Sepasang Pendekar Kembar Chapter 37 (Tamat)

NIC

Tapi terdengar jawaban Ciu Pek In dengan suara halus, "Cin Cun Ong, seseorang bebas memilih pendapatnya

sendiri-sendiri tak dapat dipaksa untuk hanya ikut-ikutan

saja. Ouw yang Bun telah memilih perjuangan kami."

"Kau tua bangka yang menjadi biang keladi semua ini" bentak Cin Cun Ong dengan marah sekali lalu menyerang Ciu Pek In. Kedua jago tua ini lalu bertempur dengan luar biasa hebatnya. Cui Sian tetap membantu Ouwyang Bun dan melihat betapa Ouwyang Bun benar-benar tidak sanggup mengangkat senjata terhadap adiknya yang dikasihi, gadis ini lalu menyuruh ia membantu saja kawan yang lain.

Pertempuran di dalam benteng yang berjalan hampir setengah hari itu ternyata dimenangkan oleh pihak pemberontak, karena tidak saja jumlah mereka jauh lebih besar, tapi juga datang barisan baru di bawah pimpinan Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin besar pemberontak yang sangat terkenal itu.

Tentu saja pihak tentara negeri tak sanggup menahan serangan gelombang besar dari barisan pemberontak ini dan mereka segera mundur sambil meninggalkan ratusan korban. Dan pertempuran yang berlangsung antara para pemimpin di dalam tenda besar juga hebat sekali. Ternyata keadaan mereka seimbang, tapi melihat bahwa anak buah mereka telah kalah dan kabur, banyak pula di antara mereka, termasuk Khu Ci Lok si Hun-cwe Maut dan Kin Keng Tojin, segera meninggalkan lawan dan lari. Yang lain- lain telah roboh menjadi korban senjata. Di pihak pimpinan pemberontak, Kilok Ngo-koai yang berjumlah lima orang itu tetah roboh tiga dan tinggal dua orang lagi saja, juga Bhok Sun Ki si Raja Pengemis telah tewas. Cin Kong Hwesio mendapat luka bacokan dan masih banyak pula pemimpin dan pembantu lain yang menderita luka.

Setelah sisa dari mereka yang bertarung di dalam tenda itu pada lari, kini masih bertempur ramai hanyalah Cin Ong melawan Ciu Pek In dan Ouw-Bu melawan Cui Sian. Sebenarnya, beberapa kali Ciu Pek In tadi berseru bahwa kalau Cin Cun Ong hendak lari, ia takkan mengejar. Tapi ucapan ini hanya menimbulkan kemarahan Cin Cun Ong dan Ouwyang Bu saja. Kedua ksatria tua dan muda ini ingin berkelahi terus sampai napas terakhir. Mereka lebih baik mati daripada harus meninggalkan benteng itu.

Ciu Pek In adalah seorang ahli pedang yang istimewa dan berkepandaian tinggi, namun menghadapi Cin Cun Ong ia tidak berdaya dan bukan perkara mudah untuk mengalahkan panglima tua itu. Dan biarpun Cui Sian hebat juga, namun kepandaian Ouwyang Bu dapat mengimbanginya.

Kini semua kawanan pemberontak yang ditinggal lari musuh, mengurung tenda itu dan beberapa orang pemimpin hendak membantu Ciu Pek In dan Cui Sian tapi Ciu Pek In berteriak,

"Jangan. Jangan main keroyokan terhadap dua orang pahlawan gagah ini. Aku dan muridku masih belum kalah"

Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya. Tiba- tiba dari luar masuk seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima tahun, berpakaian seperti orang tani dan bertopi lebar. Kumis dan jenggotnya yang hitam panjang itu terpelihara matanya yang tajam. Semua seorang segera memberi jalan padanya dengan sikap hormat.

Ia lalu melihat empat orang yang sedang bertempur itu dengan kagum dan akhirnya mengeluarkan sebuah gendewa dan beberapa batang anak panah. Lalu ia berseru dengan suara menggeledek,

“Ciu-lopeh dan Can-siocia. Kalian mundurlah”

Mendengar suara yang sangat berpengaruh dan telah mereka kenal baik ini, Ciu Pek In dan Cui Sian segera meloncat mundur meninggalkan lawan mereka dari pada saat itu enam batang anak panah meluncur bagai kilat. Tiga menuju ke arah Ouwyang Bu dan tiga lagi menuju ke arah Cin Cun Ong. Biarpun sudah lelah sekali, namun Cin Cun Ong masih berhasil mengelakkan dua di antara tiga anak panah itu tapi yang ketiga tepat menancap di dada kirinya hingga ia terhuyung mundur lalu roboh tak berkutik lagi. Anak panah itu menembus jantungnya hingga ia binasa seketika itu juga.

Ouwyang Bu yang gagah, hanya dapat menangkis sebatang anak panah, yang dua batang tepat menancap di dada hingga pemuda inipun rebah dan mati seketika itu juga tanpa mengeluarkan suara sedikitpun sama halnya dengan Cin Cun Ong, itu mati dengan pedang masih erat tergenggam dalam tangan.

Semua orang maju melihat kedua orang yang gagah perkasa ini. Ouwyang Bun mau menubruk adiknya yang telah mati sambil mengeluarkan keluhan sedih.

"Anak muda, mundur kau" petani bertopi lebar tadi berkata lagi dengan suaranya yang menggeledek. "Ini bukan waktunya untuk menangis. Mundurlah" Tapi pada saat Ouwyang Bun mundur, ia melihat persamaan muka di antara Ouwyang Bun dan pemuda yang rebah itu, maka ia segera bertanya,

"Ah, kalian ini bersaudarakah?"

Cui Stan yang mewakili kekasihnya menjawab, "Mereka adalah saudara kembar yang berselisih pendapat, taihiap.”

Mata orang itu bersinar ganjil. "Hm, anak muda. Kau beruntung mempunyai saudara seperti ini. Tak perlu kau bersedih, bahkan kau boleh merasa bangga. Kalau saja kita mempunyai orang-orang seperti Cin Cun Ong dan anak muda ini. Lihat, semua kawan-kawan, lihatlah. Dua orang ini barulah patut disebut orang-orang gagah, perajurit- perajurit sejati, yang patut dicontoh oleh semua orang yang menganggap dirinya sebagai ksatria. Mereka berdua ini dengan pedang di tangan membela benteng ini sampai titik darah terakhir. Biarpun kawan-kawan mereka telah lari, namun mereka tetap membela tempat pertahanan yang menjadi tanggung jawab mereka, tetap memenuhi tugas kewajiban sebagaimana layaknya seorang pahlawan sejati. Inilah orang-orang gagah perkasa, perwira-perwira yang patut kita hormati"

Siapakah orang bertopi lebar yang mempunyai suara menggeledek dan mempunyai ilmu memanah yang luar biasa hebatnya ini? Tidak lain ialah Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin pemberontak yang terkenal itu, yang bersama-sama seorang pemberontak lain yang lebih terkenal lagi, yakni Lie Cu Seng, telah berhasil menggerakkan rakyat tertindas untuk menggulingkan pemerintahan kaisar lalim.

Setelah itu, semua barisan pemberontak lalu maju bergerak menuju ke kota raja. Kemudian mereka menggabungkan diri dengan barisan Lie Cu Seng dan langsung menyerbu kota raja hingga berhasil menghalau semua pembesar. Kaisar lalim berhasil lolos dari istana, tapi karena terus dikejar-kejar akhirnya ia menjadi putus asa dan menggantung diri di sebuah gunung hingga binasa. Pada saat terakhir itu, barulah kaisar insyaf akan kesalahannya, insyaf bahwa ia sebagai seorang pemimpin telah lupa akan kewajibannya, hanya ingat akan kesenangan diri sendiri saja, berfoya-foya dan bersenang-senang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga seakan-akan buta terhadap segala kejahatan dan kecurangan para pegawainya hingga rakyat kecil hidup tertindas dan sengsara.

Setelah pepterangan padam dan semua menjadi aman kembali, Ouwyang Bun dan Cui Sian kembali ke Tung-han, ke rumah orang tua Cui Sian. Can Lim Co. suami isteri girang sekali melihat Cui Sian pulang dan bahkan telah bertemu dengan tunangannya, tapi mereka berduka mendengar tentang kematian Siauw Leng. Dengan singkat Cui Sian menceritakan segala pengalamannya kepada ayah ibunya.

Setelah tinggal untuk tiga hari di rumah calon mertuanya, Ouwyang Bun lalu pulang ke Nam-tin, ke kampung orang tua nya. Alangkah sedih hati ayah ibunya ketika mendengar tentang gugurnya Ouwyang Bu, tapi Ouwyang Bun dapat menghibur mereka dan menceritakan betapa Ouwyang Bu gugur sebagai seorang ksatria dan mendapat penghormatan besar baik dari kawan maupun dari lawan. Ketika Ouwyang Bun menceritakan betapa ia sendiri menggabungkan diri dengan para pemberontak, ayahnya agak kurang senang, tapi melihat kenyataan bahwa akhirnya Lie Cu Seng yang menang, ia tidak berkata apa- apa. Melihat sikap ayahnya, Ouwyang Bun yang sudah mendapat pengalaman itu lalu menceritakan tentang keadaan rakyat kecil yang penuh derita dan menceritakan pula bahwa sudah menjadi kewajiban tiap orang yang menyebut dirinya sebagai hohan (orang budiman) untuk menolong mereka ini, baik dengan tenaga, harta, maupun pikiran membantu mereka terlepas dari kesengsaraan. Akhirnya terbukalah pikiran ayahnya dan lambat-laun Ouwyang Heng Sun menjadi seorang hartawan yang dermawan di kotanya.

Tiga bulan kemudian, dilangsungkanlah perkawinan antara Ouwyang Bun dan Cui Sian yang dirayakan dengan ramai sekali. Banyak sekali orang-orang besar yang mereka kenal menghadiri pesta perkawinan itu, di antaranya tampak pula. Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, guru Ouwyang- heng-te. Dan adalah satu hal yang sama sekali diluar dugaan Ouwyang Bun ketika ia mendengar dari suhunya bahwa orang tua itupun ternyata. membantu pergerakan pemberontak, tapi di rombongan lain yakni ia membantu barisan di bawah pimpinan orang besar Lie Cu Seng sendiri. Tentu saja, selain girang mendengar ini, Ouwyang Bun juga merasa heran sekali dan mengajukan pertanyaan kepada suhunya itu.

Sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan putih Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang lalu menuturkan betapa tadinya iapun anti kepada pemberontak hingga ia sendiri menyuruh kedua muridnya membantu sutenya Cin Cun Ong. Bahkan ia sendiri ketika mendengar bahwa barisan pemberontak hendak lewat di daerah Hong-san, lalu turun gunung mencegat dan hendak melawan. Tapi ia heran sekali melihat betapa semua rakyat miskin menyambut kedatangan pemberontak dengan suka ria. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk memasuki tenda besar dengan maksud mengacau pemimpin barisan. Tak tahunya ia bertemu dengan Lie Cu Seng sendiri. Di dalam tenda itulah ia menerima keterangan-keterangan. dan petuah- petuah hingga terbuka matanya dan ia menjadi insyaf akan sucinya tugas barisan rakyat itu. Dengan suka rela ia lalu menggabungkan diri.

Mendengar ini, tentu saja Ouwyang Bun suami isteri menjadi girang sekali. Demikianlah, sepasang orang muda ini hidup berbahagia, saling.mencintai dan menghormati sampai di hari tua.

Ooo-d-TAMAT-w-ooO

Posting Komentar