Pendekar Pemabuk Chapter 49

NIC

Pada saat itu juga, Tin Eng telah membalikkan tubuh dan sebelum gadis cilik itu sempat menyerang lagi, ia telah mendesak maju, menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah muka gadis itu yang menjadi terkejut sekali dan miringkan kepala untuk mengelak. Akan tetapi ternyata bahwa serangan ini hanyalah gertakan saja, karena sebenarnya yang dikendaki oleh Tin Eng hanya untuk mengacaukan pandang mata lawannya dan ketika lawannya miringkan muka, tahu-tahu pedang di tangan lawannya telah kena dirampas dan kini pindah ke dalam tangannya.

Tin Eng sambil tersenyum melompat ke dekat Kui Hwa dan berkata, “Cukup, cukup ....

kepandaian kalian tidak jelek hanya kurang latihan dan pengalaman!”

Bukan main terkejutnya hati kedua orang muda itu ketika melihat betapa tanpa terduga lebih dahulu, pedang mereka telah dapat dirampas dan dipukul jatuh. Mereka saling pandang dengan mata penuh arti, kemudian tiba-tiba mereka menghampiri Tin Eng dan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu.

Tentu saja hal ini membuat Tin Eng menjadi gelagapan dan gugup sekali.

“Eh, eh apa-apaankah kalian ini? Kalau kalian bermaksud mengangkat guru kepadaku,

jangan harap! Aku masih belum begitu tua untuk mengambil murid. Juga kepandaianku masih terlampau rendah!”

“Hmm, Hmm, mereka ini benar-benar mencurigakan. Hayo kalian katakan terus terang saja. Sebenarnya apakah kehendak kalian mengganggu Sian-kiam Lihiap?” tegur Kui Hwa yang tidak suka melihat segala macam kelakukan yang berahasia ini.

“Sian-kiam Lihiap, harap jangan salah mengerti. Bukan maksud kami untuk mengangkat guru, sungguhpun hal itu akan mendatangkan kebahagiaan bagi kami yang bodoh. Akan tetapi

.... kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap menolong kami, anak-anak yang amat sengsara ini ”

Setelah berkata demikian, gadis cilik itu lalu menangis.

Tentu saja Tin Eng makin terheran-heran mendengar ini dan ia memandang kepada Kui Hwa yang mengerutkan keningnya. Tin Eng segera mengangkat bangun gadis itu sambil berkata, “Tenanglah adik yang manis dan ceritakanlah dengan jelas semua maksudmu!”

Ia membelai rambut yang halus itu dan diam-diam dia merasa makin heran karena melihat sikap dan keadaannya, gadis cilik dan kakaknya ini bukanlah orang sembarangan. Kata-kata mereka diucapkan dalam bahasa yang baik dan sopan sebagaimana biasa diucapkan oleh orang-orang terpelajar. Pakaian mereka juga indah dan terbuat dari pada bahan yang halus, sedangkan sedangkan kulit muka mereka halus dan bersih, semua menunjukkan perawatan yang teliti. Siapakah mereka ini?

Gadis cilik itu ketika mendengar betapa Tin Eng menyebutnya adik yang manis, berubah sikapnya. Ia memeluk Tin Eng dan berkata,

“Cici yang gagah, selain kau agaknyatidak ada orang lain yang akan dapat menolong aku dan kakakku ini. Sebetulnya kami berdua ” tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya dan

mengerling kepada Kui Hwa. “Cici, siapakah kawanmu ini? Kalau boleh, aku ingin bicara dengan kau sendiri saja!”

Tin Eng tersenyum sedangkan Kui Hwa bermerah muka. “Jangan kau pandang rendah nona ini. Dia adalah Tan Kui Hwa yang disebut Dewi Tangan Maut! Biarpun ia berjulukan seram dan nampaknya galak, akan tetapi dia adalah seorang pendekar wanita yang kegagahannya jauh di atasku!”

Mendengar disebutnya nama yang amat terkenal ini, kedua orang muda itu menjadi pucat dan segera menghampiri Kui Hwa dan menjura.

“Tan-lihiap, mohon maaf sebanyaknya bahwa mata kami kakak beradik seakan-akan buta tidak melihat gunung Tai-san menjulang di depan mata!” kata pemuda tanggung itu.

Kui Hwa tersenyum menyindir. “Sudahlah tak perlu banyak peradatan ini. Lebih baik kalian segera menceritakan segala hal kepada Tin Eng dan aku, karena apa yang boleh diketahui oleh Tin Eng, boleh pula kuketahui, demikian sebaliknya. Sikap yang diliputi rahasia dan sembunyi-sembunyi, bukanlah sikap orang-orang gagah. Kalau tidak ada kepentingan lain, lebih baik kalian segera pergi saja, jangan mengganggu aku dan kawanku ini bercakap- cakap.”

Setelah mengetahui bahwa gadis yang nampaknya galak itu adalah pendekar wanita yang namanya telah terkenal sebagai pembasmi penjahat itu, kedua anak muda ini tak lagi merasa ragu-ragu untuk menceritakan riwayat mereka.

DUA orang anak muda itu sebetulnya adalah anak-anak seorang Pangeran di kota raja, yakni mendiang Pangeran Pang Thian Ong yang kaya raya. Hanya dua orang itulah anak Pangeran Pang, yang laki-laki bernama Pang Gun, sedangkan adiknya bernama Pang Sin Lan.

Ketika masih hidup, Pangeran Pang amat gemar berjudi dengan taruhan besar sehingga harta bendanya yang amat besar itu hampir habis. Ia banyak berhutang uang dari adik misannya yakni Pangeran Ong Kiat Bo, yang selain sering memberi hutang uang, juga menjadi kawan- kawan judi yang paling baik. Baik nyonya Pang maupun kedua anaknya, amat benci kepada Pangeran Ong ini karena mereka menganggap bahwa yang membawa Pangeran Pang ke jalan sesat adalah adik misan ini.

Karena seringkali bermain judi sampai beberapa malam tidak tidur, kesehatan Pangeran Pang makin lama makin buruk sehingga akhirnya setelah harta bendanya hampir habis dikorbankan di meja judi, ia jatuh sakit yang membawanya kembali ke tempat asal. Ia tidak meninggalkan banyak harta. Bahkan meninggalkan hutang yang cukup besar kepada Pangeran Ong Kiat Bo.

Akan tetapi, diam-diam secara rahasia, ia meninggalkan warisan yang aneh kepada Pang Gun dan Pang Sin Lan yang diberikan tanpa diketahui oleh orang lain sebelum Pangeran itu meninggal dunia. Warisan ini hanya sehelai kain kuning yang mengandung sebuah lukisan peta.

“Anak-anakku,” kata Pangeran Pang sebelum menghembuskan napas terakhir, sambil memberikan peta itu kepada anaknya. “Ayahmu telah berlaku sesat dan mata gelap sehingga harta benda kita habis kupakai bermain judi. Kalian berhati-hatilah terhadap Ong Kiat Bo, baru sekarang aku tahu bahwa selama ini ia bermain curang. Bahkan ia sengaja menjerumuskan uangku dengan bantuan kawan-kawannya di meja judi! Akan tetapi, jangan kalian khawatir, peta ini adalah petunjuk tempat penyimpanan harta benda yang amat besar, di gunung Hong-san. Di sana terdapat sebuah gua yang disebut gua Kilin, dan di situlah letaknya harta benda yang tersimpan. Kalian cari dan ambillah harta itu dan hiduplah dengan tenteram. Jaga ibumu baik-baik!”

Setelah Pangeran Pang meninggal dunia, maka mulailah Ong Kiat Bo memperlihatkan maksud jahatnya. Pangeran Ong ini yang usianya telah empat puluh tahun lebih, dengan berani sekali mengajukan pinangan terhadap diri Pang Sin Lan. Tentu saja pinangan itu ditolak keras oleh nyonya Pang sehingga Pangeran Ong Kiat Bo menjadi marah dan lalu menagih hutang yang bertumpuk-tumpuk dari mendiang Pangeran Pang, dengan ancaman bahwa kalau tidak segera dibayar, maka hal itu akan diajukan ke muka pengadilan agung.

Tentu saja nyonya Pang menjadi gelisah sekali. Oleh karena kalau hal itu dilakukan oleh Pangeran Ong, berarti bahwa nama keluarga Pang akan menjadi rusak dan ternoda. Maka mulailah penjualan sisa barang-barang yang masih ada. Bahkan gedungnya pun dijual murah- murahan untuk dapat membayar hutang itu.

Hutang dapat dibayar lunas, akan tetapi keluarga Pang menjadi rudin dan melarat betul-betul. Mereka lalu berpindah ke sebuah dusun tak jauh dari kota raja. Nyonya Pang amat menderita dengan adanya peristiwa ini sehingga jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama kemudian, menyusul suaminya.

Kemudian ternyata bahwa rahasia peta itu dapat diketahui juga oleh Pangeran Ong Kiat Bo, karena semenjak Pangeran Pang hidup, Ong Kiat Bo telah tahu bahwa kakak misannya ini diam-diam memiliki sebuah rahasia tentang tempat harta pusaka yang amat besar. Ia dapat menduga bahwa rahasia itu tentu diwariskan kepada dua anak muda itu.

Berkali-kali ia mendatangi Pang Gun dan Pang Sin Lan dan membujuk-bujuk mereka untuk menjual peta itu dengan harga tinggi. Bahkan ia menjanjikan pangkat dan kedudukan tinggi untuk Pang Gun dan sebuah gedung baru untuk kedua orang keponakannya itu. Akan tetapi Pang Gun dan Pang Sin Lan tetap tidak mau memperdulikan orang yang berhati jahat itu. Bahkan mereka berdua lalu mempelajari ilmu silat dari kepala hwesio di sebuah kelenteng, untuk digunakan sebagai penjagaan diri dan juga sebagai persiapan mereka untuk pergi mencari harta pusaka itu.

Ong Kiat Bo yang merasa penasaran sekali, mempergunakan segala daya upaya untuk dapat merampas peta itu. Bahkan orang ini tak segan-segan untuk menyuruh seorang pencuri yang berkepandaian tinggi untuk pada suatu malam memasuki kamar kedua orang itu dan menggeledah seluruh milik mereka.

Akan tetapi hasilnya nihil sehingga membuat Pangeran Ong itu menjadi makin mendongkol dan penasaran. Ia tidak mau mencelakakan kedua orang itu karena kalau mereka sampai terbunuh, siapa lagi yang dapat menjadi petunjuk jalan kepada harta pusaka itu?

Pangeran Ong tentu tak pernah menduga bahwa peta itu sebenarnya telah dibakar oleh Pang Gun dan adiknya, setelah mereka menghafal lukisan peta itu di luar kepala. Dan karena menduga bahwa peta itu disimpan dengan amat baiknya oleh kedua saudara itu, dan ia tak berdaya lagi untuk merampasnya. Ia lalu merobah siasatnya dan sekarang ia mengutus orang untuk mengikuti dan mengawasi setiap gerak-gerik kedua saudara itu.

Hal ini diketahui pula oleh Pang Gun dan Pang Sin Lan, akan tetapi apakah daya mereka? Dengan giat mereka berlatih silat. Akan tetapi ketika mereka dengan marah menyerang orang yang ditugaskan untuk mengintai mereka, ternyata bahwa mereka masih belum cukup tangguh dan bahkan kena dipukul matang biru!

“Demikianlah, cici!” kata Pang Sin Lan menutup ceritanya. “Kami berdua tak dapat berdaya dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk pergi mencari harta pusaka itu. Maka kami lalu mengambil keputusan dan melarikan diri dari kota raja dari tempat tinggal kami, pergi merantau dan sampai di sini.”

“Apakah sampai sekarangpun kalian masih terus diikuti orangnya Pangeran Ong?” tanya Kui Hwa.

“Tentu saja, biarpun secara sembunyi, kami merasa pasti bahwa ada yang mengikuti kami.”

Posting Komentar