“Leng Coa sian sing, setelah menerima lencana ayahku ini, ternyata kau berani mengumbar lagakmu di lembah Gin Hua kok. Cepat pergi dari sini!”
Selembar wajah Leng Coa sian sing tampak merah padam bagai dilumuri darah. Perlahan – lahan dia mengundurkan diri. Sesampainya di mulut lembah, dia melongokkan kepalanya. Keadaan diluar lembah sunyi senyap. Tampaknya I KI Hu tidak mengiringi kepulangan putrinya I Giok Hong.
Ilmu kepandaian I Ki Hu sudah mencapai taraf yang demikian tinggi sehingga kadang – kadang kedatangan dan kepergiannya persis setan gentayangan yang tidak menimbulkan jejak dan suara sedikitpun. Kalau dilihat dari keadaan sekarag, tampaknya I Giok Hong memang hany seorang diri. Tetapi siapa tahu si Raja Iblis itu bersembunyi disuatu tempat dan belum mau menampakkan dirinya. Meskipun hati Leng Coa sian sing mendongkol sekali, tetapi apabila dia sampai bergebrak dengan I Giok Hong, ada kemungkina I Ki Hu bisa muncul setiap saat.
Keadaan itu seperti perjudian yang hanya memegang besar atau kecil. Hanya ada kemungkianan yang taruhannya bukan uang atau harta benda yang dapat dicari penggantinya, tapi nyawanya sendiri.
Karena itu Leng Coa sian sing termenung-menung beberapa saat. Akhirnya dia tidak berani berspekulasi. Dia melilitkan sebagian tubuh dan ekor 'cambuk kumala' ke lehernya. Tubuhnya berkelebat dan menghilang di luar lembah. Sebetulnya kakek Leng Coa sian sing tidak kembali ke Leng Coa ki (tempat tinggalnya). Dia hanya berlari ke tempat yang agak jauh kemudian kembali lagi dengan mengambil jalan memutar. Dia menyembunyikan dirinya di sekitar mulut lembah dan tidak berani masuk ke dalam.
Sejak kecil Leng Coa sian sing senang memelihara ular. Setnua kepandaian yang dimilikinya sekarang merupakan ilmu yang didapatkannya dengan meniru gerak gerik ular. Bahkan ilmu ginkangnya lain daripada yang lain. Dia dapat merayap di atas tanah dan pulang pergi seperti melayang di atas tanah dengan tubuh tiarap. Bahkan tidak menimbulkan suara sedikit pun. Meskipun di luar lembah Gin Hua kok terdapat banyak pasir, tempat yang dilaluinya tidak meninggalkan jejak kaki sedikit pun karena dia bukan berjalan tapi melata seperti ular.
Setelah Leng Coa sian sing meninggalkan tem¬pat itu, Seebun Jit baru bisa menghembuskan nafas lega. Dia mendongakkan kepalanya.
"Sio . . . cia, keda . . . tanganmu sung .. . gun tepat, se . . . hingga se . . . lembar nya . . . waku ini tertolong."
Sepasang alis I Giok Hong menjungkit ke atas, seakan ia sedang ada keperluan penting.
"Siok-siok, kemana bocah she Li itu?Cepat suruh dia keluar, ayahku ingin menemuinya," tukas I Giok Hong.
Hati Seebun Jit langsung tertegun. Dia mengeluh dalam hati.
Aku berkelahi melawan tiga iblis dad keluarga Lung dan Leng Coa sian sing mati-matian justru karena ingin mempertahankan Lie Cun Ju. Tetapi kalau dilihat dari sikap I Giok Hong yang kalang kabut ini, tampaknya 1 Ki Hu juga mengandung niat tidak baik.
Seebun Jit menarik nafas panjang. "Siocia, aku yang bersalah. Setelah kalian pergi tidak lama, datang tiga iblis dari keluarga Lung. Justru ketika aku sedang bertarung dengan sengit melawan mereka, ternyata bocah itu menggunakan kesempatan ini untuk meloloskan diri."
Meskipun dalam keadaan mendadak Seebun Jit mengarang cerita bohong, tetapi nada suaranya sedikit pun tidak meragukan. Namun I Giok Hong seorang gadis yang luar biasa cerdasnya. Setelah berpikir sejenak, dia mengeluarkan suara tertawa dingin.
"Siok-siok, kau sedang mendustai aku." "Siocia, masa hamba mempunyai nyali sebesar
itu? Dia . . . benar-benar sudah melarikan diri." Wajah I Giok Hong berubah menjadi angker.
“Seebun Jit, pada dasarnya kau musuh besar Gin Hoa Kok. Mengingat ilmu kepandaianmu yang tinggi, tia menahan kau disini. Justru karena hal itu aku tidak segan-segan memanggil kau siok-siok. Tetapi kalau kau bermaksud macam-macam, aku tidak akan membiarkannya,” katanya.
Ketika Seebun Jit bermaksud berdebat, I Giok Hong sudah mengayunkan pecutnya ke atas tanah kemudian membalikkan tubuh dan berjalan pergi. Seebun Jit segera menolehkan kepalanya. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya mengeluh celaka. Ternyata arah yang dituju I Giok Hong justru pintu batu tempat Lie Cun Ju disembunyikan.
Di depan goa batu itu memang telah diganjal dengan sebuah batu besar. Tapi Seebun Jit tahu I Giok Hong sejak kecil sudah dilatih oleh ayahnya sehingga meskipun usianya masih muda, kepandaiannya sudah tinggi sekali. Batu besar itu tentu tidak sanggup menghalangi niat gadis itu.
“Socia, tunggu dulu!” teriak Seebun Jit.
I Giok Hong menolehkan kepalanya sambil tertawa cekikikan. “Rupanya kau menyimpan pemuda itu di goa batu tempat tinggalmu,” katanya.
Seebun Jit langsung tertegun. Sekarang dia baru sadar bahwa bukan hanya kepandaiannya saja yang masih kalah dengan I Giok Hong. Bahkan kecerdasannya pun terpaut jauh. Sebetulnya I Giok Hong tidak tahu tempat Lie Cun Ju disembunyikan. Tetapi saking paniknya Seebu Jit berteriak, itu sama halnya dengan memberitahukan kepada I Giok Hong.
Akhirnya Seebun Jit hanya daoat menarik nafas panjang. Sekonyong-konyong, dia melompat bangun dengan tangan menumpu diatas tanah. Dia berdiri juga berjalan maju beberapa langkah kemudian bersandar pada batang pohon.
Tampak I Giok Hong sudah sampai di depan pintu batu. Pecut ditangannya diayunkan, Tar! Sekali gerak saja batu besar itu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti ledakan bom. Batu besar yang beratnya paling tidak dua-tiga ribu kati itu langsung terpental ke atas kemudian pecah berhamburan.
Pada saat itu, I Giok Hong sedang berdiri di depan pintu goa. Sekonyong – konyong batu besar yang mengganjal di depan pintu itu terpental ke atas dan pecah berhamburan. Gadis itu merasa ada serangkum angin yang kuat melanda kearahnya. Tetapi ia bahkan menerjang kedepan. Melihat keadaan yang membahayakan, Seebun Jit sampai mengeluarkan suara seruan terkejut.
Tetapi I Giok Hong sejak kecil memang sudah dilatih keras oleh ayahnya. Ilmu yang dimilikinya sesungguhnya tinggi sekali apabila mengingat usianya yang masih demikian muda. Tubuhnya berdiri tegak. Tangannya masih menggenggam pecut peraknya. Sedangkan tali pecut itu masih melilit batu besar tadi. Secepat kilat tangannya begerak mengayunkan pecut lalu ia sendiri menghindar ke samping sejauh beberapa tindak. Pintu batu itu langsung terbuka karena batu yang mengganjalnya sudah pecah berantakan.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat. Cahaya pedang herkilauan. Bahkan siapa sosok yang menerjang keluar itu, I Giok Hong masih belum sempat melihat dengan jelas. Tahu- tahu sinar pedang sudah melintas dan meluncur ke arah dadanya.
"Bagus sekali," bentak I Giok Hong. Saat itu juga dia menarik nafas kemudian menyurutkan dadanya ke belakang. Pedang itu masih terus mengincarnya. Bahkan begitu sampai di depannya tampak pedang itu dijungkitkan sedikit ke atas. Sret! Pakaian di dadanya langsung terkoyak sepanjang tiga cun. Wajah I Giok Hong yang cantik jelita langsung merah padam. Tanpa menunda waktu lagi dia segera mengayunkan pecutnya untuk melilit pedang panjang itu kemudian ditariknya sekuat tenaga.
Sosok yang menggenggam pedang itu dapat merasakan senjatanya terlilit oleh pecut lawan. Tentu saja dia tidak sudi membiarkannya, orang itu menghentakkan pergelangan tangannya ke belakang. Ternyata gerakan ini tidak menguntungkan pihak mana pun. Hati mereka sama-sama terkesiap. Gebrakan mereka terjadi secara spontan. Kedua orang itu saling tidak sempat memperhatikan siapa lawannya. Sampai saat itu, mata mereka baru bertemu pandang. Masing- masing mendongakkan kepalanya dan sama-sama tertegun.
Diam-diam I Giok Hong mengeluarkan seruan terkejut di dalam hatinya. Pemuda ini tampan sekali, pikirnya. Rupanya orang yang bergebrak dengannya adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puiuhan tahun dan mempunyai wajah tampan. Tetapi sikap pemuda itu tidak menunjukkan kegagahan, bahkan seperti orang yang sedang dilanda pukulan batin yang berat. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang dan kirinya memanggul seseorang. Orang itu adalah Lie Cun Ju yang menjadi incaran orang banyak. "Siapa kau?" bentak I Giok Hong.
Pemuda itu malah menarik nafas panjang.
"Kouwnio, harap kau membiarkan aku pergi, jangan bertanya apa pun!"
I Giok Hong tertegun mendengar jawabannya. Diam-diam dia memaki dalam hati.