauw dan mengurungnya rapat-rapat. Akan tetapi, Hwe-thian Mo-li tidak menjadi gentar, bahkan nampak gembira sekali, mulutnya tersenyum-senyum dan pedangnya bergerak makin lama makin kuat.
Sementara itu, Liok Kong masih merasa gelisah lalu m inta tolong kepada beberapa orang tamu lain yang sepaham dengan dia, maka kini te lah ada belasan orang yang siap sedia dengan senjata di tangan. Mereka bersiap untuk mengeroyok Hwe-thian Mo-li andaikata kelima jago dari Hopak itu sampai kalah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Liok Kong dan diam-diam ia lalu melarikan diri me lalui pintu belakang. Akan tetapi, baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, tiba- tiba ia mendengar suara halus merdu dibelakangnya.
“Liok lo-ya, kau hendak pergi kemanakah?”
(Oo-dwkz-oO)
LIOK KONG cepat menengok dan alangkah herannya ketika ia melihat Ong Lian Hong, nona penari cantik jelita tadi telah berdiri dengan s ikap menarik dihadapannya. Ketegangan yang ditimbulkan oleh Hwe-thian Mo-li membuat semua orang lupa kepada nona penari ini yang hanya berdiri memandang Hwe- thian Mo-li dengan mata tajam dan sebentar-sebentar menenggak arak wangi sehingga habis beberapa belas cawan tanpa menjadi mabok sedikitpun.
Kalau saja ia tidak sedang ketakutan sangat, dan keadaan tidak sedang berbahaya bagi keselamatannya, tentu Liok Kong akan menjadi girang sekali dan akan menubruk tubuh yang amat menggiurkan itu untuk dibawa ke dalam kamarnya. Akan tetapi pada saat seperti itu, siapakah yang ingat akan kesenangan?” “Siocia, kau bersembunyilah! Nanti kalau sudah aman aku akan kembali ke sini!” katanya lalu hendak berlari me lalui pintu itu.
“Eh, perlahan dulu, loya!” tiba-tiba terdengar nona manis itu mencegah dengan halus dan bagaikan seekor naga merah, selendang merah yang serupa benar dengan yang tadi dibeli oleh Liok Kong, melayang melalui atas kepala s i kakek itu dan ujungnya lalu membalik menyambar ke arah kedua matanya.
Liok Kong terkejut sekali karena sambaran ini bukan main kerasnya sehingga anginnya telah mendahului ujung selendang itu. Ia cepat mengelak dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat nona penari itu masih tersenyum, bahkan lebih manis dari pada tadi, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang aneh dan yang mengingatkan Liok Kong akan pandang mata seorang yang dulu amat dibenci dan ditakuti.
“Nah, nah, kau mulai teringat, bukan? Pandanglah, pandanglah baik-baik, Liok Kong. Adakah persamaan antara wajahku dengan wajah mendiang ayahku Ong Han Cu yang telah kau binasakan dengan curang?”
Menggigil se luruh tubuh Liok Kong mendengar ucapan ini. Ia merasa betapa lehernya seperti dicekik. Dengan muka pucat ia menudingkan telunjuk ke arah nona itu sambil berkata gemetar.
“Kau..... kau ..... puteri Pat-jiu Kiam-ong ??”
Lian Hong tersenyum dan begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mengeluarkan sebuah pedang yang amat indah dan aneh. Pedang ini demikian tipisnya sehingga tadi telah ia pakai sebagai sabuk tanpa diketahui oleh orang lain karena gagangnya juga kecil dan sebagian dari pada gagang tipis ini tertutup oleh mantelnya yang lebar.
“Bangsat she Liok, bersiaplah untuk mampus!” Suara Lian Hong masih terdengar halus, akan tetapi tiba-tiba pedang dan selendangnya meluncur ke depan melakukan dua serangan maut yang amat berbahaya.
Sementara itu, Liok Kong telah mencabut goloknya dan ia segera melakukan perlawanan. Rasa sayang dan cintanya terhadap gadis itu lenyap seketika itu juga, terganti oleh rasa takut dan nafsu membunuh. Ia pikir bahwa belum tentu gadis ini selihai Hwe-thian Mo-li dan dengan ilmu goloknya tentu ia akan dapat merobohkan puteri musuh besarnya ini, maka begitu bergerak, ia lalu mengeluarkan ilmu goloknya yang ganas dan dahsyat.
Tidak percuma Liok Kong mendpat julukan Toat-beng Sin- to atau Golok sakti pencabut nyawa, karena memang ilmu goloknya lihai sekali. Kalau saja ia tidak sedang gugup dan ketakutan, belum tentu nona jelita itu akan dapat mengalahkannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, segera ia mengeluh karena ternyata olehnya bahwa Ong Lian Hong, nona yang menjadi puteri dari Pat-jiu Kiam-ong dan yang telah menyamar seperti seorang penari ini memiliki kepandaian yang amat mengagumkan dan sama sekali tidak terduga-duga!
Tidak saja ilmu pedangnya luar biasa sekali, merupakan campuran dari ilmu pedang Liong-cu-kiam hwat dan ilmu pedang lain cabang, juga selendang merahnya amat lihai dan berbahaya. Selendang merah itu menyambar-nyambar mendatangkan kekacauan terhadap pandangan mata Liok Kong dan ujungnya merupakan senjata penotok jalan darah yang amat berbahaya!
Oleh karena mereka bertempur di ruang sebelah dalam lagi, maka tak seorangpun tamu yang melihat pertempuran mereka, kecuali beberapa orang pelayan yang hanya berlari ke sana ke mari tidak berani membantu. Di luar masih terdengar senjata beradu, tanda bahwa Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok oleh orang banyak. Memang inilah yang dikehendaki oleh Lian Hong, yakni berhadapan satu lawan satu dengan musuh besarnya ini! Dengan mengerahkan kepandaiannya, akhirnya ia dapat mendesak lawannya yang menjadi makin bingung dan gugup.
“Lebih baik lari saja,” pikir Liok Kong yang mencari kesempatan dan jalan keluar.
Lian Hong ketika melihat permainan golok lawannya diam- diam mengakui akan kelihaian lawan dan apabila lawannya bertempur dengan tenang, agaknya takkan mudah baginya untuk mengalahkan orang tua ini. Nona yang cerdik dan gagah ini ketika melihat gerakan Liok Kong dan pandangan matanya yang selalu mencari kesempatan, maklum akan maksud lawannya. Ia lalu menggunakan akal dan sengaja mengendurkan serangannya dan menjahui pintu yang menuju ke belakang.
Melihat kesempatan yang dinanti-nantikan ini, cepat Liok Kong menyerang hebat sehingga Lian Hong terpaksa mengelak mundur dan kakek itu lalu melompat melalui pintu yang terbuka. Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu itu, ia mendengar suara angin dan melihat selendang merah dari lawannya meluncur cepat mengarah kakinya.
Ia cepat melompat ke atas akan tetapi tiba-tiba pedang ditangan Lian Hong telah digerakkan dengan tipu gerakan Naga Sakti Menyemburkan Mustika. Gadis pendekar ini telah melontarkan pedangnya yang meluncur cepat bagaikan anak panah dan tanpa dapat ditangkis atau dielakkan oleh Liok Kong yang sedang melompat menghindarkan diri dari serangan selendang merah, pedang itu nancap pada punggungnya dan berhenti di antara tulang-tulang iganya.
Inilah kepandaian istimewa dari Ong Lian Hong. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu serangan istimewa ini, karena selain bentuk pedang tidak seperti bentuk senjata rahasia yang mudah dilemparkan, juga pedangnya itu amat tipis, namun berkat kemahirannya menyambitkan dan berkat tenaganya yang sudah cukup terlatih, pedang itu dapat menancap ke arah sasaran dengan tepat dan juga kuat sekali.
Liok Kong hanya dapat mengeluarkan teriakan satu kali, karena Lian Hong segera mencabut pedangnya dan sekali sabet, leher Liok Kong telah putus.