Yang mengherankan hatinya, kalau mereka itu putera dan puteri bangsawan tinggi Mongol, kenapa berkeliaran berdua saja tanpa pengawal? Biasanya, para pembesar Mongol kalau keluar kota selalu dikawal ketat karena tentu saja ada kemungkinan mereka diserang oleh para pemberontak, yaitu patriot-patriot yang memusuhi penjajah Mongol.
Kedua orang itu tiba-tiba menahan kuda mereka dan memandang kepada Shu Ta. Shu Ta yang tadi mengamati mereka, merasa canggung. Pemuda Mongol itu tampan dan gagah, akan tetapi gadis itu lebih hebat lagi. Begitu cantik jelita dan memiliki sepasang mata yang demikian tajam seperti sepasang bintang! Dia menjadi gugup dan menuangkan air jernih dari guci mulutnya. Dia mendengar suara wanita bicara kepada pemuda itu dan si pemuda bangsawan berseru.
“Heii, sobat, jangan dihabiskan air itu!”
Tentu saja dia terkejut dan heran, menunda minumnya dan menutupi lagi guci arinya dengan cepat agar tidak kemasukan debu yang masih mengepal. Kini dua orang muda bangsawan itu sudah turun dari kuda, membiarkan kuda mereka makan rumput dan mereka melangkah menghampirinya. Shu Ta tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang seperti orang kehilangan akal. Dia merasa heran mengapa tidak timbul kebencian dalam hatinya terhadap mereka, seperti yang dibayangkannya dahulu ketika dia masih berada di kuil. Kalau dia membayangkan orang Mongol, selalu timbul kebencian di hatinya karena mereka telah menjajah tanah air dan bangsanya. Akan tetapi, kini berhadapan dengan seorang pemuda dan seorang gadis Mongol, entah mengapa, dia tidak merasakan kebenciannya itu! Memang tidak mengherankan karena muda mudi itu sama sekali tidak mempunyai penampilan yang cukup untuk menimbulkan perasaan benci.. Mereka memiliki gerak-gerik yang lembut, sikap mereka halus dan pandang mata merekapun riang dan tidak mengandung kekerasan atau kesombongan seperti yang seringkali dia dengar.
“Maafkan kami, sobat. Tadi adikku melihat engkau minum dan kami memang sedang kehausan. Dalam keadaan hampir mati kehausan ini, tidak ada yang lebih nikmat dari pada air jernih. Kalau engkau tidak keberatan, sobat. Bolehkah kami minta sedikit air minum dari gucimu itu?”
Shu Ta memandang bengong. Dua orang muda bangsawan Mongol yang begitu kaya raya kini minta air minum darinya di tengah jalan yang sunyi? Dia sendiri tidak akan percaya kalau mendengar orang bercerita seperti itu. Biasanya, demikian yang sering didengarnya, orang- orang Mongol menganggap orang pribumi seperti binatang saja, memandang remeh dan rendah. Akan tetapi, pemuda bangsawan ini bersikap demikian ramah, sopan dan bersahabat. Minta air minum dari gucinya! Seperti dalam mimpi saja, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dia menyodorkan guci air minumnya yang masih tiga perempat penuh kepada pemuda bangsawan itu.
Pemuda Mongol yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu menerima guci air dan menyerahkannya kepada gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu tanpa bicara pula. Gadis itu menerima guci, menoleh dan memandang kepada Shu Ta dengan mata bintangnya, kemudian membuka tutup guci dan menengadahkan mukanya, lalu menuangkan air jernih dari guci itu ke dalam mulutnya yang dibuka sedikit. Gerakannya luwes dan tidak tergesa-gesa, air yang dituangkannya pun mengalir kecil memasuki rongga mulutnya dan nampak lehernya bergerak-gerak lembut ketika ia minum dan menelan air itu. Agaknya ia memang haus sekali, ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dan memberikan guci kepada kakaknya. Terdengar suaranya yang merdu dan sama sekali tidak terdengar asing, seolah ia seorang gadis Han aseli.
“Bukan main nikmat dan lezatnya air ini!”
Pemuda bangsawan itu tersenyum, lalu diapun minum beberapa teguk, kemudia menutup kembali guci itu dan menyerahkannya kepada Shu Ta yang masih tertegun.
“Enak sekali! Engkau tahu, adikku, apa yang membuat air jernih ini demikian enaknya?”
“Tentu saja aku tahu. Kehausan kita itulah yang menjadikan air apapun terasa enak, bukankah begitu?”
“Ha-ha, engkau pintar. Memang, tidak ada minuman yang enak melebihi enaknya air biasa bagi seorang yang kehausan, dan tidak ada makanan seenak makanan bagi seorang yang kelaparan!”
Shu Ta kagum. Dua orang kakak beradik bangsawan Mongol ini jelas bukan orang-orang sombong yang bodoh, mereka terpelajar.
“Banyak terima kasih atas kebaikanmu memberi minuman kepada kami, sobat. Kami juga ingin beristirahat di sini. Sekalian membiarkan kedua ekor kuda kami beristirahat. Hari amat panasnya. Kami tidak mengganggumu, bukan?” kata pemuda bangsawan itu.
Shu Ta tidak menjawab, seperti tadi, dia tidak mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala tanda bahwa dia tidak berkeberatan. Pemuda dan gadis itupun duduk di atas batu. Pemuda itu langsung duduk, akan tetapi gadis itu meniup untuk membersihkan debu dari batu sebelum ia mendudukinya.
Sejak tadi, Shu Ta memandang penuh perhatian karena dia benar-benar merasa heran bukan main. Mereka itu jelas anak-anak bangsawan Mongol, kaya-raya, pakaian mereka indah. Kuda mereka saja demikian hebat dan mahal harganya. Orang biasa bekerja beberapa tahun lamanya belum tentu dapat membeli seekor kuda seperti itu! Dan anehnya, mereka itu mau duduk-duduk di atas batu dengan dia, bahkan telah minum air jernih biasa dari guci airnya, minum tanpa cawan, dituang begitu saja ke mulut! Orang-orang apakah mereka ini? Dia memandang penuh perhatian. Pemuda Mongol itu berusiah dua puluh dua tahun, tampan dan gagah sekali, juga wajahnya cerah dan mulutnya selalu dihiasi senyum. Gerak-gerinya halus dan ketika bicara tadipun lembut dan kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Adapun gadis Mongol yang menjadi adiknya itu berusia delapan belas tahun, juga cantik jelita, terutama sekali matanya yang lebar dan tajam sinarnya itu dan mulutnya yang menggairahkan. Pendeknya, banyak pemuda dan gadis tentu akan terpesona dan tergila-gila melihat mereka berdua!
Agaknya sikap mereka yang lembut dan sama sekali tidak membayangkan kecongkakan sikap para bangsawan pada umumnyalah yang membuat Shu Ta sama sekali tidak merasa marah atau benci kepada mereka. Dia tahu bahwa andaikata kedua orang ini bersikap tinggi hati, pasti dia akan membenci mereka karena maklum bahwa mereka ini adalah orang-orang Mongol si penjajah!
Kakak beradik bangsawan Mongol itupun beberapa kali memandang kepada Shu Ta dan akhirnya gadis itu tertawa, suara tawanya merdu dan agak bebas, tidak seperti tawanya gadis Han yang biasanya menahan suara tawa mereka bahkan menutupi mulut dengan ujung lengan baju. Gadis ini tertawa begitu saja tanpa menutupi mulutnya dan dia teringat kepada Ji Kui Hwa, puteri Hartawan Ji di dusun Cang-cin itu. Kui Hwa juga suka tertawa bebas, akan tetapi masih menundukkan mukanya seperti hendak menyembunyikan mulutnya. Gadis Mongol ini tidak menunuduk malah mengangkat muka memandang langit sehingga Shu Ta dapat melihat mulut yang agak terbuka itu dan sekilas dapat melihat rongga mulut yang merah dan deretan gigi yang putih mengkilap.
“Heh-heh-heh, koko (kakak), sobat ini melihat kita seperti orang yang selamanya belum pernah melihat orang-orang seperti kita. Dipandang seperti itu, aku mempunyai perasaan aneh, seolah-olah mataku tiga, atau ada tanduk di atas kepalaku!”
Pemuda itu tertawa pula dan memandang kepada Shu Ta. “Moi-moi (adik), pemuda mana yang tidak akan memandangmu dengan terpesona? Engkau terlalu cantik jelita bagi mata setiap orang pemuda.”
“Ihhh, koko! Jangan mengejekku. Engkaulah yang terlalu tampan sehingga banyak gadis tergila-gila kepadamu dan mengitarimu seperti sekelompok kupu-kupu menyerbu setangkai kembang.”