Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 41

NIC

0 o odwo o 0

TAN SIONG yang mengalami luka bahunya, tidak berani langsung kembali ke te mpat perse mbunyiannya di kuil tua, me lainkan berputar-putar di tempat-tempat sunyi. Setelah matahari turun ke barat dan cuaca menjadi re mang-re mang, barulah dia menyelinap di antara gedung-gedung, melalui lorong-lorong menuju ke kuil tua. Akan tetapi tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan banyak orang bahwa ada terjadi kebakaran. Dia segera menuju ke tempat itu menyelinap di antara orang banyak. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika me lihat bekas lawannya tadi, yaitu Koo Cai Sun, bersama dua orang rekannya yang lihai, berada pula di te mpat itu dan mendengar dari orang-orang yang menonton bahwa yang terbakar itu adalah toko milik laki-laki berperut gendut yang tadi meray u Ok Cin Hwa! Huh, manusia jahat tentu akhirnya akan mengalami musibah dan ma lapetaka, pikir Tan Siong dan diapun tidak perduli lagi, la lu menyelinap di antara banyak orang dan pergi dari situ.

Dia me masuki kuil tua yang gelap itu, menuju ke ruangan belakang yang untuk se mentara menjadi te mpat dia bersembunyi. Gelap sekali ruangan itu. Dia meraba-raba untuk mencari lilin yang ditaruh di sudut ruangan. Akan tetapi tangannya tidak mene mukan sesuatu.

"Engkau mencari lilin, Toako?" Tiba-tiba terdengar suara halus.

Tan Siong terkejut, akan tetapi girang mendengar bahwa itu adalah suara Ok Cin Hwa. Lilin itu dinyalakan oleh wanita yang ternyata adalah Cui Hong itu. Tentu para pembaca dapat menduga bahwa orang sakti yang diam-dia m me mbantu Tan Siong tadi bukan lain adalah Cui Hong sendiri, la tidak lari jauh, melainkan bersembunyi dan menonton perkelahian itu. la merasa terkejut, heran dan kagum sekali karena ternyata pemuda itu me miliki ilmu kepandaian silat yang cukup t inggi, tidak terlalu banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri! Ia me lihat dengan kagum betapa dengan mudah Tan Siong menghadap i pengeroyokan Cai Sun yang dibantu enam orang perajurit, kemudian datang pula me mbantu dua orang jagoan yang amat lihai itu. Juga dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang murid Kun-lun-pai, seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi, kekagumannya berubah menjadi kekhawatiran ketika ia me lihat betapa Tan Siong mulai terdesak payah dan bahkan menderita luka pada bahunya. Cepat ia me mbantu dari te mpat persem-bunyiannya, menya mbitkan batu-batu kerikil yang mengenai tubuh tiga orang lihai itu sehingga mereka terkejut dan menghentikan serangan mereka terhadap diri Tan Siong yang sudah terdesak. Kesempatan itu, seperti yang diharapkan, dipergunakan dengan baik oleh Tan Siong yang berhasil me loloskan diri. la lalu mendah ului pe muda itu me masu ki ruangan belakang kuil tua dan menanti di situ sa mpa i gelap.

Kini mereka dapat saling pandang di bawah sinar lilin yang remang-re mang. Tan Siong menye mbunyikan kegirangannya me lihat Cui Hong berada di situ dengan duduk bersila di atas lantai. "Syukur engkau dapat me loloskan diri, Hwa- mo i."

"Berkat pertolonganmu, Tan-ko. Karena tidak tahu harus lari ke mana, aku teringat akan tempat ini dan bersembunyi di sini."

"Engkau benar, di sini kita aman karena mereka tentu tidak menyangka bahwa kita berada di sini." "Tan-ko, sungguh aku kagum sekali karena engkau ternyata bukan seorang petani dusun biasa, melainkan seorang pendekar yang amat lihai sehingga engkau berhasil menyelamatkan aku dan menand ingi orang-orang jahat yang mengeroyokmu."

"Ah, jangan me muji, Hwa- moi. Bagaimana aku dapat disebut lihai kalau ha mpir saja aku tewas di tangan mere ka?"

Dia meraba luka di bahu kir inya dan meng gigit bibir menahan rasa nyeri ketika dia menco ba untuk me mbuka baju di bagian bahu yang robek dan melekat pada lukanya karena darah yang menger ing.

"Aih, engkau terluka parah, Tan-ko? Mari, biar aku yang merawatnya. Luka itu perlu dibersihkan." kata Cui Hong yang segera menghampiri lalu berlutut di dekat pemuda itu. Dengan cekatan jari-jari tangannya yang halus me mbuka bagian baju yang terobek itu lebih besar sehingga luka itu na mpak. Biarpun t idak berbahaya dan tidak sa mpai mengenai tulang, namun luka itu cukup lebar dan na mpak mengerikan, dan ia tahu bahwa luka itu tentu terasa nyeri, pedih dan panas sekali.

"Aku butuh air panas untuk mencuci luka ini sebelum diobati, Tan-ko. Aku akan mencari air panas dan obat keluar sebentar."

"Jangan, Hwa-mo i, berbahaya kalau engkau keluar sekarang. Ini ada arak, cucilah saja dengan arak ini, kemudian berikan obat ini la lu balut. Aku me mang selalu menyediakan obat untuk merawat luka." kata Tan Siong.

Tentu saja Cui Hong juga tahu akan cara pengobatan luka, maka ia lalu menc uci luka itu dengan arak. Pedih perih rasanya dan Tan Siong menggigit bibir menahan rasa nyeri. Tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya, padahal Cui Hong maklum betapa nyerinya luka yang dibakar oleh arak itu. Setelah me mbersihkan luka itu, ia lalu menggunakan obat bubuk putih yang diberikan Tan Siong, setelah itu ia membalut bahu itu dengan me mpergunakan sobekan ikat pinggangnya yang berwarna putih bersih. Selama perawatan ini, Cui Hong berlutut dekat sekali dengan Tan Siong sehingga kadang- kadang, tanpa disengaja, ada bagian tubuh mereka yang saling bersentuhan. Hal ini me mbuat Tan Siong ha mpir tak berani berkutik. Bau khas wanita yang keluar dari tubuh dan rambut Cui Hong, sentuhan jari-jari tangan yang seperti me mbe lai bahunya, geseran-geseran halus antara bagian tubuh mereka yang saling bersentuhan, mendatangkan getara dalam diri Tan Siong dan me mbuat jantungnya berdebar keras. Dia tidak tahu bahwa keadaan wanita itu pun tidak jauh bedanya dengan dirinya. Belum pernah sela ma hidupnya Cui Hong berada dalam keadaan seperti itu, de mikian dekat dengan seorang pria. Pengalamannya tujuh tahun yang lalu dengan empat orang pria yang me mperkosanya merupakan hal yang lain sa ma sekali karena di situ t idak terdapat kemesraan, yang ada hanya rasa takut, duka, dan kebencian. Akan tetapi sekarang, ia merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang amat mesra, yang membuat jantungnya berdebar keras dan jari-jari tangannya kadang-kadang agak gemetar. Untuk menghibur ketegangan aneh ini, Cui Hong lalu bertanya.

"Siong-toako, engkau adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Kenapa engkau demikian baik kepadaku, me mbelaku sampai mati- matian sehingga engkau mender ita luka parah begini?"

Tan Siong menarik napas panjang. "Mula- mula hanya kebetulan saja kita saling jumpa di dalam rumah makan itu, Hwa- moi. Tentu saja aku tidak suka melihat orang-orang kasar itu mengganggumu sehingga aku menegur mereka."

"Akan tetapi ketika meja itu dibalikkan oleh Si Muka Bopeng, kenapa engkau diam saja sehingga pakaian mu tersiram kuwah?" "Ketika itu aku tidak ingin menonjolkan diri, tidak ingin diketahui orang bahwa aku me miliki kepandaian silat. Untung pada waktu itu t idak terjadi apa-apa, akan tetapi kemunculan Si Muka Babi itu. "

"Si Muka Babi...?" Cui Hong bertanya sambil mengang kat alis matanya karena heran.

"Itu, laki-la ki perut gendut bermuka bulat yang me mbawa senjata siang-kek "

"Ahh, dia....!" Cui Hong menahan ketawanya. "Dia bernama Koo Cai Sun."

"Ke munculannya mendatangkan perasaan tidak enak di hatiku, karena itu aku mengajakmu lar i ke sini te mpo hari. Melihat pandang matanya dan sikapnya, aku dapat menduga bahwa dia itu selain lebih lihai daripada e mpat orang kasar itu, juga lebih jahat. Dan setelah kita berpisah di dekat rumah penginapan, hatiku tetap merasa gelisah dan aku a mat meng khawatirkan keselamatan mu. Lebih gelisah lagi hatiku ketika aku tidak melihatmu di rumah penginapan itu dan aku mendengar dari para pengurus bahwa engkau tidak pernah bermalam di sana."

"Maaf, Toako. Aku me mang sengaja me mbohong te mpo hari kepada mu, karena aku tidak ingin engkau mengetahui tempat tinggalku."

"Kenapa, Hwa- moi? Kenapa? Bukankah kita sudah saling berkenalan?"

"Aku ingin merahasiakan diriku dan tempat tinggalku, Toako."

"Tapi kenapa?"

Cui Hong menarik napas panjang, menceritakan hal itu sama saja dengan me mbuka rahasia dirinya. Ia menggeleng kepala. "Sekali lagi maaf, itu merupakan rahasia besar bagiku dan belum waktunya kuceritakan kepada mu, Toako. Akan tetapi, lanjutkanlah ceritamu." la me mandang wajah pe muda itu. "Bagaimana engkau dapat muncul lagi dalam peristiwa tadi?"

"Ke mbali suatu hal yang kebetulan saja, Hwa- moi. Aku sedang berjalan-jalan, seperti biasa mencar i pa manku yang sampai sekarang belum juga kute mukan, juga untuk mencarimu karena hatiku masih merasa penasaran karena tidak dapat menemukan engkau di ru mah penginapan itu. Dan kebetulan aku me lihat engkau berjalan-jalan bersa ma Koo Cai Sun itu... ah, benar, lupa aku me mberitahukan. Tadi, menje lang senja, aku melihat kebakaran dan ternyata yang terbakar habis adalah toko dan rumah milik Si Muka Babi itu!"

Tentu saja Cui Hong tidak merasa heran mendengar ini karena kebakaran itu adalah hasil pekerjaannya. Dalam kekecewaannya karena Cai Sun terlepas dari cengkeramannya di rumah yang disewanya karena kemunculan pengawal- pengawal keluarga Pui, ia lalu pergi ke toko dan rumah musuhnya itu dan me mbakarnya habis karena sebelum me mba kar, ia menyira mkan minyak ke dalam toko dan ru mah itu. Karena ia me mpergunakan kepandaiannya yang tinggi untuk menyelinap masuk dan keluar lagi, tidak ada orang yang me lihatnya ketika ia me lakukan hal itu, dan karena ruma h itu pun kosong, ditinggal pergi oleh keluarga Koo Cai Sun yang mengungsi ke rumah gedung Pui Ki Cong.

"Bagus! Aku merasa senang mendengar itu. Memang dia jahat dan kurang ajar, sudah sepatutnya dia mengalami nasib buruk seperti itu!"

"Hwa- mo i, aku merasa heran ketika melihat engkau dan dia jalan bersama, kemudian masuk ke dalam rumah yang sunyi itu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?"

Kembali Cui Hong menarik napas panjang. Ia harus pandai me mbuat cerita yang lain karena tidak mungkin ia dapat me mbuka rahasianya sel-ma tugasnya me mbalas dendam belum selesai dengan lengkap. "Aku bertemu di jalan dengan dia, Toako. Dan mengingat bahwa dia pernah meno longku terlepas dari tangan orang kali tidak me mbayangkan kekurangajaran sehingga tidak me mbikin ia marah. Sebaliknya, ia ma lah merasa girang sekali!”

Posting Komentar