"Nona, kau siapakah? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk? Tidak ada permusuhan diantara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding kearah muka hitam itu.
"Ihh, manusia keparat! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?"
"Tak usah kau tahu!"
Jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar kearah Phang-ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya? Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya.
Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga diluar gedung menyerbu kedalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba didalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu keatas tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal lehermu!"
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap perwira itu berkata,
"Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si.
Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan Kam-goanswe, untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang Kam-goanswe ke ibu kota, akan tetapi disana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah merencanakan pemberontakan."
"Hemm, keji!"
Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya.
"Hayo katakan dimana Kam Si Ek akan ditahan!"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu... dan... ahh!!"
Jerit terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula. Penduduk sudah mendengar akan kehebohan didalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa kuatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu.
Tanpa menjawab Lu Sian lenyap kedalam gelap, dengan hati panas ia kembali ke benteng! Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger didalam benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga disebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani didaerah itu. Pintu gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota. Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya.
Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan. Akan tetapi, kemanapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki, yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya.
Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk kedalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada dirumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan! Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi bersembahyang kesana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok kekanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan.
"Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus kesana? Lebih baik ke Kwan-im-bio disebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio didekat sungai atau..."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio."
Jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Dimanakah letaknya kelenteng itu?"
Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng didalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang dijalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung kesana.
"memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang kesitu hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya disebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi kesana..."