Pendekar Pemabuk Chapter 48

NIC

Kui Hwa mengangguk-angguk. “Kau sekarang telah banyak maju, adikku! Dari ucapanmu tadi saja sudah menyatakan bahwa kau kini telah dewasa!”

“Aah, bisa saja kau memuji! Aku malah khawatir kalau-kalau kau menganggap aku pengecut dengan ucapan tadi.”

Kui Hwa memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Tidak Tin Eng. Biarpun terus terang kuakui bahwa adatku keras dan mudah marah, akan tetapi akupun sependapat dengan kau.

Keberanian dan ketabahan harus disertai kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana layak dilakukan oleh orang berakal. Keberanian yang dilakukan dengan serampangan dan serudukan bagaikan kerbau gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak termasuk kegagahan, akan tetapi adalah kebodohan orang yang kurang pikir. Kita tidak menyerbu dan menghalau penjahat-penjahat itu pada waktu ini bukan karena kita takut. Akan tetapi karena kita menggunakan siasat, menanti saat baik di mana kekuatan kita melebihi mereka sehingga gerakan kita akan berhasil.” “Terima kasih, cici. Sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?”

“Aku hanya merantau saja tanpa tujuan tertentu, dan ketika aku mendengar nama besar Kang- lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap, aku menjadi tertarik dan menuju ke kota ini. Tidak tahu siapakah sebetulnya Kang-lam Ciu-hiap yang baru saja muncul telah membuat nama besar itu? Di mana dia dan anak murid mana?”

Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Kang-lam Ciu-hiap telah pergi meninggalkan Hun-lam. Kalau ia masih berada di sini, tak mungkin ada orang berani menggangguku dan Hek-i-pang pasti telah rusak olehnya. Sayang ia telah pergi. Namanya adalah Bun Gwat Kong dan kalau kau ingin mengetahui dari cabang persilatan mana ia datang, aku sendiripun tidak tahu. Hanya satu hal yang boleh kau ketahui bahwa dia itu boleh juga disebut guruku!”

“Apa???” Kui Hwa memandang dengan mata terbelalak. “Menurut berita yang kudengar, Kang-lam Ciu-hiap masih amat muda. Bagaimana bisa menjadi gurumu? Jangan kau main- main Tin Eng!”

“Aku tidak main-main, memang ilmu pedangku kudapatkan dari dia! Cici, hayo kau ikut aku ke rumah pamanku. Jangan pergi dulu sebelum ada sesuatu yang memaksamu. Dari pada seorang diri saja bukankah lebih senang kita berdua?”

“Ah, aku hanya akan mengganggu kau dan pamanmu saja.”

“Siapa bilang mengganggu? Paman jarang berada di rumah, selalu mengurus perdagangannya. Sedangkan aku selalu menganggur dan duduk termenung seorang diri di rumah.”

Sambil tertawa-tawa mereka lalu mendayung perahu ke pinggir. Kemudian setelah membayar sewa perahu, mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke rumah Lie- wangwe. Kebetulan sekali Lie-wangwe berada di rumah, maka Tin Eng lalu memperkenalkan kawannya itu yang diterima dengan ramah tamah oleh Lie Kun Cwan. Kemudian Tin Eng mengajak kawannya menuju ke taman bunga yang indah di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan oleh pelayan.

Belum lama kedua orang gadis itu bercakap-cakap, seorang pelayan memberitahukan bahwa di luar ada dua orang muda datang minta bertemu dengan Sian-kiam Lihiap.

“Bagaimana macamnya orang-orang itu?” tanya Tin Eng.

“Mereka adalah seorang pemuda yang cakap dan seorang gadis yang cantik, siocia,” jawab si pelayan. “Katanya mereka minta bertemu untuk menyampaikan hormatnya dan katanya tadi mereka telah bertemu dengan siocia di danau Oei-hu.”

Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang. Tak salah lagi, kedua orang itu tentulah dua orang penumpang perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. Apakah kehendak mereka datang?

“Suruh mereka datang ke taman ini, Tin Eng,” kata Kui Hwa.

“Persilahkan mereka masuk dan antarkan mereka datang ke sini, kemudian kau ambil tambahan hidangan untuk mereka!” Pelayan itu mundur dan melakukan tugas yang diperintahkan itu. Tak lama kemudian, benar- benar saja kedua orang yang tadi menubruk perahu Tin Eng, muncul dari pintu taman dengan wajah nampak bersungguh-sungguh. Setelah bertemu dengan Tin Eng, mereka berdua lalu menjura dan pemuda itu berkata, “Maafkan kami sebanyak-banyaknya kalau kami mengganggu kepada lihiap!”

Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Ah, sama sekali tidak. Silahkan ji-wi (kalian berdua) duduk.”

“Terima kasih, lihiap. Kami tak berani mengganggu terlalu lama. Terus terang saja kedatangan kami ini tak lain mohon pengajaran sedikit dari lihiap tentang ilmu pedang untuk meluaskan pengetahuan kami yang amat dangkal!”

“Hmm, bagus!” tiba-tiba Tan Kui Hwa berkata menyindir. “Dengan dayung tidak berhasil sekarang hendak menggunakan pedang!”

Pemuda dan gadis muda itu mengerling ke arah Kui Hwa, akan tetapi mereka tidak menjawab, bahkan tidak memperdulikan sama sekali, dan kini gadis cilik itu yang bertanya kepada Tin Eng.

“Bagaimana, lihiap? Sudikah kau bermurah hati dan memberi sedikit petunjuk kepada kami?” Sambil berkata demikian, gadis itu meraba-raba gagang pedangnya.

Tin Eng di atas perahu telah mengukur tenaga dan kegesitan mereka menangkis dengan dayungnya, maka ia maklum bahwa kepandaian kedua anak muda ini tidak seberapa. Hanya ia merasa heran sekali mengapa dua orang ini mengejar-ngejarnya! Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik kelakuan mereka itu.

Tiba-tiba Kui Hwa yang juga mempunyai pikiran yang sama dan mempunyai sifat yang suka akan kejujuran dan terus terang, berkata, “Kalian berdua anak kecil ini mengapa mengejar- ngejar Sian-kiam Lihiap? Apakah yang tersembunyi di balik sikap kalian yang mencurigakan ini? Awas, jangan kalian berani main gila!”

Kedua orang itu merasa terhina, akan tetapi tidak marah, sedangkan Tin Eng juga menyambung. “Benar juga kata-kata kawanku itu. Sebetulnya mengapakah kalian hendak mengajak pibu (adu kepandaian) dengan aku?”

“Terus terang saja lihiap. Kami berdua kakak beradik pernah mempelajari sedikit permainan pedang dan ketika kami tiba di kota ini, kami mendengar tentang namamu sebagai Pendekar Wanita Pedang Dewa. Maka kami merasa amat tertarik karena kami yakin bahwa lihiap tentu memiliki ilmu pedang yang amat tinggi. Pertemuan kita yang amat kebetulan di danau tadi membuat kami kakak beradik mengambil keputusan untuk mencoba lihiap dan ternyata dugaan kami tak meleset. Lihiap memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Hanya kami belum merasa puas kalau belum melihat ilmu silat lihiap. Maka, mohon sedikit pengajaran dari lihiap!”

Alasan ini masih meragukan hati Kui Hwa. Akan tetapi Tin Eng telah merasa puas dan ia segera melompat ke atas jalan taman yang sengaja dibuat dengan lantai tembok dan biasanya ia berlatih silat di tempat ini. Sambil berdiri di tengah-tengah lorong tembok itu, ia tersenyum dan berkata,

“Baiklah, cabut pedang kalian dan mari kita main-main sebentar!”

Kedua anak muda itu saling pandang, lalu mencabut pedangnya. Akan tetapi melihat Tin Eng berdiri dengan tangan kosong, pemuda itu berkata sangsi,

“Lihiap, kuharap lihiap segera mengeluarkan pedang untuk menghadapi kami kakak beradik.”

Tin Eng tersenyum. “Ini hanya main-main saja, mengapa mesti berpedang? Hayo, jangan sangsi-sangsi, gerakkanlah pedang kalian, hendak kulihat sampai di mana tingkat pelajaranmu.”

Sementara itu, Kui Hwa berdiri tak jauh dari situ sambil memandang dengan khawatir. Ia menganggap perbuatan Tin Eng ini terlalu gegabah maka diam-diam ia bersiap sedia menjaga kalau-kalau kawannya itu akan dicelakakan oleh kedua orang muda yang mencurigakan itu.

Sementara itu, pemuda dan adik perempuannya itu telah bersiap pula dengan pedang masing- masing di tangan. Pemuda itu di sebelah kanan Tin Eng dan gadis cilik itu di sebelah kirinya. Tin Eng tersenyum lagi dan berkata,

“Hayo, jangan ragu-ragu. Kalian maju dan seranglah baik-baik!”

Bukan watak Tin Eng untuk menyombongkan kepandaiannya dan memandang rendah kepandaian lawan. Akan tetapi karena ia telah mengukur tenaga dan kegesitan kedua orang muda itu di atas perahu dan maklum bahwa kepandaian mereka tak perlu ditakuti, pula karena seperginya Gwat Kong, ia telah melatih ilmu silat tangan kosong Garuda Sakti dan kini ia ingin mencoba kepandaiannya ini.

“Maaf, lihiap!” Pemuda itu berseru dan mulai menyerang dengan tusukan pedangnya, juga adiknya menyerang dari samping kiri dengan gerakan indah.

Tin Eng segera mengelak dan mempergunakan ginkangnya yang telah memperoleh banyak kemajuan. Gerakannya gesit dan tubuh seakan-akan burung garuda beterbangan di antara sambaran pedang. Kedua tangannya dipentang ke kanan kiri atau ke depan belakang, menghadapi keroyokan kedua orang lawannya.

Benar saja sebagai dugaan semula, biarpun kedua orang muda itu agaknya telah mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka masih rendah, sehingga mudahlah bagi Tin Eng untuk menghadapi mereka ini.

Tin Eng bersilat memperlihatkan gaya silat Garuda Sakti sambil tersenyum manis dan diam- diam Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa memuji kelincahan kawannya itu. Ia dapat melihat betapa dalam waktu yang tak berapa lama, Tin Eng telah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Setelah mereka bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Tin Eng merasa sudah cukup dan tiba-tiba ia berseru keras. Dengan gerakan Garuda Sakti Hinggap Di Cabang, ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan kaki kanan berdiri berjingkat dan kaki kiri diangkat tinggi ke kiri lengan kanan dengan jari-jari tangan terbuka menghadapi gadis yang berada di belakangnya.

Pemuda itu menyerang dengan menyabetkan pedangnya ke arah kaki kanan Tin Eng yang berdiri itu. Tin Eng berseru nyaring dan kaki kanannya tiba-tiba melompat ke atas. Pada saat itu, ia mendengar sambaran angin pedang gadis yang berada di belakangnya membacok kepalanya. Maka dalam keadaan melompat tadi dan tubuhnya masih di tengah udara, ia cepat mengayun diri ke depan menghindarkan kepalanya dari bacokan sambil tangannya bergerak cepat ke arah pergelangan tangan pemuda yang tak berhasil menyerampang kakinya tadi.

Pemuda itu hendak mengelak dan menarik kembali pedangnya, akan tetapi terlambat, gerakan Tin Eng lebih cepat darinya dan pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan Tin Eng. Ia berseru kesakitan dan pedangnya terlepas.

Posting Komentar