“Mau apa kau datang?” ia menegur dengan marah sekali dan seluruh mukanya berobah merah.
Akan tetapi Sian Lun ketika melihat betapa kedua orang itu dibelenggu dan keadaan mereka masih lemah bekas totokannya dan totokan jenderal Li Goan, merasa amat kasihan. Ia cepat membuka pintu kamar tahanan itu dan membuka pula belenggu kaki tangan mereka.
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka totokan dengan menepuk dan menotok kedua pundak gadis dan ibunya itu. Sesungguhnya totokan yang kemarin dilakukan olehnya dan oleh jenderal Li Goan telah lenyap pengaruhnya dalam waktu seperempat hari saja, akan tetapi kalau lenyapnya bukan karena dibuka dengan totokan lain, pengaruhnya masih ada dan masih membuat tubuh terasa lemas.
Bukan main herannya hati Ling Ling dan Sui Giok ketika mereka melihat perbuatan pemuda bekas lawan ini. Lebih-lebih lagi rasa heran mereka ketika Sian Lun mengeluarkan dua batang pedang dari dalam mantelnya, yakni pedang Ling Ling dan pedang Sui Giok yang kemaren telah dirampas. “Apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Ling Ling masih ketus dan galak. “Apakah kau hendak menyombongkan keberanianmu dan menantangku melanjutkan pertempuran kita satu lawan satu tanpa adanya pengeroyokan yang pengecut?” Sambil berkata demikian, gadis ini sudah siap dan mencabut pedangnya. Akan tetapi ia dicegah oleh ibunya yang segera bertanya kepada Sian Lun,
“Orang muda, sesungguhnya mengapa kau melepaskan kami? Apakah kehendakmu?”
“Aku diperintah oleh Jenderal Li Goan untuk melepaskan kalian karena beliau menganggap kalian telah membantu perjuangan dan berjasa kepadanya.”
Ucapan ini benar-benar di luar persangkaan kedua anak dan ibu itu. Tadinya mereka mengira bahwa Sian Lun sendiri yang mempunyai maksud menolong mereka, akan tetapi Jenderal Li Goan? Bukankah mereka telah menyerang dan hendak membunuhnya, bahkan Ling Ling telah berhasil melukai pundaknya?
Sian Lun dapat menduga apa yang mereka pikirkan, maka ia lalu berkata lagi. “Sesungguhnya, Jenderal Li Goan merasa amat penasaran mengapa kalian hendak membunuhnya hanya karena kebetulan sekali ia memegang pedang Oei Hong Kiam. Padahal, ia memiliki pedang itu adalah atas pemberianku!”
Mendengar ucapan ini, baik Ling Ling maupun Sui Giok melompat bangun dan memandang kepada Sian Lun dengan mata tajam mengancam.
“Jadi tadinya pedang itu adalah milikmu??” tanya Sui Giok yang tiba-tiba berobah suaranya menjadi keren sekali sehingga Sian Lun merasa amat terkejut.
Kemudian ...............
“Memang Jenderal Li menerima pedang itu dariku,” kata pula Sian Lun sambil memandang tajam.
“Kalau begitu kau harus mampus ditanganku!” seru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng.
Sian Lun makin terkejut dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangannya. “Harap sabar dulu toanio, dan kau juga nona. Pedang itu bukanlah pedang yang kuwarisi dari nenek moyangku. Aku hanya kebetulan saja mendapatkan pedang itu!”
Sui Giok menunda serangannya dan memandang tajam penuh perhatian. “Coba kau ceritakan bagaimana kau mendapatkan pedang itu? Siapa pemiliknya sebelum terjatuh ke dalam tanganmu?”
Melihat ketegangan pada muka kedua orang wanita itu, Sian Lun dapat menduga bahwa pedang Oei Hong Kiam itu tentu mempunyai riwayat yang hebat sekali. Dengan singkat ia lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pedang itu dari tangan seorang Panglima lawan, yakni Jenderal Kwan Sun Giok yang menjadi murid dari Liang Hoat Cinjin.
Mendengar penuturan ini, Sui Giok menarik napas panjang dan berkata kepada Ling Ling. “Ah, mengapa buruk benar nasib kita? Jenderal Li Goan yang gagah perkasa hampir saja kita bunuh karena kecerobohanku. Anak muda, tolong kau sampaikan pernyataan maafku kepada Jenderal Li Goan, dan juga terima kasih kami bahwa dia telah begitu baik hati untuk melepaskan kembali kami, ibu dan anak yang berdosa.”
Bangga hati Sian Lun mendengar ucapan ini dan pemuda yang tadinya merasa gelisah ini, kini dapat tersenyum kembali. Dengan mata berseri, ia memandang kepada Ling Ling dan ibunya lalu berkata,
“Jenderal Li Goan adalah seorang pemimpin besar yang bijaksana. Kalau saja jiwi sudi bertemu dengan dia dan menyatakan hendak bekerja sama menggulingkan kaisar lalim yang kini masih belum tewas, tentu dia akan menerima dengan kedua tangan terbuka.”
Sui Giok menggelengkan kepalanya. “Kami bukanlah orang-orang yang haus akan kedudukan dan pangkat.”
“Betapapun juga, kaisar lalim itu akhirnya pasti akan mampus di ujung pedangku!” Ling Ling menyambung kata-kata penolakan ibunya.
“Orang muda, sebelum kami pergi, dapatkah kau menerangkan padaku, siapakah gerangan hakim yang memeriksa kami siang tadi?”
Sian Lun tersenyum gembira ketika menjawab, “Ah, dia? Dia adalah pamanku sendiri, bernama Kwee Siong, orang termulia di atas dunia ini!”
Wajah Sui Giok menjadi pucat sekali dan bibirnya gemetar. Untuk menyembunyikan kebingungan dan keharuan hatinya, ia berkata gagap. “Jadi kau keponakannya, bukan anaknya ?” Pertanyaan ini sebetulnya merupakan ucapan penutup keharuannya, asal keluar
saja, akan tetapi dijawab oleh Sian Lun yang tidak menduga sesuatu.
“Bukan toanio. Aku bukan anaknya. Pamanku Kwee hanya mempunyai seorang putera yang bernama Kwee Cun, baru delapan tahun usianya.”
Belum habis pemuda itu mengeluarkan ucapan ini, Sui Giok telah memegang tangan Ling Ling dan menariknya keluar. “Hayo kita pergi!”
Tentu saja Sian Lun menjadi heran sekali. Akan tetapi ketika ia menyusul keluar, ibu dan anak yang aneh itu telah lenyap ditelan malam gelap. Terpaksa ia kembali ke tempat tinggal Kwee Siong dengan hati menduga-duga.
Adapun Ling Ling yang semenjak kecil belum diberitahu oleh ibunya akan nama ayahnya, juga sama sekali tidak pernah mengira bahwa hakim itu adalah ayahnya sendiri. Tadinya Sui Giok menanti dengan hati penuh harapan ketika ia melihat betapa hakim itu adalah suaminya sendiri, akan tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar dari Sian Lun bahwa suaminya yang kini telah menduduki pangkat tinggi itu ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera.
Ia menyembunyikan hal ini dari Ling Ling, karena ia maklum akan kekerasan hati puterinya ini. Ia tidak dapat menyalahkan pernikahan suaminya itu, karena sebagai seorang bijaksana, Sui Giok dapat mempertimbangkan keadaan suaminya yang tadinya seakan-akan menghidupkan jiwanya yang telah mati, kini api harapan itu padam lagi dan membuat ia merasa betapa kosongnya dunia ini. Sementara itu, ketika siuman kembali dari pingsannya, Kwee Siong memandang ke kanan kiri, kemudian terdengar ia mengeluh.
“Mana........ mana mereka ??” bisiknya berkali-kali dengan tubuh terasa panas bagaikan
dibakar.
Seorang tinggi besar mendekatinya dan memegang tangannya.
“Saudara Kwee, kau kenapakah?” suara ini halus sekali sungguhpun terdengar besar dan dalam.
Kwee Siong memandang kepada wajah Jenderal Li Goan, dan tiba-tiba ia bangun dan duduk. “Goanswe.... tolonglah. keluarkan mereka. Ah, mereka itu adalah isteriku dan puteriku! Sui
Giok..... isteriku ternyata masih hidup dengan anaknya .... anakku Ling Ling!”
Tentu saja Li Goan menjadi terharu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengira bahwa hakim ini telah menjadi kacau pikirannya karena terserang demam.
“Beristirahatlah, saudara Kwee, kau terserang penyakit panas. Mungkin kau terlalu lelah,” katanya lemah lembut sambil mendorong perlahan pundak Kwee Siong supaya berbaring lagi.
Akan tetapi, dengan mata terbelalak Kwee Siong memegang tangannya dan berkata, “Tidak, Goanswe, tidak! Dua orang wanita itu. yang katanya menyerangmu, mereka itu
benar-benar isteri dan puteriku yang kukira tewas belasan tahun yang lalu!”
Barulah Jenderal Li Goan terkejut mendengar ucapan ini. Ia lalu duduk di pinggir pembaringan Kwee Siong yang menceritakan riwayatnya ketika ia dibawa pergi oleh pasukan pengumpul tenaga rakyat untuk dipaksa bekerja. Ia menuturkan pula bahwa telah beberapa kali ia menyuruh orang menyelidiki keadaan isteri dan anaknya, dan mendengar bahwa mereka itu tidak kelihatan bekas-bekasnya lagi, kemungkinan besar sudah tewas di dalam hutan.
“Dan sekarang mereka muncul mereka berada di sini! Ah, tolonglah Goanswe, bebaskan
mereka, biar mereka datang ke sini!”
Li Goan terkejut sekali dan cepat ia pergi keluar untuk memberi kabar kepada Sian Lun. Akan tetapi ia mendengar dari pemuda ini bahwa kedua ibu dan anak itu telah pergi, entah ke mana. Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan dengan wajah lesu jenderal ini lalu masuk kembali ke kamar di mana Kwee Siong berbaring dengan penuh harapan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Kwee Siong ketika ia mendengar Li Goan berkata,
“Mereka sudah pergi, agaknya isterimu tidak mau bertemu dengan kau.” Ia lalu menuturkan kembali apa yang ia dengar dari Sian Lun tadi.
Kwee Siong menutup mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis terisak-isak seperti anak kecil. “Ah, Sui Giok..... Sui Giok...... tentu kau marah dan membenciku. aku telah berdosa besar
kepadamu! Sui Giok, mengapa kau tidak mau kembali kepadaku. ?”