"Suhu, aku . . . sudah berhasil . . . ma . . . ri kita . . . tinggal. . . kan . . . tempat ini!" Terdengar teriakan Tao Heng Kan dengan gugup.
Pikiran I Giok Hong tergerak. Diam-diam dia berkata dalam hati. "Rupanya orang itu suhunya Tao Heng Kan. Tetapi entah siapa? Mengapa dia sanggup meringkus dirinya dengan demikian mudah?"
I Giok Hong berusaha memberontak. Tetapi bukan saja dia tidak sanggup melepaskan diri, bahkan tulang di pundaknya terasa seperti remuk saking sakitnya. Juga seperti meminta lawannya agar memperkeras cengkeramannya. Karena itu dia tidak berani sembarangan bergerak lagi.
Terdengar suara orang itu yang dingin dan menyeramkan. "Di dalam lembah Gin Hua kok ada tiga batang benda
pusaka. Dari mana asalnya?"
Nada suara Tao Heng Kan sendiri terdengar gemetar.
"A ... ku ti. . . dak tahu." Dari nada suaranya saja sudah dapat dipastikan bahwa dia belum pernah berbohong sebelumnya.
Orang itu mengeluarkan suara terkekeh-kekeh yang menggidikkan hati.
"Kemari dan tikam dia sampai mati!"
Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi tubuh I Giok Hong bergetar. Dari pembicaraan yang berlangsung antara Tao Heng Kan dan orang itu, dapat dipastikan bahwa pemuda itu jeri sekali terhadap gurunya. Sekarang orang itu justru menyuruhnya menikam I Giok Hong, kemungkinan dia akan menuruti perkataan gurunya itu.
Sungguh tidak disangka dirinya yang demikian cantik dan berilmu tinggi terpaksa harus menerima kematian di luar lembah Gin Hua kok yang merupakan tempat tinggalnya sendiri.
Setelah menunggu beberapa saat, belum juga terdengar Tao Heng Kan menuruti perkataan gurunya itu. Juga tidak terlihat bayangan pedang yang berkelebat menikam jantungnya. Sesaat kemudian, baru terdengar lagi suara Tao Heng Kan yang gemetar.
"Su . . . hu, a . . . ku ti . . . dak sang . . . gup." Diam-diam hati I Giok Hong merasa girang. Perasaannya menjadi agak lega. Walaupun dia mengerti, Tao Heng Kan mengatakan tidak sanggup membunuhnya, mungkin gurunya akan memaksakannya kembali. Atau kalau dia tetap menolak, gurunya pasti akan turun tangan sendiri. Meskipun akibatnya sama-sama mati, asal bukan Tao Heng Kan yang turun tangan melakukannya. Karena itu, hatinya merasa terhibur mendengar kata-kata pemuda itu. Pada dasarnya antara dia dengan Tao Heng Kan tadinya berhadapan sebagai musuh. Tetapi di saat yang demikian genting, ter-nyata Tao Heng Kan menyatakan tidak sampai hati membunuhnya. Apa maksud hati pemuda itu? Ten-tunya sudah dapat diduga. Justru karena ini pula I Giok Hong merasa terhibur.
Terdengar suara yang menyeramkan itu ber-tanya. "Mengapa kau tidak sanggup melakukannya?" "A ... ku sen
. . . diri ... ti ... dak tahu a... pa sebabnya," jawab Tao Heng Kan.
Orang itu mendengus dingin.
"Jadi semua yang kukatakan sudah kau lupakan?"
Suaranya begitu kaku tanpa kelembutan sedikit pun dan bagi orang yang mendengarnya pasti merasa menggidik dan menusuk gendang telinga. I Giok Hong berada di sampingnya, hatinya merasa tidak enak mendengar suara itu.
"Murid tidak berani melupakan perkataan yang pernah Suhu katakan."
"Kalau kau tidak melupakannya, mengapa kau belum turun tangan juga?" Tao Heng Kan menarik nafas panjang. I Giok Hong merasa bagian bawah ketiaknya agak dingin. Dia segera menundukkan kepalanya. Tampak sebatang pedang telah menekan jalan darah di bagian bawah ketiaknya. Ternyata rasa dingin itu terasa karena pedang itu telah mengoyak pakaian-nya dan ujung pedang telah menyentuh kulit tubuhnya. I Giok Hong menolehkan kepalanya kembali, tepat pada saat itu Tao Heng Kan juga sedang menatap kepadanya. Tampak wajah pemuda itu menyiratkan penderitaan yang tidak terkatakan. Pandangan matanya seperti kosong dan terpaku ke depan. Ketika dia melihat sinar mata I Giok Hong, tanpa dapat mempertahankan diri lagi tubuhnya bergetar. Kakinya menyurut mundur satu langkah.
Kelima jari tangannya mengendur. Pedang yang tadinya menekan di bawah ketiak I Giok Hong segera memperdengarkan suara Trang! dan terlepas jatuh di atas tanah.
Terdengar orang tadi meraung marah. Tiba-tiba tangannya melepas kemudian secepat kilat menotok jalan darah pada pundak I Giok Hong. Setelah itu terdengar suara plak! Plak! sebanyak dua kali. Tidak usah diragukan lagi tentu Tao Heng Kan kena ditempeleng oleh gurunya. Kemudian terdengar lagi dia membentak dengan suara marah.
"Coba ulangi kembali apa yang pernah kuajarkan!" Tao Heng Kan terdiam sejenak.
"Di bawah pedang ada perasaan, apa pun tidak dapat berhasil, apabila pedang tanpa perasaan, persoalan apa pun dapat diselesaikan," kata Tao Heng Kan.
"Kalau kau sudah tahu bahwa pedang yang tanpa perasaan baru bisa menyelesaikan semua persoalan, mengapa kau masih tidak menikamnya? Apakah kau akan membiarkan pedangmu berperasaan?" "Su . . . hu, a ... ku ... a ... ku," kata Tao Heng Kan dengan suara parau.
Tidak menunggu Tao Heng Kan menye¬lesaikan kata- katanya, terdengar orang itu men¬dengus marah.
"Cepat ambil pedang itu, jangan ucapkan kata-kata yang tidak ada gunanya!"
Pada saat itu jalan darah I Giok Hong sudah tertotok. Jelas tubuhnya tidak dapat bergerak. Karena itu dia hanya dapat mendengar pem-bicaraan antara Tao Heng Kan dengan gurunya, tetapi tidak dapat melihat gerak-gerik mereka. Dia tidak tahu apakah Tao Heng Kan menuruti perkataan gurunya mengambil pedang itu. Hatinya terasa berdebar-debar, perasaannya kacau balau. Dia juga merasa bingung karena tidak mengerti makna pembicaraan kedua orang itu.
Justru di saat dia tidak mengerti apa yang akan dialaminya, tiba-tiba dari belakang punggungnya terdengar suara angin berdesir seperti senjata tajam yang digerakkan di udara. Ketika mulai terdengar, suara itu seperti bergerak cepat sekali. Namun sesaat kemudian melemah dan dalam waktu yang bersamaan terdengar suara Tao Heng Kan yang mirip keluhan.
"Suhu, aku benar-benar tidak sanggup," ucap Tao Heng Kan.
"Kau pasti sanggup, bahkan kau tidak akan menikamnya dari belakang. Putarlah ke depannya dan tikam tepat di jantungnya. Inilah yang dinamakan pedang tanpa perasaan."
Baru saja perkataan orang itu selesai, I Giok Hong melihat Tao Heng Kan sudah berjalan dengan terhuyung-huyung ke depannya. Pemuda itu tidak memanggul Lie Cun Ju lagi. Entah kapan dia meletakkan pemuda itu. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang, tetapi pergelangan tangannya justru tampak gemetar terus. Kalau dilihat dari langkah kakinya yang limbung, tam-paknya pemuda itu berjalan ke depannya bukan atas kehendak dirinya sendiri. Tetapi didorong oleh gurunya.
Pada saat ini perasaan I Giok Hong bukan main tegangnya. Dia dapat mendengar bahwa orang itu tidak akan turun tangan sendiri, melainkan dia mengharuskan Tao Heng Kan yang melakukannya. Untuk mengokohkan prinsipnya yang entah 'Pedang tanpa perasaan semuanya dapat diselesaikan' apa tadi. Dengan kata lain, mati hidupnya tergantung pemuda itu sendiri.
Karena itu sepasang mata I Giok Hong yang indah menyorotkan sinar yang mengandung penderitaan menatap Tao Heng Kan lekat-Iekat. Tetapi ketika Tao Heng Kan berjalan ke arahnya, kepala pemuda itu sudah menunduk dalam-dalam. Dia tidak berani memandang sinar mata I Giok Hong.
"Kau masih belum turun tangan juga?" tanya guru itu lagi. Tiba-tiba Tao Heng Kan mendongakkan kepalanya.
Penderitaan yang tersirat di wajahnya sudah mencapai titik
puncaknya. Tetapi sekejap kemudian tampak tersirat keriangan di wajahnya, Meskipun kejadiannya hanya sekejap mata, tetapi I Giok Hong yang sejak tadi menatapnya sempat memperhatikan perubahan wajahnya itu.
Belum sempat I Giok Hong mengerti apa arti perubahan wajahnya tadi, tiba-tiba pergelangan tangan Tao Heng Kan bergerak. Sinar tajam berkilauan, ternyata pedang di tangan Tao Heng Kan sudah menusuk ke dalam jantungnya.
I Giok Hong bukan gadis sembarangan. Ilmu silatnya tinggi sekali. Ketika meiihat gerakan pedang Tao Heng Kan, dia segera sadar bahwa pemuda itu sudah mengambil keputusan yang bulat. Dia tidak mungkin menghunjamkan pedangnya setengah jalan atau tidak sampai hati lagi seperti sebelumnya.
Dalam waktu yang demikian singkat, I Giok Hong teringat perasaan hatinya yang berbunga-bunga ketika mendengar Tao Heng Kan mengata-kan tidak sampai hati membunuhnya. saat itu baru menyadari betapa bodohnya dia.