Pergelangan tangan Leng Coa sian sing bergerak, ternyata dia melemparkan ular yang sebagian melilit di lehernya itu ke depan. Ular itu seperti seutas cambuk lemas yang meluncur mengincar pundak Seebun Jit.
Melihat sikap dirinya yang berlagak gagah tidak sanggup menggertak Leng Coa sian sing, diam-diam hati Seebun Jit tercekat. Ketika me-ngetahui Leng Coa sian sing menggunakan ularnya sebagai senjata, apalagi ular itu sedang meluncur kepadanya, cepat-cepat Seebun Jit membungkukkan tubuhnya sedikit sembari memaksakan dirinya sendiri menghimpun hawa murni dalam tubuh. Golok di tangannya segera diangkat ke atas. Tampak cahaya berkilauan saat golok itu menyambut tubuh ular yang sedang meluncur ke arahnya.
Leng Coa sian sing menghentakkan tubuh ular dari atas ke bawah. Jurus-jurus kedua orang itu dilakukan dengan kecepatan yang hampir tidak tertangkap oleh pandangan mata. Ujung golok bekelebat dan tepat mengenai tubuh ular itu.
Hati Seebun Jit merasa gembira melihat goloknya berhasil menebas tubuh ular itu. Dia yakin ketajaman goloknya pasti akan memutus tubuh binatang melata yang dijadikan senjata oleh Leng Coa sian sing. Diam-diam dia berpikir dalam hati, setelah ular itu terputus menjadi dua, dia baru menentukan kembali langkah berikutnya.
Ternyata perkembangannya justru di luar dugaan Seebun Jit. Meskipun ketika goloknya bergerak ke atas tepat mengenai tubuh ular itu, tetapi Seebun Jit merasakan bahwa tenaga dorongan ular itu besar sekali, menyebabkan kakinya terhuyung-huyung setengah tindak ke belakang. Dalam keadaan panik, dia sempat mendongakkan wajahnya melihat sekilas. Ternyata goloknya berada di bawah perut ular itu. Hatinya terkesiap setelah melihat tubuh ular tetap utuh. Bahkan ular itu makin bertambah marah. Ditekannya golok itu kuat-kuat. Tapi tekanan itu membuat kepala ular menjadi semakin menjulur ke depan dan menunduk mengincar jalan darah terpenting di ubun-ubun kepala Seebun Jit.
Bukan main rasa terkejut Seebun Jit saat itu. Cepat-cepat dia mengangkat cambuk di tangan kanannya, kemudian dilecutkannya ke atas sembari memiringkan kepalanya menghindari serangan ular. Tetapi dia terlambat juga, sehingga jalan darah di bagian samping kepalanya terpatuk juga oleh ular itu.
Seebun Jit merasa di bagian samping kepalanya laksana tertimpa besi yang berat. Bagian kepala sebelah mana pun merupakan tempat yang paling membahayakan apabila terbentur. Memang tidak separah ubun-ubun kepala, tapi tetap saja membawa pengaruh yang hebat.
Begitu kepalanya terpatuk mulut ular 'itu, Seebun Jit merasa telinganya berdengung. Matanya berkunang-kunang. Kakinya limbung. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai tujuh-delapan tindak baru dapat berdiri dengan mantap.
Luka yang diderita oleh Seebun Jit semakin parah. Meskipun dia tokoh kelas satu dari golongan hitam, tapi luka yang dideritanya membawa penga¬ruh hebat. Untung saja tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sehingga sesaat dia masih bisa mempertahankan diri. Sepasang matanya menatap ke arah Leng Coa sian sing lekat- lekat. Tampak Leng Coa sian sing tetap maju menghampirinya, Seebun Jit segera mengeluarkan suara bentakan. Baru saja dia ingin melancarkan serangan dengan tiba-tiba, untuk dapat meraih keuntungan di kala Leng Coa sian sing belum siap, tetapi tidak mendapatkan kesempatan sedikit pun.
Wajah Leng Coa sian sing mengembangkan senyuman yang licik. Kelima jari tangannya mengencang pada bagian ekor ular. Jelas saja ular itu kesakitan dan tiba-tiba menyentakkan kepalanya ke atas lalu diserudukkan ke bagian dada Seebun Jit.
Ular berbisa itu merupakan jenis yang langka. Warna kulitnya bertotol-totol hijau sehingga tam¬pak bagus sekali. Kulitnya keras sekali, bahkan merupakan ular yang kulitnya paling tebal dan keras di antara seluruh jenis ular yang ada di dunia ini. Karena itu pula, walaupun golok Seebun Jit sangat tajam, tetap saja tidak sanggup melukainya sedikit pun. Lagipula tenaga ular itu kuat sekali. Leng Coa sian sing menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengintai goa tempat bersemayam ular itu di daerah Cin Lam.
Baru kemudian berhasil menangkapnya. Begitu sayangnya Leng Coa sian sing kepada ular yang satu itu sehingga dia memandangnya sama berharganya dengan nyawanya sendiri. Dia memberi nama kepada ular itu dengan sebutan 'Cambuk kumala'. Mungkin karena warna kulitnya yang mirip dengan batu kumala. Justru dari nama yang diberikannya itu pula, Leng Coa sian sing mendapat ilham untuk menggunakannya sebagai senjata.
Kekuatan tenaga ular itu tidak kalah dengan seekor harimau ataupun singa. Begitu membentur dada Seebun Jit yang tidak sempat menghindarinya, kembali dia menderita luka parah. Seebun Jit langsung terkulai di atas tanah tanpa sanggup berdiri lagi.
Leng Coa sian sing mengeluarkan suara dengusan dan maju beberapa Iangkah. "Seebun Jit, tanyakan pada dirimu sendiri apakah kau masih sanggup menyambut jurus ketigaku?" bentaknya sinis.
Seebun Jit memaksakan diri untuk mengatur pernafasannya. Beberapa kali dia berusaha bangkit, tetapi karena luka yang dideritanya terlalu parah, tenaganya tidak ada sama sekali. Akhirnya dia tetap terkulai di atas tanah dengan sepasang mata menyiratkan kegusaran.
"Leng ... Coa . .. sian sing, mengapa ... jurus . . . keti . . . gamu . .. belum ... di ... lancarkan juga?"
"Bagus! Kau benar-benar tidak malu disebut seorang laki- Iaki sejati. Tetapi aku justru ingin melihat sampai di mana kekerasan hatimu."
Mendengar kata-katanya, Seebun Jit yakin Leng Coa sian sing tidak akan membunuhnya langsung. Mungkin dia akan menggunakan cara yang keji untuk menyiksanya. Pikirannya lalu tergerak, seandainya dia dapat menghadapi Leng Coa sian sing, tetap saja dia tidak bisa menghin-darkan diri dari tiga iblis keluarga Lung yang akan datang kemba'I. Lebih baik menggunakan kesempatan di saat jalan darahnya belum tertotok oleh lawan untuk memutuskan urat nadinya sendiri. Lagi pula mereka belum tentu dapat menemukan Lie Cun Ju yang disembunyikan di dalam ruangan batu. Dengan demikian dia tidak perlu menerima berbagai penderitaan sebelum terbunuh.
Setelah mengambil keputusan, Seebun Jit langsung bermaksud menggunakan sisa tenaganya untuk memutuskan seluruh urat nadi di tubuhnya untuk membunuh diri. Tiba-tiba dari luar lembah Gin Hua kok berkumandang suara derap kaki kuda. Baik Leng Coa sian sing maupun Seebun Jit adalah tokoh-tokoh yang bepengetahuan luas. Begitu mendengar suara derap kaki kuda, mereka langsung sadar bahwa tujuan orang itu pasti Gin Hua kok. Tanpa dapat ditahan lagi keduanya jadi tertegun.
Di saat keduanya masih termangu-mangu, suara derap kaki kuda itu sudah semakin mendekat. Kemudian tampak sesosok bayangan berkelebat, orang yang menunggang kuda itu sudah sampai di mulut lembah Gin Hua kok.
Serentak Leng Coa sian sing dan Seebun Jit menolehkan kepalanya ke arah mulut lembah. Mereka melihat seekor kuda yang bersih mulus berwarna putih keperak-perakan dengan seorang gadis yang memegang pecut berwarna sama melaju datang secepat kilat. Orang ini bukan siapa-siapa, tetapi putri si Raja Iblis I Ki Hu yaitu I Giok Hong.
Begitu melihat I Giok Hong, hati Leng Coa sian sing berkebat-kebit. Dia khawatir I Ki Hu juga menyusul dibelakang. Begitu terkejutnya kakek itu, sehingga kakinya menyurut mundur satu langkah.
I Giok Hong hanya berhenti sebentar di depan lembah. Kemudian mengayunkan pecutnya dan melesat datang. Gerakan pecutnya demikian lemah seakan tidak mengandung tenaga sedikitpun. Secepat kilat melayang kearah Leng Coa Sian Sing. Manusia pecinta ular itu menghindarkan dirinya dengan panik. Gerakan pecut I Giok Hong yang tampaknya lemah itu justru berkelebat bagai cahaya kilat.
Trak!!
Tahu-tahu lencana ditangan Leng Coa sian sing sudah terbelit oleh pecutnya dan melayang kembali kearah I Giok Hong.
Wajah Leng Coa sian sing langsung berubah hebat.Kakinya terhuyung – huyung mundur beberapa tindak. “I ....... kouwnio, lencana i ........ tu kau sendiri yang memberikannya kepadaku. Mengapa sekarang kau mengam
........ bilnya kembali?” kata Leng Coa sian sing gugup.
I Giok Hong mendengus dingin. Lencana itu dimasukkan kedalam saku pakaiannya kemudian pecutnya diayunkan kembali.
“Leng Coa sian sing, setelah menerima lencana ayahku ini, ternyata kau berani mengumbar lagakmu di lembah Gin Hua kok. Cepat pergi dari sini!”
Selembar wajah Leng Coa sian sing tampak merah padam bagai dilumuri darah. Perlahan – lahan dia mengundurkan diri. Sesampainya di mulut lembah, dia melongokkan kepalanya. Keadaan diluar lembah sunyi senyap. Tampaknya I KI Hu tidak mengiringi kepulangan putrinya I Giok Hong.
Ilmu kepandaian I Ki Hu sudah mencapai taraf yang demikian tinggi sehingga kadang – kadang kedatangan dan kepergiannya persis setan gentayangan yang tidak menimbulkan jejak dan suara sedikitpun. Kalau dilihat dari keadaan sekarag, tampaknya I Giok Hong memang hany seorang diri. Tetapi siapa tahu si Raja Iblis itu bersembunyi disuatu tempat dan belum mau menampakkan dirinya. Meskipun hati Leng Coa sian sing mendongkol sekali, tetapi apabila dia sampai bergebrak dengan I Giok Hong, ada kemungkina I Ki Hu bisa muncul setiap saat.
Keadaan itu seperti perjudian yang hanya memegang besar atau kecil. Hanya ada kemungkianan yang taruhannya bukan uang atau harta benda yang dapat dicari penggantinya, tapi nyawanya sendiri.
Karena itu Leng Coa sian sing termenung-menung beberapa saat. Akhirnya dia tidak berani berspekulasi. Dia melilitkan sebagian tubuh dan ekor 'cambuk kumala' ke lehernya. Tubuhnya berkelebat dan menghilang di luar lembah. Sebetulnya kakek Leng Coa sian sing tidak kembali ke Leng Coa ki (tempat tinggalnya). Dia hanya berlari ke tempat yang agak jauh kemudian kembali lagi dengan mengambil jalan memutar. Dia menyembunyikan dirinya di sekitar mulut lembah dan tidak berani masuk ke dalam.
Sejak kecil Leng Coa sian sing senang memelihara ular. Setnua kepandaian yang dimilikinya sekarang merupakan ilmu yang didapatkannya dengan meniru gerak gerik ular. Bahkan ilmu ginkangnya lain daripada yang lain. Dia dapat merayap di atas tanah dan pulang pergi seperti melayang di atas tanah dengan tubuh tiarap. Bahkan tidak menimbulkan suara sedikit pun. Meskipun di luar lembah Gin Hua kok terdapat banyak pasir, tempat yang dilaluinya tidak meninggalkan jejak kaki sedikit pun karena dia bukan berjalan tapi melata seperti ular.
Setelah Leng Coa sian sing meninggalkan tem¬pat itu, Seebun Jit baru bisa menghembuskan nafas lega. Dia mendongakkan kepalanya.
"Sio . . . cia, keda . . . tanganmu sung .. . gun tepat, se . . . hingga se . . . lembar nya . . . waku ini tertolong."
Sepasang alis I Giok Hong menjungkit ke atas, seakan ia sedang ada keperluan penting.
"Siok-siok, kemana bocah she Li itu?Cepat suruh dia keluar, ayahku ingin menemuinya," tukas I Giok Hong.
Hati Seebun Jit langsung tertegun. Dia mengeluh dalam hati.
Aku berkelahi melawan tiga iblis dad keluarga Lung dan Leng Coa sian sing mati-matian justru karena ingin mempertahankan Lie Cun Ju. Tetapi kalau dilihat dari sikap I Giok Hong yang kalang kabut ini, tampaknya 1 Ki Hu juga mengandung niat tidak baik.