Adapun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li.
Gadis inilah yang di juluki Si Bangau Merah, karena ia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, disesuaikan dengan kesukaannya memakai pakaian serba merah.
Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu Pek-ho Sin-kun, dan setelah diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, ma-ka diberi nama Ang-ho-sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah).
Oleh karena itu, seperti ayahnya, maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian Li.
Gadis berusia delapan belas tahun ini cantik jelita, wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya, kulitnya putih mulus kemerahan, matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak meng-ejek, dihias lesung pipi di kanan kiri.
Manis sekali.
Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya, pemikirannya men-dalam dan cerdik seperti ayahnya.
Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja lihai bukanmain.
Ia telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya dan ibunya, bahkan ia per-nah digembleng oleh kakaknya Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari ibunya, selama lima tahun.
Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis berpakaian merah ini.
Ilmu-ilmu dari Pulau Es, dari Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng isteri Suma Cin Liong! Semua itu masih ditambah lagi dengan ilmu peng-obatan yang ia pelajari dari Yok-sian Lo--kai (Pengemis Tua Dewa Obat).
Sian Li seolah-olah memiliki segala-galanya.
Wa-jah cantik, ilmu kepandaian tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi" Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Kita dapat me-nyelidiki keadaan setiap orang manusia.
Seorang kaisar sekalipun pasti tidak da-pat berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya.
Ada saja kekurangan-nya yang membuat seorang manusia ke-cewa dan tidak puas dengan keadaan dirinya.
Orang miskin mengira bahwa orang kaya-raya hidup berbahagia dengan hartanya.
Orang bodoh mengira bahwa orang terpelajar pandai hidup berbahagia dengan kepandaiannya.
Orang biasa me-ngira bahwa orang berkedudukan tinggi hidup berbahagia dengan kedudukkannya.
Namun, kalau kita melihat kenyataanya, lebih banyak terdapat orang kaya-raya mengalami banyak kepusingan karena hartanya, orang terpelajar menjadi ang-kuh dan congkak karena kependaiannya, orang berkedudukan tinggi menjadi pusing karena kedudukannya.
Ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian besar menjadi boneka-boneka yang dipermainkan nafsu daya rendah.
Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, membuat kita selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, menjang-kau yang tidak ada.
Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu, kalau terdapat apa yang kita kejar, nafsu bukan mereda melainkan makin mengganas, mengejar yang lain lagi, sedangkan yang sudah terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan.
Demikianlah terus-menerus.
Hidup merupakan pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai mati pun kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu di-kejar-kejar dan selalu berpindah ke se-suatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tidak ada lagi pengejaran, baru ada kemungkinan kita menemukan behwa kebahagiaan adanya bukan di se-berang sana, bukan di masa depan, me-lainkan di saat ini! Demikian pula dengan Sian Li.
Gedis jelita ini, walau setiap hari nampak lin-cah gembira dan rajin memperdalam ilmu silat Ang-ho Bin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau sudah ber-ada di kamarnya di malam hari, ia se-ringkali duduk termenung di atas pembaringannya.
Bahkan kadang ia hampir menangis.
Sukar baginya untuk melupakan seorang pria yang menjadi idaman hati-nya sejak ia masih kanak-kanak! Pria yang kini telah berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han.
Dia dapat dibilang suhengnya sendiri, karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walaupun ketika itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau me-latih diri dengan ilmu silat.
Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun dan suhengnya itu berusia dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari rewel dan menangis.
Kemudian lewat tiga belas tahun, setelah ia menjadi seorang gadis remaja dan Yo Han menjadi pemuda dewasa, mereka saling berjumpa.
Dan telah ter-jadi perubahan besar dalam diri Yo Han.
Kalau dahulu, di waktu kecil dia tidak suka berlatih silat karena katanya ilmu silat hanya mendatangkan kekerasan dan permusuhan, kini dia telah menjadi se-orang pendekar sakti yang amat lihai, bahkan yang dikenal orang-orang di wila-yah barat sebagai Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti)! Dan mereka saling mengenal dalam pertemuan yang mengharukan dan juga amat menggembira-kan hati Sian Li.
Sejak kecil ia menya-yang Yo Han, dan kini setelah menjelang dewasa dan melihat bahwa Yo Han telah menjadi seorang pendekar budiman yang amat mengagumkan, tidaklah mengheran-kan kalau ia jatuh cinta.
Walaupun ia dan Yo Han tidak pernah saling menyata-kan isi hati yang mencinta, namun keduanya dapat merasakan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling men-cinta.
Setelah bertemu dengan Yo Han, Sian Li pulang diantar oleh Yo Han dan kedua orang tua Sian Li juga menyambut Yo Han dengan gembira dan kagum melihat pemuda yang di waktu kecilnya tidak suka berlatih silat itu kini telah men-jadi seorang pendekar lihai.
Namun, me-lihat keakraban hubungan antara puteri mereka dan Yo Han, suami isteri pen-dekar itu merasa khawatir.
Mereka ber-dua tidak setuju kalau sampai puteri mereka saling jatuh cinta dengan Yo Han, tidak setuju kalau puteri mereka menjadi jodoh pemuda itu.
Mereka tidak dapat melupakan bahwa biarpun ayah kandung Yo Han seorang pemuda petani yang jujur dan baik namun mendiang ibu kandungnya adalah sorang wanita tokoh sesat yang dahulu terkenal sebagai iblis betina dengan julukan Bi Kwi (Setan Cantik).
Mereka merasa khawatir kalaukalau Yo Han mewarisi watak ibunya yang tersesat.
Itulah sebabnya maka suami isteri ini terang-terangan menyatakan kepada Yo Han bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun dari kota raja! Keterangan itu memukul hati Yo Han dan pemuda itu pun, untuk ke dua kalinya, meninggalkan keluarga Tan demi menjauhkan diri dan tidak meng-ganggu Sian Li! Demikianlah, kadang-kadang, kalau teringat kepada Yo Han, Sian Li merasa rindu dan bersedih.
Akan tetapi ayah ibunya menghiburnya dan mengatakan bahwa ayah ibunya akan mengajak ia pergi ke kota raja, untuk membantu Yo Han yang bertugas mencari adik misan-nya yang hilang diculik orang sejak ber-usia tiga tahun! Adik misan Yo Han itu bernama Sim Hui Eng, puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan.
Suami isteri pendekar yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi itu pun tidak berhasil menemukan kembali puteri mereka yang telah hilang selama dua puluh tahun! Dan sekarang pergi untuk mencoba membantu bibinya me-nemukan kembali puterinya yang hilang itu.
Tentu saja Sian Li terhibur karena hendak diajak mencari Sim Hui Eng, bukan untuk menemukan gadis yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu, melainkan karena ada harapan untuk berjumpa kembali dengan Yo Han! Sebelum itu, Sian Li diharuskan mem-perdalam ilmu silatnya dan selama se-tahun, ia melatih diri dengan amat te-kun, menguasai ilmu silat Ang-ho-sin--kun yang sengaja dirangkai ayahnya un-tuk dirinya.
Tidak begitu sukar bagi Sian Li untuk menguasai ilmu ini, karena sebelumnya ia telah menguasai ilmu silat Pek-ho-sin-kun yang merupakan dasar dari Ang-hosin-kun.
Pada pagi hari itu, untuk yang ter-akhir kalinya Sian Li berlatih, ditunggui ayah dan ibunya sendiri.
Ia bersilat me-mainkan Ang-ho-sin-kun.
Demikian lincah gerakannya sehingga kadang-kadang tu-buhnya tidak nampak dan yang kelihatan hanya bayangan merah yang berkelebatan cepat.
Kadang-kadang kalau ia melakukan gerakan yang lambat, maka ia kelihatan seperti seorang penari yang pandai me-narikan tari bangau yang indah.
Ada gerakan burung bangau menyisir bulu, burung bangau berjemur dan burung bangau mengembangkan kedua sayap.
Indah sekali gerakannya itu, akan tetapi di balik keindahan dan kelembutan ini ter-simpan kekuatan dahsyat yang mengejut-kan lawan yang kuat sekalipun.
Setelah selesai bersilat, Sian Li meng-hentikan gerakannya dan napasnya tidak memburu, hanya di leher dan dahinya saja agak basah oleh keringat.
Ibunya segera menghampiri puterinya, memper-gunakan sebuah handuk untuk mengusap keringat dari leher dan dahi puterinya tercinta.
"Bagus, gerakanmu sudah bagus, tidak ada lagi kulihat lowongan yang lemah!" Ayahnya memuji.
"Kepandaianmu kini lengkap dan lu-mayan, aku sendiri tidak akan mampu menandingimu," kata ibunya dengan bang-ga dan ibu ini mencium kedua pipi puteri-nya.
"Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?" Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira, matanya bersinar-sinar.
Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya.
Isterinya adalah seorang wanita cantik, akan tetapi puteri mereka ini lebih can-tik lagi.
Apalagi dalam pakaian serba merah begitu.
Hati pemuda mana yang takkan terpikat" Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh cinta kalau bertemu dengan Sian Li.
Tan Sin Hong tertawa.
"Ha-ha-ha, berangkat ke mana?" Dia menggoda, tentu saja tahu bahwa puterinya menagih janji.
"Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri" Bukankah setahun yang lalu Ayah menjanjikan kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?" "Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li.
Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap dan berkemas," kata Kao Hong Li.
Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira.
"Kalau begitu, aku pun akan berkemas, ibu!" dan gadis itu ber-lari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.
Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia.
"Dia sudah dewasa akan tetapi kadang-kadang masih kekanakan." kata Tan Sin Hong.
"Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa," kata Kao Hong Li.
"Sekali ini kita akan mempertemukan ia dengan Pangeran Cia Sun.