Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja, membiarkan pem-bantunya melanjutkan siasatnya.
"Baik, nyonya muda.
Hamba tidak memberitahu kepada siapapun juga, tetapi hanya de-ngan satu syarat dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi syarat itu." 4 Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil.
"Apa....
syaratnya....?" "Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka dan memanggil, Paduka harus segera datang melayaninya.
Maukah Paduka berjanji?" kata Siauw Hok Cu.
Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nam-pak lega dan ia pun kini berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar.
"Aku berjanji!" Setelah Kian Liong pergi meninggal-kan pondok, barulah para dayang ber-munculan.
Akan tetapi mereka itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar nyonya muda itu keluar ketika ia menyatakan hendak pulang.
Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau an-caman itu.
Tanpa ancaman sekalipun, Fu Heng akan dengan suka rela, bahkan dengan bergembira, menyambut setiap ajakan Pangeran Kian Liong.
Setelah merasakan curahan kasih sayang pangeran mahkota yang tampan, halus lembut, romantis dan berpengalaman itu, ia pun menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani suaminya.
Demikianlah, hubungan gelap itu ber-kelanjutan dan dengan bantuan Siauw Hok Cu, pertemuan rahasia selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dan kakak iparnya.
Di rumahnya, Fu Heng semakin jarang mau melayani suaminya.
Hubungan gelap itu membuahkan kan-dungan dan nyonya muda Fu Heng me-lahirkan seorang putera yang tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, merupakan putera dari Pangeran Kian Tong.
Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil hubungan rahasia mereka.
Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung dan melahirkan anak.
Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar.
Anak laki-laki itu diberi nama Cia Yan atau Pangeran Cia Yan, dan mengingat bahwa anak itu adalah darahnya sendiri, ketika dia sudah men-jadi kaisar, Pangeran yang menjadi Kai-sar Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong, untuk mengangkat Cia Yan sebagai pu-teranya.
Tentu saja Pangeran Kian Tong setuju dan merasa girang dan bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat.
Dari putera seorang pangeran menjadi putera kaisar! Kini Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua.
Usianya sudah tujuh puluh tujuh tahun.
Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga sudah berusia lima puluh tahun lebih, dan pangeran ini mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini berusia dua puluh dua tahun.
Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong.
Bagi umum, tentu saja kaisar itu merupakan paman ayahnya, akan tetapi sesungguhnya adalah kakeknya yang aseli, ayah kandung ayahnya! Maka tidak meng-herankan kalau dia mewarisi sifat dan wajah kakeknya.
Pangeran Cia Bun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali mempelajari ilmu silat.
Di istana terdapat banyak jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kepandaian silat ting-kat tinggi dan sebagai seorang pangeran, mudah saja dia mendapatkan guru-guru yang pandai.
Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan seorang pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.
Pada suatu hari, timbul keinginan hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan lingkungan istana ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa acara, tanpa upacara.
Jiwa pe-tualangannya memberontak dan dia ingin terbebas daripada semua ikatan peraturan kebangsawanannya yang dianggap amat mengikat.
Ketika dia menghadap ayah ibunya untuk minta perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir, terutama sekali ibunya.
"Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana" Kurang apakah di sini" Semua ada, segala keperluanmu tersedia, segala keinginanmu akan terkabul.
Kenapa hen-dak merantau dan bersusah payah?" kata ibunya.
Cia Sun tersenyum kepada ibunya.
Dia tahu bahwa ibunya amat menyayangi dan memanjakannya.
"Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan.
Aku ingin me-rasakan seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di udara, bebas dan pergi ke manapun sekehendak hatinya.
Jangan ibu khawatir, aku tidak akan pergi selamanya, hanya ingin merantau kurang lebih setahun untuk menambah pengetahuan, meluaskan pengetahuan melalui pengalaman." "Tapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak." kata pula ibunya, lupa bahwa puteranya adalah seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah dan membutuhkan perlindungannya.
"Aku dapat menjaga diri, Ibu.
Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk membasminya agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu." "Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak berkeberatan," kata ayahnya.
"Akan tetapi ingatlah, ada satu hal yang penting harus kauketahui, yaitu bahwa engkau tidak boleh meng-ikatkan diri dengan seorang wanita lain.
Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh dengan Si Bangau Merah!" "Apa" Anakku akan dijodohkan dengan burung bangau merah?" isteri Pangeran Cia Yan berseru, matanya terbelalak memandang kepada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau suaminya mendadak menjadi sinting! Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.
"Jangan khawatir, aku belum gila.
Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau" Yang kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, puteri dari pendekar sakti Bangau Putih." "Ihhh! Kenapa serba bangau" Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita de-ngan gadis dari keluarga itu" Jangan--jangan mukanya seperti bangau." Kembali ayah dan anak itu tertawa.
"Ibu jangan khawatir, aku sudah men-dengar akan nama besar Pendekar Ba-ngau Putih, dan juga telah mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah seorang pendekar wanita yang hebat, bukan saja berkepandaian tinggi akan tetapi juga cantik jelita." Lalu dia berkata kepada ayahnya.
"Ayah, bukan saya menolak atas usul ayah.
Akan tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum pernah berkenalan, bagai-mana begitu saja kami dapat dijodohkan" Saya yakin bahwa seorang gadis seperti Si Bangau Merah, tidak akan mau di-jodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah dilihatnya.
Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa co-cok dengan gadis itu." Ayahnya tersenyum.
"Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah seorang pendekar budiman dan aku mengenalnya dengan baik.
Karena itulah maka pernah aku mengusulkan kepadanya agar anaknya dijodohkan de-ngan anakku.
Dia tidak menolak, dan juga belum menerima begitu saja karena itu baru merupakan usul, bukan suatu pinangan resmi.
Akan tetapi, akan baha-gialah hatiku kalau akhirnya aku dapat berbesan dengan Tantaihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu agar dalam perantauanmu ini engkau ti-dak terikat oleh gadis lain." "Baiklah, Ayah.
Aku memang suka bergaul dengan wanita, akan tetapi un-tuk menentukan jodoh, aku harus me-milih-milih dan tidak mau sembarangan saja." Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang berupa sebuah gedung istana yang indah dan mewah.
Dia membawa buntalan pakaian, bekal uang, dan tidak ketinggal-an sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian.
Dia sendiri mengenakan pakaian seorang sastrawan yang tidak begitu mewah.
Ketika dia keluar dari rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak menduga bahwa dia adalah seorang pa-ngeran, cucu kaisar! Dia kelihatan se-bagai seorang pemuda sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan sikapnya lembut.
Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu mudanya.
Tubuhnya sedang dan tegap, wajahnya yang bulat bentuknya itu berkulit putih bersih sehingga alisnya yang lebat dan hitam nampak semakin jelas.
Sepasang matanya tajam bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias se-nyum.
*** Siapakah yang dimaksudkan Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang ke-luarga "bangau" itu" Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong seorang pendekar sakti yang tinggal di kota Ta-tung sebelah barat kota raja.
Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun, dan dia seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang menduga bahwa dialah yang berjuluk Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar budiman yang sikapnya ramah dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Dia mewarisi ilmu-ilmu dari orangorang sakti yang berada di istana Gurun Pasir.
Mendiang tiga orang gurunya, ya-itu Wan Tek Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, telah merangkai sebuah ilmu gabungan mereka bertiga yang diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).
Tan Sin Hong telah menguasai ilmu ini dengan sempurna, dan sukarlah mencari lawan yang akan mampu menga-lahkan ilmunya itu.
Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cuibeng-kiam (Pedang Pengejar Arwah)! Isterinya juga seorang pendekar wa-nita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia empat puluh tahun namun masih nampak cantik, ramping dan ce-katan seperti seorang gadis saja.
Wajah-nya bulat telur dan matanya lebar.
Kao Hong Li ini merupakan keturunan aseli dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya adalah keturunan Gurun Pasir bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es ber-nama Suma Hui.
Dapat dibayangkan be-tapa lihainya wanita ini.