Suling Naga Chapter 11

NIC

"Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami...."

"Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami."

"Mana dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"

"Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu."

Tentu saja nyonya itu merasa girang sekali dan dengan penuh harapan disertai kecemasan, iapun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil,

Sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar. Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!

"Ibuuu...."

"Hong Beng, anakku....!"

Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut kamar. Akan tetapi ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.

"Jangan bergerak....!"

"Ibu....!"

Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul. Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya, si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan memandang ke arah si tinggi kurus dan perwira brewokan itu dengan sirar mata berapi-api.

"Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?"

Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.

"Plakkk...."

Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.

"Anak lancang, apa kau bosan hidup?"

Si tinggi kurus membentak anak yang kini merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu. Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.

"Jangan.... jangan pukul anakku.... ah, jangan bunuh anakku.... ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi kurang.... kami hanya mampu mengumpulkan dua puluh tail saja.... ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan kucicil...."

Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.

"Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaima-na? Engkau pilih anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?"

Perwira brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan didepan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta. Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinaan dengan penwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.

"Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku...."

Ia berlutut sambil menangis.

"Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail itu.... asal anakku dibebaskan.... aku mau bekerja keras, aku mau melakukan apa saja demi keselamataan anakku.... akan tetapi.... jangan itu...."

"Setan!"

Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah.

"Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!"

Si perwira brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan, sebatang golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takutnya ia hanya menggeleng-geleng kepalanya dan memegang lehernya sendiri seolah-olah ia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.

"Tidak.... tidak.... jangan....!"

"Mau kau melayaniku?"

Kembali perwira itu. membentak dengan senyum mengejek. Ibu muda itu mengang-guk-angguk, akan tetapi, matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekalipun ia rela asal anaknya selamat.

"Ha-ha-ha!"

Perwira itu tertawa penuh kemenangan.

"Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar."

Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu.

"Tapi.... ciangkun berjanji akan memberi bagian kepadaku...."

"Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau, aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapapun, juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kuberikan padamu!"

Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya. Dan sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat dan bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan.

Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak dipukuli atau disiksa. Tidak terdengar suara tangis dari dalam kamar itu. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu. Biarpun tidak terdengar suara apapun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.

"Di mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?"

Coa Pit Hu tertawa mengejek.

"Ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-ciangkun."

"Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi ke manapun."

Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya dan dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini. Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.

"Coa-sicu, masuklah!"

Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan diapun membuka daun pintu.

"Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"

Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan.

Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun. Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat perajurit-perajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan merekapun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis. Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.

"Hong Beng....!"

"Ayah.... ayah....!"

Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.

"Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu....?"

Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.

"Ibu.... tolonglah ibu, ayah Ibu.... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"

"Eh? Bong-ciangkun? Kenapa....?"

Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?

"Aku.... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana, malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun.... dan kulihat.... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari...."

"Keparat.... !"

Gu Hok tentu saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya! Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.

Posting Komentar