Dan waktu antara lahir dan mati demikian singkatnya! Berbahagialah orang yang dapat mengisi waktu sesingkat itu dengan suatu perbuatan yang bermanfaat, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Rumah tangga keluarga Shi Men berkabung. Kematian Nyonya Peng, isteri ke enam dari Shi Men, mendatangkan kedukaan dan kehilangan besar, terutama bagi Shi Men setelah baru saja dia kehilangan anak laki-laki tunggalnya, yaitu putera Nyonya Peng. Pagi itu Shi Men sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama beberapa orang temannya yang berlayat, ditambah pula mantunya, Chen Ceng Ki, pengawal baru Han Tao Kok, dua orang Kakak dari Goat Toanio yang datang berlayat, ketika pelukis Han yang diundang Lai Pao datang ditemani Lai Pao.
Shi Men menyambut pelukis kenamaan ini lalu mengantarnya ke ruangan di mana jenazah Nyonya Peng diletakkan. Pelukis itu menyingkap tirai “Seribu Musim Gugur” yang menutupi muka jenazah, dan untuk beberapa lamanya dia mengamati wajah itu. Biarpun telah mati, wanita itu masih memiliki kecantikan yang mengagumkan. Kecuali amat pucat sehingga tidak wajar, wajah itu masih memperlihatkan kecantikan yang membuat Shi Men kembali menitikkan air matanya melihat wajah isteri tercinta itu. Pelukis Han segera mulai bekerja, melukis wajah wanita itu di atas kain sutera yang dipegangi oleh Lai Pao dan Kiu Tung. Orang-orang lain merubung dan menonton gerakan tangan yang dan mantap dari si pelukis.
“Wajah yang anda lihat ini adalah wajah orang yang telah menderita sakit. Sebelum itu wajah ini lebih gemuk dan lebih cantik,” kata Ying Po Kui.
“Saya tahu,” jawab si pelukis. “Kalau saya tidak salah ingat, saya pernah melihatnya, yaitu pada tanggal satu bulan Iima ketika ia mengunjungi Kuil Lima Gunung Suci untuk bersembahyang.”
“Benar,” kata Shi Men. “Ketika itu ia masih kuat dan sehat, Pergunakanlah seluruh kepandaianmu untuk melukisnya. Saya menghendaki dua lukisan darinya, sebuah setengah badan dan sebuah lagi seluruh badan. Saya akan memberimu sepuluh ons perak dan segulung kain sutera.”
“Baiklah, jangan khawatir, saya akan membuat sebagus mungkin,” jawab pelukis Han dan diapun mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ketika dia menyelesaikan lukisan pertama, semua orang memujinya. Shi Men merasa senang sekali dengan hasil lukisan itu dan dia segera menyuruh Tai A untuk membawa lukisan itu ke dalam, memperlihatkannya kepada Goat Toanio dan isteri-isteri yang Iain.
“Majikan minta pendapat nyonya-nyonya mengenai lukisan ini,” kata kacung itu.
“Kalau ada kekurang miripan, harap memberi tahu agar dapat dirubah oleh pelukisnya.” “Waah, terlalu berlebihan!” kata Kim Lian dengan suara tidak setuju. “Boleh jadi ia kelihatan seperti ini di waktu masih gadis muda, akan tetapi tidak, sesudah menjadi isterinya. Terlalu muda dan terlalu cantik! Akan tetapi aku ingin sekali tahu apakah kitapun akan dibuat gambar kita kalau kita mati? Kitapun berhak!”
“Memang agak terlalu cantik,” kata isteri ke dua dan ke tiga, “bibirnya terIalu penuh.”
“Dan alisnya seharusnya lebih melengkung,” kata Goat Toanio. “Betapapun juga, gambar ini mirip sekali.”
“Pelukis itu pernah rnelihalnya di Kuil Lima Gunung Suci ketika sedang bersembahyang. Dia mengingat wajahnya seperti ketika dilihatnya dahulu,” kata A Tai menerangkan. Ketika gambar itu dibawa kembali, A Tai memberi tahu kepadanya.
“Menurut pendapat para nyonya, bibirnya agak lebih tipis sepasang alisnya lebih melengkung.”
“Ah, itu mudah saja,” kata si pelukis dan dengan beberapa goresan saja dia telah membereskan kekurangan itu. Tetangga Kian juga kongsi Shi Men yang datang menjenguk, juga berseru kagum melihat lukisan itu,
“Sungguh bagus sekali, seperti hidup saja!” Dengan girang Shi Men lalu menjamu pelukis itu dan memesan gambar setengah badan itu cepat di selesaikan. untuk digantung di atas meja sembahyang si mati. Adapun gambar yang sepenuh badan boleh dikerjakan di rumah, karena, gambar itu kelak akan dibawa di depan peti mati pada saat penguburannya. Perkabungan itu berlangsung empat minggu dan selama itu, Shi Men setiap malam tidur di atas dipan sederhana bertilamkan tikar, dekat dengan peti mati Nyonya Peng, hanya tertutup tirai,
Setiap malam dia tidur di situ, dan pada keesokan harinya baru dia memasuki kamar Goat Toanio untuk mencuci badan dan membereskan rambutnya, Dia tidur ditemani kacungnya, Shu Tung dan pagi harinya, setelah dia bangun, dipan di mana dia tidur itu dibereskan oleh Siauw Giok, pelayan manis itu, Karena setiap pagi bertemu maka terjadilah keakraban antara Shu Tung dan Siauw Giok. Mereka seringkali menggunakan kesempatan bertemu di pagi hari ini untuk mengobrol dan bersendau gurau. Hubungan antara pria dan wanita memang mengandurng bahaya, seperti kalau minyak bakar dan api didekatkan. Mudah terbakar! Terdapat daya tarik satu sama lain antara pria dan wanita, maka kalau keduanya didekatkan, mudah terbakar.
Terdapat daya tarik satu sama lain antara pria dan wanita, maka kalau keduanya di dekatkan munculah selalu bahaya kebakaran itu. Demikian pula dengan Shu Tung dan Siauw Giok. Pada suatu hari dalam minggu ke dua, Shi Men bangun pagi sekali. meninggalkan dipannya dan pada waktu itu semua isi rumah masih tidur, Shu Tung dan Siauw Giok mempergunakan kesempatan ini untuk pergi berdua ke pondok perpustakan di dalam taman dan di sana mereka berdua tenggelam ke dalam kemesraan cinta mereka. Pada saat itu, Kim Lian juga bangun pagi-pagi, dan segera mengunjungi Shi Men. Ketika ia tidak melihat suaminya, juga tidak melihat para pelayan, ia lalu mencari Shi Men ke dalam taman. Dan ketika ia tiba di dekat pondok perpustakaan, iapun mendengar suara-suara orang bermesraan. la membuka pintu dan menerjang masuk, dan mendapatkan kedua orang pelayan itu bersatu dalam pelukan. “Hemm, bagus sekali, ya?” bentak Kim Lian. Kedua orang itu terkejut, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Lian yang berdiri memandang mereka dengan senyum mengejek.
“Shu Tung, ambilkan sutera putih dan kain putih untukku,” perintahnya dengan suara ketus. Shu Tung cepat lari ke gudang untuk mengambilkan barang yang diminta. Kim Lian sedikitpun tidak memperdulikan Siauw Giok yang masih berlutut, bahkan iapun diam saja ketika gadis itu mengikutinya dari belakang dengan sikap takut-takut. Ketika mereka tiba di pondok, Siauw Giok menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara pilu mohon kepada Kim Lian agar jangan dilaporkan kepada Shi Men apa yang telah terjadi di dalam pondok perpustakaan tadi.