“Maaf, lo-cian-pwe. Bukankah manusia hidup ini memang tidak mungkin ditinggalkan harta benda? Bahkan untuk makan saja, untuk mempertahankan hidup, untuk sandang dan untuk tempat tinggal, kita membutuhkan harta benda.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Hai itu memang benar dan tidak dapat disangkal pula. Akan tetapi kalau orang mengejar harta benda,maka pengejaran itu mempeerbudaknya, dan dia akan mengejar dengan cara apa saja untuk mendapatkannya.. Tidak dapat disangkal bahwa hidup ini membutuhkan harta benda, akan tetapi apakah hanya harta yang menjadi syarat utama untuk dapt hidup senang? Siauw Cu, coba bayangkan, engkau memiliki harta benda yang paling banyak di antara seluruh manusia di dunia ini, akan tetapi tubuhmu tidak sehat, engkau sakit dan tak dapat turun dari pembaringan, tak dapat menikmati apa saja karena tubuhmu menderita sakit dan setiap saat disiksa nyeri. Dalam keadaan seperti itu, apakah harta bendamu yang berlimpah itu dapat melenyapkan kesengsaraanmu?” “Ah, tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Akan tetapi, kalau kita memiliki harta benda, kita dapat mencari obat dan mengundang tabib yang paling mahal sekalipun. Sebaliknya, kalau kita melarat, lalu jatuh sakit, untuk membeli obatpun tidak mampu.” Siauw Cu membantah karena dia yang sejak kecil mengalami kemiskinan tahu benar akan kesengsaraan itu.
Kakek itu mengangguk. “Ada benarnya kata-katamu itu, walaupun belum tentu tabib itu pandai dan obat mahal dapat menyembuhkan seseorang, apa lagi menahan nyawanya di badan dan kalau memang sudah tiba saatnya nyawa itu harus kembali ke asalnya. Sekarang, katakanlah engkau kaya raya dan sehat badanmu, akan tetapi bagaimana kalau keluargamu yang sakit? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan dan percekcokan di dalam keluargamu? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan antara engkau dan tetanggamu, masyarakatmu? Bagaimana kalau harta bendamu dirampas orang, engkau terancam kehilangan harta bendamu? Bagaimana kalau usia tua menggerumutimu, dan kalau kematian datang menjemput?”
Siauw Cu tertegun. “Aih, kalau diingat tentang banyaknya persoalan dan kesulitan yang kita dapat hadapi sewaktu-waktu dalam hidup, memang harta benda nampak tidak ada artinya, lo- cian-pwe. Apakah kalau begitu kita tidak perlu dengan harta?”
“Ha-ha-ha, tentu saja kita memerlukan harta, Siauw Cu, karena harta merupakan satu di antara kepentingan kita untuk dapat hidup layak di dunia ini, bahkan untuk dapat hidup wajar dan menikmati hidup. Hanya satu di antaranya, bukan kepentingan tunggal. Ingat ini! Siapa yang hanya mementingkan harta, mengira bahwa harta merupakan satu-satunya kebutuhan kita dalam kehidupan ini, dia akan kecelik, bahkan menyesal. Hidup merupakan suatu keadaan yang memiliki banyak macam kebutuhan, di antaranya harta, kesehatan, kerukunan dalam keluarga, kerukunan dalam masyarakat, dan banyak lagi. Selama nafsu menguasai diri kita, maka kita akan selalu mengejar kesenangan, lupa akan kebutuhan yang lain sehingga terjadi pertentangan dalam batin sendiri karena banyaknya kebutuhan yang saling bertabrakan. Seperti halnya para pimpinan Hek I Kaipang, karena mereka hanya mementingkan harta, maka mereka lupa diri dan rela mengkhianati bangsa sendiri, menjadi penjilat penjajah Mongol dan mau memusuhi golongan dan bangsa sendiri.”
Siauw Cu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan kakek itu. “Apakah yang menyeleweng dalam Hek I Kaipang hanya pimpinannya, lo-cian-pwe?”
Pek Mau Lokai menoleh kepada tiga orang muridnya dan berkata, “Kalian beri gambaran yang jelas kepada Siauw Cu, tentang keadaan kita, tentang perjuangan kita, tentang keadaan pihak musuh. Aku ingin beristirahat,” katanya dan diapun memasuki gua itu ke bagian dalam di mana terdapat ruangan yang menjadi kamarnya.
Lee Ti, Pouw Sen, dan Kauw Bok, tiga orang ketua cabang itu, lalu memberi penjelasan kepada Siauw Cu yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian.
Dahulu, Hek I Kaipang merupakan rekan seperjuangan dari Hwa I Kaipang. Apalagi karena ketua Hek I Kaipang masih terhitung murid keponakan Pek Mau Lokai sendiri. Akan tetapi dua tahun yang lalu, ketua Hek I Kaipang itu gugur ketika bertempur melawan pasukan pemerintah dan semenjak itu, ketuanya yang baru membawa Hek I Kaipang menyeleweng dan menjadi antek pemerinta penjajah Mongol. “Ketua Hek I Kaipang semenjak dua tahun yang lalu bernama Coa Kun dan terkenal dengan julukan Twa-sin-to (Golok Besar Sakti). Dialah yang menguasai Hek I Kaipang dan sejak itu dia menjadi ketua dua tahun yang lalu, perkumpulan itu merajalela karena tidak dimusuhi pemerintah, bahkan menjadi sekutu atau anteknya. Ilmu kepandaian Coa-pangcu itu lihai, terutama sekali ilmu goloknya. Akan tetapi, selihai-lihainya, kami masih mampu menandinginya. Hanya ilmu kepandaian puterinya yang amat hebat. Bahkan Yen Yen sendiri pernah bentrok dengannya, dan Yen Yen nyaris celaka di tangan puteri Coa-pangcu yang bernama Coa Leng Si itu.”
Tiga orang itu melanjutkan penjelasan mereka. Sejak Hwa I Kaipang menjadi buronan pemerintah, tidak pernah ada lagi ada beberapa bentrokan langsung antara Hwa I Kaipang dan Hek I Kaipang, walaupun Hek I Kaipang selalu membantu pasukan pemerintah. Seperti telah dialami sendiri oleh Siauw Cu, ketika dia dan Pek Mau Lokai dikeroyok pasukan pemerintah, beberapa orang anggota Hek I Kaipang ikut pula mengeroyok. Karena menjadi antek pemerintah Mongol, tentu saja pimpinan Hek I Kaipang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer.
Demikianlah, Siauw Cu menerima penjelasan dari tiga orang ketua cabang sehingga dia tahu benar keadaan Hwa I Kaipang dan keadaan perjuangannya, juga keadaan kota Nan-king dan siapa-siapa yang dapat dianggap kawan seperjuangan, dan siapa lawan.
Setelah para pimpinan Hwa I Kaipang berkumpul makan malam dalam gua besar itu, mengelilingi meja rendah dan duduk di lantai, barulah Siauw Cu bertemu dengan Yen Yen. Gadis itu bersikap biasa saja, tersenyum dan mengangguk kepadanya seolah-olah mereka sudah lama menjadi rekan dan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Hanya kakeknya dan tiga orang ketua cabang itu yang diam-diam merasa geli karena mereka melihat perubahan besar pada diri gadis itu. Biasanya, Yen Yen berpenampilan sederhana, akan tetapi malam ini, dara itu mengenakan pakaian baru, rambutnya disisir rapi, dan terutama sekali kalau tadinya dia lincah jenaka dan galak, periang, kini mendadak saja ia menjadi pendiam.
Tawanya yang bisana meledak bebas itu kini lenyap dan yang berbekas dari kelincahan dan kejenakaannya hanya tinggal senyumnya yang manis itu! Mereka semua tahu bahwa perubahan ini tentu karena kehadiran Siauw Cu!
Setelah makan malam, mereka duduk bercakap-cakap, dan sekali ini dihadiri pula oleh Yen Yen. Dalam percakapan inilah Siauw Cu mengemukakan pendapat dan usulnya.
“Kukira, cara perjuangan kita harus diubah.”katanya. “Penyerangan terhadap pasukan pemerintah merupakan perbuatan berbahaya yang akan menjatuhkan korban di pihak kita. Kita perlu menghimpun tenaga dan bersatu dengan rakyat. Tanpa bantuan rakyat, perjuangan kita takkan mungkin berhasil. Sebaiknya kalau kita mulai dari dusun-dusun. Kita baru menyergap kalau ada pasukan kecil yang terpencil sehingga kita yakin bahwa tidak akan ada anggota kita yang menjadi korban. Penyerangan ke kota harus dihentikan dan tunggu kalau sampai kekuatan kita lebih besar dari pada pasukan keamanan, baru kita melalukan penyerangan. Dan terutama sekali, kita harus bersatu dengan kelompok pejuang lainnya.
Bahkan kalau mungkin, kita harus mendekati Hek I Kaipang dan membujuk agar mereka kembali ke jalan suci perjuangan menentang penjajah dan membebaskan rakyat dari penindasan.”
Pek Mau Lokai mengangguk-angguk. Pouw Sen, ketua tinggi kurus muka putih yang memimpin cabang di timur berkata dengan nada memrotes, “Akan tetapi, kalau kita menghentikan serbuan-serbuan kita, berarti perjuangan kita mundur. Kita harus selalu ganggu dan kacaukan kedamaian di kota agar pemerintah penjajah selalu terpukul karena hal ini akan melemahkan mereka dan akan mengingatkan mereka bahwa para pejuang takkan pernah berhenti menentang mereka!”
“Pouw-pangcu benar, akan tetapi perjuangan bukan berarti dengan nekat menyerang dan mati konyol, mengorbankan banyak teman. Apa hasilnya? Apa artinya membunuh beberapa orang perwira dan beberapa puluh atau ratus tentara penjajah? Mereka dapat memperoleh penggantinya dalam sehari, bahkan lebih banyak lagi. Kita harus bekerja dengan berencana, dengan siasat bagaimana agar dapat merugikan dan melemahkan musuh dengan korban sedikit mungkin di pihak kita,” kata Siauw Cu penuh semangat. “Kita harus mengikutsertakan rakyat sebanyak mungkin. Barulah perjuangan kita ada artinya dan lebih banyak harapan untuk dapat berhasil.”
“Aku setuju dengan pendapat Cu-sicu! Memang selama ini kita hanya mengandalkan keberanian saja tanpa menggunakan perhitungan. Buktinya, sudah banyak di andtara kita yang tewas, bahkan ayah ibuku sendiri tewas, akan tetapi apa hasilnya? Begini-begini saja, bahkan kita menjadi orang-orang buronan yang tidak berani tampil terang-terangan. Kalau tidak diubah siasat kita seperti yang diusulkan Cu-sicu, kita tidak akan mendapatkan kemajuan setapakpun, bahkan mundur,” kata Yen Yen penuh semangat pula, terang-terangan menyokong pendapat pemuda itu.
Pek Mau Lokai tersenyum. “Aihh, sekarang aku baru merasakan betapa aku sudah terlalu tua untuk perjuangan. Pendapat dan siasatku ketinggalan jaman! Memang benar pendapat Siauw Cu yang didukung oleh Yen Yen. Nah mulai hari ini, aku wakilkan kepemimpinanku kepada Yen Yen dan Siauw Cu yang menjadi pembantu dan pendampingnya. Aku hanya akan menjadi penasihat saja. Aku sudah terlalu tua dan kurang semangat, aku khawatir kalau kulanjutkan memimpin langsung, Hwa I Kaipang akan menjadi semakin lemah.”
Tiga orang ketua cabang tidak menentang keputusan itu karena merasa tua sudah melihat kelihaian Siauw Cu. Hanya diam-diam mereka meragukan kepemimpinan pemuda yang kurang pengalaman itu. Bagaimana pemuda itu akan mengatur untuk mendapatkan biaya bagi seluruh anggotanya yang semua berjumlah seribu orang lebih itu?
Semua anggota yang berkumpul di tempat itu, yaitu mereka yang oleh kelompok kecil masing-masing diangkat sebagai wakil dan jumlahnya di tempat itu tidak kurang dari seratus orang, dikumpulkan dan malam itu juga, Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, yaitu bahwa mulai malam itu, dia menunjuk cucunya, Tang Hui Yen mewakili dia sebagai ketua umum, sedangkan Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantu utama. Tiga orang ketua cabang masih tetap menjadi ketua cabang masing-masing. Bukit penuh gua itu akan segera ditinggalkan malam itu juga dan akan tetap menjadi tempat pertemuan berkala. Masing- masing kelompok harus memberitahu tempat persembunyian masing-masing kepada ketua
cabang yang berdekatan sehingga mudah mengadakan saling hubungan. Juga ketua dan kedua wakilnya akan selalu mengadakan kontak dengan tiga ketua cabang agar mereka dapat saling berhubungan. Ketika Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, Cu Goan Ciang yang berdiri dekat Yen Yen membisiki gadis itu yang mengangguk-angguk. Setelah kakeknya selesai dengan pengumumannya, ia lalu mengangkat kedua tangan minta perhatian.
“Ketiga paman, pangcu dari timur, barat, dan selatan, juga semua saudara yang mewakili kelompok masing-masing! Sebagai pimpinan yang ditunjuk dan mewakili ketua umum, kami membuat pengumuman dan peraturan pertama yang harus dilaksanakan oleh setiap orang anggota. Mulai sekarang, mengingat bahwa kita semua menjadi orang buronan, juga mengingat bahwa seringkali pihak musuh menyamar sebagai anggota kita dengan pakaian berkembang, maka kita semua harus meninggalkan kebiasaan mengenakan pakaian berkembang.”
Terdengar suara protes di sana-sini, bahkan tiga orang ketua cabang itupun tidak setuju.
“Lalu apa artinya nama perkumpulan kita Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) kalau kita tidak boleh mengenakan pakaian berkembang?” terdengar Pouw Sen, ketua cabang dari timur dan semua anggota mendukung pertanyaan ini.
“Kita tetap anggota Hwa I Kaipang! Itu adalah nama perkumpulan kita. Bukankah sekarangpun banyak anggota kita terpaksa tidak mengenakan pakaian berkembang agar tidak dikejar-kejar petugas keamanan? Maksudku bukan untuk menghapus nama perkumpulan kita, melainkan sementara ini, demi keselamatan kita tanggalkan dulu pakaian berkembang itu.
Siapa yang merasa sayang, boleh memakia pakaian berkembang sebelah dalam dan ditutup dengan pakaian biasa! Pula, yang penting bukan pakaiannya, melainkan semangatnya, bukan?”
“Akan tetapi, bagaimana kita dapat saling mengenal tanpa pakaian seperti itu?” bantah pula Kauw Bo ketua cabang selatan dan kembali semua anggota mendukung pertanyaan ini.
Yen Yen mengangkat kedua tangan dan semua orang diam mendengarkan. “Aku sudah memikirkan hal itu. Mulai sekarang, kita boleh mengenakan pakaian apa saja asal jangan tambal-tambalan dana berkembang seperti yang biasa kita pakai. Kita mengenakan pakaian biasa, polos akan tetapi harus ada sulaman setangkai bunga di baju kita, di bagian mana saja dari baju kita karena itu hanya merupakan tanda bagi sesama anggota. Atau boleh juga mengantungi setangkai bunga dan memperlihatkan bunga itu kepada sesama anggota sebagai tanda pengenal, ditambah lagi dengan cara penghormatan atau salam seperti ini.” Yen Yen memberi contoh, merangkap kedua tangan dikepal di depan dada seperti penghormatan biasa, akan tetapi begitu kedua tangan yang dikepal itu menempel di dada, tangan kiri yang tadinya mengepal tangan kanan itu dibuka atau dikembangkan jari-jarinya ke atas, lalu ditutup kembali.
“Nah, mengertikah kalian dan apakah masih ada keberatan lainnya?”