“Mengapa tidak benar? Liem-ciangkun setiap malam duduk di atas bangku di luar kamarmu, selalu menjagamu seperti seorang ayah menjaga anaknya. Ah, kau beruntung sekali mempunyai seorang calon suami seperti dia, nona.”
Tertegun hati Ling Ling mendengar sebutan ini. Ia hendak membantah akan tetapi cepat ditahannya. Apa gunanya membantah? Biarlah mereka mengira bahwa dia adalah calon isteri Sian Lun, apa salahnya?
Hatinya merasa perih sekali, karena bagaimana ia bisa berjodoh dengan Sian Lun, dengan seorang pemuda yang dibencinya? Tak mungkin seorang pemuda yang telah menduduki pangkat sebagai panglima, seorang pemuda gagah perkasa, orang kepercayaan Jenderal Li, sudi berjodoh dengan gadis bodoh seperti dia. Hatinya makin terasa perih, Sian Lun merawatnya tentu bukan karena cinta kasih, melainkan karena iba hati, terdorong oleh kebaikan budi pemuda itu.
Ah, kalau saja Kwee Siong yang menjadi suami ibunya itu tidak berhati sekejam itu. Kalau saja Kwee Siong tidak melupakan ibunya, kalau saja ia bisa hidup sebagai puteri Kwee Siong, akan lain lagi halnya. Tentu ia takkan merasa lebih rendah dari pada pemuda itu. Pikiran ini membuat hatinya panas dan kemarahan serta kebenciannya terhadap Kwee Siong meluap.
Dan pada malam hari yang gelap itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, tidak diketahui pula oleh Sian Lun yang telah tertidur saking lelahnya, diam-diam Ling Ling meninggalkan rumah keluarga Thio itu, meninggalkan Sian Lun menuju ke Tiang-an.
Pada keesokan harinya, gegerlah dalam rumah itu. Sian Lun yang diberi tahu tentang larinya Ling Ling, tanpa pamit lagi lalu melompat keluar dan berlari mengejar. Akan tetapi, ia telah kalah dulu selama setengah malam, maka ia mempercepat larinya untuk menyusul gadis yang aneh, gadis yang berhati keras, yang manis dan yang dicintainya itu.
****** Biarpun tubuhnya masih lemas, akan tetapi penyakit yang diderita oleh Ling Ling telah sembuh sama sekali. Aneh, ketika ia memaksa dirinya berlari pada malam hari itu, makin lama ia merasa makin sehat dan segar.
Tahulah dia bahwa kelemasan tubuhnya itu sebagian besar karena terlampau lama berbaring dan kurang bergerak. Ia telah memiliki tubuh yang kuat, tubuh yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu silat tinggi, sehingga sebentar saja tenaganya telah pulih kembali, sungguhpun ia masih merasa lemah pada kaki dan punggungnya.
Menjelang pagi, ia tiba di sebuah hutan dan beristirahat sambil mengatur pernapasannya dan melatih lweekangnya. Kalau teringat kepada Sian Lun, ia menjadi berduka. Entah mengapa, ia merasa sunyi dan sedih, berbeda sekali ketika ia mengadakan perjalanan bersama pemuda itu.
Ketika pemuda itu selalu berada di sampingnya, ia selalu hendak marah kepada Sian Lun, akan tetapi setelah kini berpisah dan melakukan perjalanan seorang diri, ia merasa rindu dan ingin sekali melihat pemuda itu berada di sampingnya. Inikah yang disebut cinta?? Ia sendiri tidak mengerti, apakah ia merasa cinta atau benci kepada pemuda itu.
Ia melanjutkan perjalanannya, sebentar-sebentar berhenti dan pada senja hari ia tiba di luar kota Tiang-an. Ia berhenti di sebuah dusun yang bersih dan nyaman hawanya, makan sedikit bubur dari sebuah warung nasi, lalu menuju ke Tiang-an. Akan tetapi, malam telah tiba dan kembali Ling Ling bermalam di sebuah hutan, di mana ia melihat sebuah kelenteng tua yang kosong.
Pada kesokan harinya, ia melihat kelenteng itu ternyata indah sekali pemandangan sekitarnya, dikelilingi oleh tanaman-tanaman bunga liar yang beraneka warna dan di belakang kelenteng terdapat sebuah sungai kecil yang amat bening airnya. Tempat yang amat indah, pikirnya dengan hati senang. Akan senanglah ia kalau tinggal di tempat seperti ini, dekat dengan kota Tiang-an dan tak jauh dari hutan itu terdapat pula sebuah dusun yang bersih.
Ketika ia hendak berangkat ke Tiang-an untuk mencari Kwee Siong dan melakukan niatnya membalas dendam, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil namanya.
“Ling Ling. ”
Ling Ling menengok dan tiba-tiba wajahnya berobah menjadi merah. Ia melihat Sian Lun berdiri di depan kelenteng dengan pandangan mata sayu.
“Ling Ling, mengapa kau meninggalkan aku. ?” Pemuda ini nampak pucat sekali karena
memang ia amat gelisah. Ia telah mengejar Ling Ling dan tak dapat berjalan cepat-cepat karena ia harus mencari keterangan sepanjang jalan kalau-kalau ada orang yang melihat gadis itu.
Ia tidak begitu yakin bahwa Ling Ling akan mengambil jalan langsung ke Tiang-an. Siapa tahu kalau gadis itu mengambil jalan lain? Karena itulah, maka ia baru dapat menyusul gadis itu pada pagi hari ini. Ia merasa amat khawatir kalau-kalau gadis yang baru saja sembuh dari sakit itu akan jatuh sakit pula di tengah jalan.
“Liem-ciangkun, mengapa kau menyusulku?” Ling Ling menjawab dengan pertanyaan sambil menundukkan mukanya. “Ling Ling, mengapa kau lari dariku? Mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri dari padaku? Sudah sembuh benarkah engkau? Kau nampak begitu kurus dan lemah ” Sian Lun
melangkah maju mendekat dan tak terasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu.
Berdebar jantung Ling Ling ketika merasa betapa tangan pemuda itu memegang tangannya dengan mesra. Debaran jantungnya membuat telapak tangannya dingin sekali.
“Tanganmu dingin sekali, Ling Ling. Kau masih belum sehat benar. Mengapa kau memaksa melakukan perjalanan dan pergi di malam hari? Aku benar-benar gelisah. ”
“Liem-ciangkun, jangan kau perdulikan aku lagi! Aku. aku sebatangkara, pergi ke mana
aku suka, bagaikan seekor burung di udara jangan kau acuhkan aku lagi, Liem-ciangkun.”
Akan tetapi dorongan cinta kasih di dalam hati Sian Lun tak dapat ditahan lagi. Ia memegang kedua tangan Ling Ling makin erat dan berkata dengan bibir gemetar.
“Ling Ling, tidak tahukah kau betapa aku menyintamu?”
“Apa ?” Kedua mata Ling Ling terbelalak dan ia memandang tajam. Sungguhpun ia telah
dapat mengira akan hal ini dan telah mendengar penuturan nyonya Thio tentang rawatan pemuda ini, namun mendengar pengakuan itu dari mulut pemuda itu sendiri, ia menjadi terkejut juga.
“Memang, aku mencintamu, Ling Ling,” kata Sian Lun dengan ketetapan seorang perajurit, biarpun mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah dan keringat mengalir dari jidatnya di pagi hari yang dingin itu. “Aku sendiri tadinya tidak mengira sama sekali, kukira hanya karena kagumku dan rasa iba hatiku kepadamu. Akan tetapi malam kemarin pada pagi
harinya ketika aku mendengar bahwa kau telah pergi meninggalkanku aku yakin bahwa
aku takkan dapat hidup bahagia tanpa kau disampingku!”
Ling Ling tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya makin dalam dan ia menangis terisak-isak.
“Ling Ling. ” Sian Lun menarik kedua tangan gadis itu dan hendak memeluknya, akan
tetapi Ling Ling merenggutkan kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Sian Lun dan gadis ini melangkah mundur tiga tindak.
“Tidak, tidak...... jangan sentuh aku. !”
“Ling Ling. ” kata Sian Lun dengan suara sedih, “kau bilang bahwa kau hidup sebatangkara
...... tidak maukah kau ikut dengan aku dan menjadi mantu ibuku? Dia orang baik, Ling Ling, ibuku amat baik dan tentu kau akan suka sekali kepadanya, akan kau anggap sebagai ibumu sendiri.”
“Tidak! Tidak! Kau seorang panglima, seorang berkedudukan tinggi, sedangkan aku. aku
seorang wanita kasar, bodoh, dan telah disebut orang sebagai siluman, sebagai iblis
wanita! Tahukah kau aku siapa?” “Kau seorang gadis yang gagah perkasa, budiman, dan cantik jelita...... dan ”
“Aku disebut Toat-beng Mo-li, Iblis Wanita Pencabut Nyawa, juga disebut Cialing Mo-li, Iblis Wanita Sungai Cialing! Aku seorang wanita jahat, kejam, dan tidak mengenal prikemanusiaan!”
“Mereka itu bohong!” kata Sian Lun dengan sengit, “Akan kutampar mulut setiap orang yang berani menyebutmu demikian, Ling Ling. Tidak dapatkah kau menerima cintaku. ?”
“Tidak, tidak mungkin. ”
Apakah kau membenciku? Dan. tidak ada sedikit jugapun rasa cinta kasih di dalam hatimu
terhadapku?” pertanyaan ini terdengar amat mengharukan sehingga kini gadis itu menutupi mukanya dan tangisnya membuatnya tersedu-sedu. Ia tak dapat menjawab.
“Ling Ling, jawablah. Jawabanmu merupakan keputusan bagi kebahagiaan hidupku.”
Setelah tangisnya mereda, gadis itu menatap wajah pemuda itu dengan pandangan yang berani, pandangan yang menyelidik dan tajam sekali sehingga kembali Sian Lun merasa betapa sinar mata gadis itu tajam dan runcing bagaikan ujung pedang yang menembus hatinya.
“Sian Lun, katakanlah, mengapa kau menyintaku? Mengapa?”
Berdebar jantung pemuda itu mendengar Ling Ling menyebut namanya begitu saja. Satu perobahan? Akan tetapi ia harus menjawab.
“Sukar sekali mengatakannya, Ling Ling,” ia menatap gadis itu dari kepala sampai ke kaki, “entah apamu yang membuat aku jatuh cinta. Mungkin rambutmu, matamu, hidung atau mulutmu, mungkin pula kakimu ah, aku tidak tahu. Mungkin pula watakmu yang keras,
atau kegagahanmu, entahlah. Kenyataannya, kalau kau sedang marah, kau nampak makin menarik dalam pandangan mataku.”
Ucapan ini terdengar bagaikan lagu dari tujuh sorga di dalam telinga Ling Ling, membuatnya menutupkan kedua mata untuk beberapa lamanya. Alangkah merdu suara pemuda itu, ingin ia mendengar terus menerus ucapan itu, mendengar selama hidupnya. Akan tetapi ia memaksa diri merenggutkan semangatnya yang sudah terayun oleh gelombang rayuan ini.
“Sian Lun, lihatlah kenyataan! Bukalah matamu! Aku bukan gadis yang tepat untuk menjadi jodohmu. Lupakah kau bahwa aku sedang menuju ke Tiang-an untuk mencari dan membunuh Kwee Siong pamanmu?”
Bagaikan pisau berkarat ucapan ini menikam ulu hati Sian Lun dan membuatnya menjadi pucat seketika. Sakit rasa hati Ling Ling melihat keadaan pemuda itu. Sesungguhnya Sian Lun menjadi limbung ketika ia melangkah mundur tiga tindak. Kata-kata ini merupakan suara halilintar di siang hari yang menggugahnya dari mimpi indah. Bagaikan air dingin yang diguyurkan di atas kepala seorang yang mengantuk. “Ling Ling ......... kasihanilah aku, kasihanilah pamanku ! Sakit hati apakah yang
membuatmu demikian kejam terhadap paman ? Katakanlah, urusan apakah yang menyakitkan hatimu, yang diperbuat oleh Kwee siokhu kepadamu ?”
“Kau tak perlu tahu ! Ini urusan pribadi. Cukup kalau kuberitahukan kepadamu bahwa aku harus membunuh orang she Kwee itu !” Setelah berkata demikian, Ling Ling memutar tubuh dan berdiri membelakangi Sian Lun.
“Ling Ling, tak dapat dirobahkah niatmu ini ? Demi Tuhan, sekali lagi aku mohon padamu, jangan lanjutkan niatmu ini. Biarlah aku berlutut di depan kakimu, Ling Ling, jangan kau mengganggu dia !” Dan Sian Lun benar-benar berlutut di depan gadis itu.
“Bodoh ! Lemah !” tiba-tiba Ling ling berseru sambil terisak dan ketika Sian Lun mengangkat kepalanya, ternyata gadis itu sudah tidak ada di depannya pula.