Pendekar Pemabuk Chapter 50

NIC

“Jahanam!” kata Kui Hwa yang berdarah panas dan tubuhnya segera berkelebat dan lenyap dari hadapan kedua saudara Pang itu, karena pendekar wanita ini telah melompat keluar. Tak lama kemudian terdengar bunyi gaduh di luar dan muncullah Kui Hwa kembali sambil menyeret leher baju seorang laki-laki. Ia melemparkan tubuh orang itu ke depan Pang Gun dan Pang Sin Lan sambil bertanya,

“Inilah tikus yang mengikuti kalian?”

Pang Gun dan Pang Sin Lan memandang dengan kagum dan menganggukkan kepalanya, sedangkan orang itu dengan tubuhnya menggigil minta ampun dan berkata, “Ampunkan siauw-jin (hamba yang rendah) sama sekali siauw-jin tidak berani mengintai Pang kongcu

dan Pang siocia ” Kui Hwa menggerakkan kakinya dan tubuh orang itu tertendang sampai terguling-guling dan mengaduh-aduh. “Bangsat hina. Kau bilang tidak mengintai akan tetapi dari mana kau tahu bahwa mereka ini adalah Pang kongcu dan Pang siocia?”

Orang itu menginsafi kekeliruannya yang tidak sengaja membuka rahasianya sendiri, maka ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala minta ampun.

“Siapa yang menyuruhmu? Hayo lekas memberitahu!” bentak Tin Eng.

“Hamba ... hamba disuruh oleh ..... Hek-i-pangcu Song Bu Cu diharuskan mengikuti dan

menjaga kedua kongcu dan siocia ini Ampun, lihiap, hamba hanya pesuruh belaka.”

Terkejutlah hati Tin Eng dan Kui Hwa mendengar jawaban ini. Bagaimana Hek-i-pang sudah ikut campur pula dalam urusan ini?

“Jangan kau membohong!” Pang Gun membentak, dan memandang tajam. “Bukankah Pangeran Ong yang memerintahmu?”

“Memang tadinya datang orang pesuruh Pangeran Ong yang minta tolong kepada Hek-i- pangcu dan akulah yang ditunjuk oleh pangcu untuk mengikuti ji-wi di kota ini,” menerangkan orang itu.

Mengertilah Tin Eng dan Kui Hwa bahwa Pangeran Ong itu ternyata telah pula kenal dan berhubungan dengan Hek-i-pang. Tak mereka sangka bahwa pengaruh Hek-i-pang demikian besarnya sehingga dikenal pula oleh seorang Pangeran.

“Nah, kau pergilah dan awas, jangan kau berani memperlihatkan mukamu lagi. Pedangku takkan memberi ampun!” kata Kui Hwa dan orang itu lalu berlari keluar dengan ketakutan.

“Cici, bagaimana kau bisa menangkapnya demikian cepat?” tanya Tin Eng kepada Kui Hwa sambil tertawa.

“Kebetulan saja,” jawab Kui Hwa sedangkan kedua kakak beradik Pang memandang kepada Dewi Tangan Maut dengan penuh kekaguman. “Ketika aku mendengar penuturan Pang kongcu bahwa mereka selalu diikuti orang, aku menduga bahwa sekarang juga tentu ada orang yang mengikuti mereka ini dan tentu pengintai itu berada di luar tembok. Begitu aku melompat keluar, aku lalu berseru keras. ‘Hai, pengintai kedua saudara Pang! Kau masih berani bersembunyi di situ?’ Dan ternyata akalku ini berhasil karena kulihat seorang laki-laki mencuri dengar dari balik tembok muncul dan hendak melarikan diri akan tetapi aku keburu datang dan membekuknya!”

Pang Gun memandang kagum dan berseru. “Akan tetapi para pengawas kami itu biasanya memiliki ilmu silat tinggi!”

Tin Eng tersenyum. “Mungkin bagimu ia berilmu tinggi, akan tetapi bagi Dewi Tangan Maut, ia hanya merupakan seekor tikus kecil belaka. Sekarang ceritakanlah maksud kalian.

Pertolongan apakah yang hendak kalian minta?”

“Tak lain kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap mewakili kami untuk mengambil harta pusaka itu. Kami adalah orang-orang lemah yang tak berdaya dan kalau kami berdua yang pergi, tentu kami akan diganggu oleh Pangeran Ong dan kaki tangannya. Andaikata kami berhasil mendapatkan harta pusaka itu, juga sukar bagi kami untuk membawanya pulang dengan selamat. Maka kami mengambil keputusan untuk mencari seorang berilmu tinggi dan boleh dipercaya. Dan kini pilihan kami terjatuh pada lihiap. Maaf lihiap, bukan sekali-kali maksud kami hendak menyuruh lihiap demi kepentingan kami, akan tetapi sesungguhnya kami hendak menyerahkan rahasia peta itu kepada lihiap. Adapun apabila kelak lihiap berhasil mendapatkan harta pusaka itu, terserah kepada kebijaksanaan lihiap untuk memberi bagian kepada kami berdua, karena kamipun bukanlah orang-orang temaha akan harta benda yang banyak sekali. Bagiku, cukuplah kiranya asal aku dapat membeli rumah dan pakaian sekedarnya untuk adikku ini ...”

Setelah berkata demikian, Pang Gun memandang kepada adiknya dengan mata mengalirkan air mata, dan adiknya lalu memegang tangan kakaknya sambil berkata, “Engko Gun, kau terlalu memikirkan aku. Aku bukanlah seorang adik yang manja!”

Melihat sikap kedua kakak beradik yang telah yatim piatu dan telah jatuh miskin itu, mau tidak mau tergeraklah hati Tin Eng dan Kui Hwa. Tin Eng berpikir sebentar. Rahasia harta pusaka itu menarik perhatiannya, bukan karena ia ingin memperoleh harta benda, sama sekali bukan, karena dia sendiri adalah seorang anak pembesar hartawan, bahkan pamannya sendiri juga cukup kaya.

Akan tetapi yang menarik perhatiannya ialah rahasia itu sendiri, dan bahaya-bahaya yang mengintai dalam usaha mendapatkan harta pusaka itu! Pula, ia merasa kasihan kepada Pang Gun dan Pang Sin Lan dan ingin sekali dapat menolong mereka.

“Baiklah,” jawabnya kemudian, “Kalian boleh percayakan peta itu kepadaku. Akan tetapi, aku hanya akan mencoba melanjutkan usaha kalian ini dan jangan sekali-kali kalian pastikan bahwa aku akan berhasil mendapatkannya. Dan akupun tidak mau pergi sendiri, kalau cici Kui Hwa suka pergi bersama, baru aku mau pergi pula.”

“Kalau mereka ini percaya kepadaku, tentu saja aku akan senang sekali pergi bersamamu, adik Tin Eng.”

Bukan main girangnya hati Pang Gun dan Pang Sin Lan. Mereka kembali menjatuhkan diri berlutut, kini kepada Tin Eng dan Kui Hwa.

“Kalau ji-wi lihiap yang gagah perkasa mau pergi bersama, kami yakin usaha ini akan berhasil dan pesan mendiang ayah kami takkan tersia-sia.”

Tin Eng dan Kui Hwa minta supaya bangun lagi, kemudian Pang Gun minta sehelai kain putih dan alat tulis. Tin Eng mengeluarkan sehelai sapu tangannya yang berwarna kuning dan di atas sapu tangannya itulah Pang Gun lalu melukiskan peta yang telah dihafal di luar kepala itu, dibantu oleh Pang Sin Lan. Peta itu jelas sekali, tidak saja disebutkan di mana letaknya gunung Hong-san dan Gua Kilin, akan tetapi juga disebutkan rahasia tempat harta pusaka di dalam gua itu.

Setelah memberi penjelasan, kedua kakak beradik she Pang itu lalu berpamit untuk kembali ke dusunnya sebelah selatan kota raja. Kini mereka tidak merasa takut dan gelisah lagi. Tak khawatirkan lagi segala pengintaian kaki tangan Pangeran Ong. Mereka tidak memegang rahasia lagi. Rahasia itu telah diserahkan kepada orang lain. Berada di tangan dua orang pendekar wanita yang gagah perkasa! Apa yang mereka takuti lagi?

“Pangeran Ong boleh mengikuti kita terus selama hidup,” Pang Gun berkata kepada adiknya sambil tertawa. “Untuk kita tidak ada ruginya, bahkan gagah sekali ke mana-mana ada yang mengawal dan menjaga keselamatan kita! Ha ha ha!”

Juga Pang Sin Lan menertawakan Pangeran itu. Tentu saja para pengintai yang ditugaskan untuk mengikuti mereka menjadi heran melihat betapa kedua anak muda itu kini kembali ke tempat tinggal mereka dalam keadaan demikian gembira!

Pangeran Ong Kiat Bo yang diberi laporan tentang hal ini juga merasa heran dan curiga, maka ia lalu mengunjungi rumah kedua keponakannya yang keras kepala itu. Ia masih merindukan Pang Sin Lan akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu dengan kekerasan. Karena ia maklum bahwa kedua orang muda ini mempunyai banyak kenalan di antara orang-orang besar. Dan kalau saja ia menggunakan kekerasan terhadap gadis yang jelita ini, tentu namanya akan tercemar.

Pang Gun dan Pang Sin Lan menyambut Ong Kiat Bo dengan sikap dingin sekali, sungguhpun sebagai keturunan bangsawan mereka tidak melupakan peradatan dan menjura dengan hormat kepada Pangeran itu.

“Eh, kalian pergi ke mana sajakah hampir sebulan ini?” tanyanya dengan nada suara penuh perhatian sebagaimana layaknya seorang yang mencintai sanak keluarga.

“Ong-ya sudah tahu mengapa masih bertanya lagi?” balas Pang Gun dengan suara mengejek. Memang kedua kakak beradik ini tidak mau menyebut siok-hu (paman) kepada adik misan ayah mereka ini dan selalu menyebut Ong-ya atau tuan Ong sebagaimana para pelayan menyebutnya karena kedua saudara Pang ini tidak sudi menganggapnya sebagai paman.

Sebaliknya Ong Kiat Bo lebih senang disebut seperti itu, karena ia akan merasa kurang enak apabila ia disebut ‘paman’ oleh Pang Sin Lan, gadis yang dirindukannya itu.

“Hmm, memang aku mendengar dari kenalan-kenalan di Hun-lam bahwa kalian pergi ke Hun-lam,” kata Pangeran itu dengan berani karena merasa takkan ada gunanya apabila ia berpura-pura tidak tahu.”Mengapa kalian begitu keras kepala dan tidak mau ikut aku ke kota raja kembali?”

Ia melihat ke sekelilingnya. Rumah yang ditinggali oleh kedua kakak beradik itu adalah rumah kampung yang kecil lagi buruk, perabot rumahnya juga sederhana sekali. “Tak pantas kalian tinggal di tempat seperti ini, memalukan aku saja! Lebih baik kalian tinggal bersamaku di kota raja dan hidup sebagai keturunan bangsawan.”

“Aku seribu kali lebih senang tinggal di tempat yang buruk ini bersama kakakku dari pada tinggal di gedung besar orang lain!” Tiba-tiba Sin Lan berkata sambil merengut. Akan tetapi dalam pandangan mata Ong Kiat Bo, wajah gadis itu tambah cantik kalau sedang marah- marah.

“Gun-ji (anak Gun),” kata pula Pangeran Ong dengan suara membujuk kepada Pang Gun. “Kau tahu bahwa kau dan adikmu takkan mungkin dapat mencari harta pusaka itu, maka mengapa kau begitu berkepala batu? Berikanlah peta itu kepadaku dan aku akan mengerahkan orang-orangku mencari untuk kalian berdua. Aku sudah cukup kaya raya, untuk apakah harta itu bagiku? Aku hanya ingin menolong kalian berdua, lain tidak. Kalau kalian ragu-ragu aku boleh bersumpah dalam kelenteng bahwa setelah dapat diketemukan, harta pusaka itu akan kuberikan kepada kalian berdua.”

“Peta itu sudah tidak ada lagi, Ong-ya,” jawab Pang Gun. “Hmmm, berkali-kali kau berkata demikian. Aku tidak percaya!” “Percaya atau tidak adalah soalmu sendiri, Ong-ya.”

“Pang Gun, jangan kau main-main. Kau di Hun-lam mengunjungi Sian-kiam Lihiap ada keperluan apakah?” Sepasang mata Pangeran Ong memandang tajam dan menyelidik.

Posting Komentar