Tahulah gadis baju hijau itu bahwa yang menyambitnya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan bahwa kehadirannya sudah diketahui orang! Gadis itu adalah seorang yang sudah berpengalaman di dunia kang-ouw karena dia itu bukan lain adalah Cheng I Lihiap (Pendekar Wanita Berbaju Hijau, anak murid Kun-lun-pai yang pernah tertolong oleh Kwan Bu dan Giok Lan ketika tertawan di kuil Ban-lok-tang di Sian-hu, ketika mereka itu kebetulan bersama-sama menyerbu kuil untuk membasmi pendeta-pendeta cabul yang dipimpin oleh Tong Kak Hosiang, si penjahat cabul yang berkedok pendeta. Cheng I Lihiap maklum bahwa para panglima pengawal bukanlah orang- orang yang boleh dianggap ringan, maka kini setelah ia diketahui orang dan yang melihatnya itu benar-benar amat lihai,
Ia segera melompat turun dari genting dan melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Ia bermaksud menolong Siang Hwi setelah ia mendengar bahwa puteri Bu Taihiap yang terkenal itu menjadi tawanan, apalagi mendengar bahwa dusun-dusun tertimpa malapetaka di mana saja pasukan pengawal tiba. Akan tetapi ia tidak mau berlaku sembrono dan malam ini agaknya belum tiba saatnya yang baik baginya untuk menolong gadis puteri Bu Taihiap itu. Akan tetapi, ketika ia tiba-tiba di luar dusun itu, di jalan yang sepi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di sampingnya, mendahuluinya dan tahu-tahu seorang laki-laki yang tampan dan gagah sudah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang dan tersenyum-senyum. Sinar bulan yang menimpa muka pria itu memperlihatkan wajah yang tampan dan gagah, namun sepasang mata yang nakal dan kurang ajar.
“Heh-heh, nona manis berbaju hijau! setelah datang tanpa diundang, mengapa pergi tanpa pamit.” Cheng l Lihiap memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan suara ketus.
“Siapa engkau dan mau apa menghalangiku?”
“Ha-ha! ditanya belum menjawab balas bertanya. Baiklah, nona manis namaku Phoa Siok Lun, seorang calon panglima pengawal istana! Tadi aku melihatmu, dan karena aku merasa sayang sekali kalau engkau sampai ketahuan para panglima dan tentu akan dibunuh, maka kuperingatkan engkau agar pergi saja dari sana” Cheng I Lihiap mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini menyambitnya dengan kancing tadi, seorang yang berkepandaian tinggi. Orang ini memang telah memperingatkan dan mungkin menghindarkannya daripada bahaya maut, akan tetapi sikapnya sungguh ceriwis. Betapapun juga sebagai seorang tokoh kang-ouw telah menghindarkannya yang tahu aturan, apalagi menghadapi seorang lihai ia lalu menjura dan berkata.
“Kalau begitu, aku Cheng I Lihiap menghaturkan terima kasih atas peringatanmu tadi Phoa-enghiong. Sekarang aku tahu betapa bodohnya mengganggu rombongan pengawal yang terjaga oleh orang- orang lihai sepertimu dan panglima-panglima lain. Selamat Tinggal” Cheng l Lihiap sengaja mengerahkan ginkangnya melesat jauh dengan sebuah loncatan yang dilanjutkan dengan lari cepat. Akan tetapi matanya terbelalak ketika memandang ke depan dan melihat bahwa pemuda tampan itu telah berada di depannya, tersenyum-senyum kepadanya.
“Nona yang cantik jelita dan gagah perkasa, mengapa tergesa-gesa amat?”
“Hemm, kau mau apa?” Cheng l Lihiap membentak, timbul kemarahannya karena pandang matanya yang sudah berpengalaman itu dapat melihat sifat cabul yang membayang pada pandang mata dan senyum pemuda itu. Siok Lun tersenyum,
“Heh-heh, nona sendiri telah mengaku bahwa aku telah menolongmu. Kalau bukan engkau, mana sudi aku menolong? Setelah menolong, masa habis sampai di sini saja? Nona, kalau memang nona ingin sekali menyaksikan keadaan di pondok-pondok yang didiami para pengawal dan tawanannya, mari ikut bersamaku. Engkau, akan aman dan kita dapat bercakap-cakap dan bersenang-senang dalam pondokku ” “Keparat......! Kiranya engkau orang macam inikah? Sudah kuduga! Seorang yang bekerja sama dengan para pengawal yang kejam, yang mendatangkan bencana kepada rakyat, pasti bukanlah seorang manusia baik-baik.” Berkata demikian, Cheng l Lihiap telah mencabut pedangnya, dipandang dengan senyum mengejek oleh Siok Lun. Darah Siok Lun bergolak, bukan marah, melainkan oleh nafsunya yang sejak sore tadi sudah menguasainya, dan kini menyaksikan Cheng l Lihiap dari dekat. Ia mendapat kenyataan bahwa pendekar wanita ini benar-benar cantik sekali dan memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan.
“Nona, daripada bertanding, bukankah lebih menyenangkan kalau kita bercinta?”
“Tutup mulutmu yang kotor! Lihat pedang!” Cheng I Lihiap sudah menyerang Siok Lun dengan tusukan pedangnya ke arah leher. Siok Lun hanya menundukkan kepalanya dan tangannya bergerak ke atas menyentil pedang itu.
“Tringgg...! Aihhh..!” Cheng l Lihiap terkejut sekali karena sentilan pada pedangnya itu membuat pedangnya tergetar hebat dan telapak tangan yang memegang pedang terasa kesemutan. Namun ia menjadi makin marah dan kembali pedangnya menyambar, kini membacok kepala lawannya yang ceriwis.
“Eihhh, benarkah engkau tega membunuh penolongmu, nona.” Siok Lun menggoda sambil mengelak cepat. Cheng l Lihiap makin marah. Juga ia maklum bahwa keadaan dirinya berada dalam bahaya,
Dari sikap, dan kata-kata pemuda tampan ini ia dapat menduga bahwa pemuda ini termasuk seorang pria yang tidak segan-segan menggunakan kepandaian dan kekerasan untuk memakan seorang wanita. Karena itu, dia harus dapat membunuh pemuda ini, bukan hanya demi menolong diri sendiri, juga untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang pendekar, membasmi orang-orang jahat di muka bumi. Kini pedang Cheng l Lihiap bergerak cepat sekali mengirim serangan maut dengan kelebatan pedang yang menyambar secara bergelombang, susul menyusul dari kanan ke kiri dan membalik lagi sehingga dalam satu jurus saja ia telah menyerang ke arah pinggang, dan paha! Akan tetapi Siok Lun jauh lebih cepat gerakannya lagi. Dengan loncatan-loncatan seperti burung terbang, ia dapat menghindarkan diri dan sebelum Cheng l Lihiap sempat menyerang lagi,
Tahu-tahu lengan gadis itu sudah kena dicengkeram. Sebuah totokan di pundak membuat pendekar wanita itu mengeluh dan ia menjadi lemas, pedangnya terlepas dari pegangan. Siok Lun tertawa gembira, lalu memeluk dia menciumi muka Cheng l Lihiap sepuasnya tanpa gadis itu dapat berdaya sedikitpun kecuali merintih dan memejamkan matanya. Pemuda yang lihai namun bermoral betjat itu lalu menggendong tubuh yang sudah lemas itu, kemudian membawanya lari kembali ke dusun. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Siok Lun berhasil membawa Cheng I Lihiap kembali ke pondoknya tanpa diketahui seorang penjaga pun. Ia melemparkan tubuh yang lemas itu ke atas pembaringan, kemudian tertawa dan berkata kepada gadis yang memandangnya dengan mata terbelalak penuh kebencian dan juga kengerian.
“Ha-ha, nona manis! Aku ingin melihat engkau meronta dan melawan,melihat engkau hidup dalam pelukanku, bukan seperti orang mati. Nah, kau melawanlah!” Ia lalu membebaskan totokan pada tubuh gadis itu sehingga kembali Cheng I Lihiap dapat bergerak. Begitu merasa bahwa totokan tubuhnya sudah bebas, Cheng I Lihiap meloncat dan menerjang musuhnya, menggunakan kepalan tangannya memukul dada Siok Lun.
“Dukk” Siok Lun sengaja menerima pukulan itu sambil mengerahkan ginkangya sehingga tangan gadis itu sendiri yang terasa nyeri, sedangkan tangan Siok Lun tidak tinggal diam, mencengkeram ke depan dan merenggut. “Bretttt !” Robeklah baju luar gadis itu sehingga kini tampak baju dalamnya yang berwarna merah
muda!