“Bagus, kejar dia Tin Eng!” Gwat Kong juga berseru dan menyusul pula untuk mengejar penjahat yang lari itu. Para penjaga juga berteriak-teriak dan berlari-lari mengejar dari belakang. “Kejar .....! Tangkap Touw Cit si bangsat besar !!”
Akan tetapi oleh karena penjahat itu menggunakan lari cepat, demikian pula Tin Eng dan Gwat Kong, sebentar saja para penjaga itu tertinggal jauh dan menjadi bingung karena tidak melihat tiga orang itu sehingga mereka tidak tahu harus mengejar ke jurusan mana?
Ternyata bahwa ilmu lari cepat dari Touw Cit sudah cukup tinggi, sehingga untuk beberapa lama Tin Eng dan Gwat Kong belum berhasil menyusulnya. Akan tetapi, jarak antara mereka dan Touw Cit makin mengecil juga sehingga penjahat itu menjadi bingung dan terus berlari ke luar dari kota dan bermaksud untuk bersembunyi ke dalam hutan yang berada di luar kota.
Sementara itu, fajar telah mulai menyingsing dan karena pagi itu tidak ada halimun, maka sebentar saja keadaan menjadi terang. Hal ini amat menggelisahkan hati Touw Cit yang melarikan diri, oleh karena ia lari memasuki hutan, kedua orang pengejarnya terus mengejar dan tak mau melepaskannya dan keadaan yang mulai terang itu tidak memungkinkan ia untuk menyembunyikan diri.
“Touw Cit, tidak ada gunanya kau melarikan diri, biarpun akan masuk ke dalam tanah, kau takkan terlepas dari tangan kami!” seru Gwat Kong sambil tertawa.
Karena kedua pengejarnya kini telah dekat sekali di belakangnya, ketika tiba di tempat terbuka, tiba-tiba Touw Cit menahan langkah kakinya dan dengan pedang di tangannya menanti datangnya para pengejar untuk berkelahi mati-matian!
“Keparat!” ia memaki sambil menudingkan pedangnya kepada Tin Eng. “Sebagai anak murid Go-bi-pai, kau benar-benar tidak memandang perguruan kita! Sebenarnya kau ini murid siapakah?”
Tin Eng dengan pedang ditangan berdiri menghadapi Touw Cit sambil tersenyum. “Ayahku adalah murid Go-bi-pai. Akan tetapi, aku sendiri bukan langsung menjadi anak murid Go-bi- pai. Aku lebih senang mempergunakan ilmu pedang lain! Ayahku adalah Liok Ong Gun Kepala daerah Kiang-sui, seorang anak murid Go-bi-pai tulen dan sama sekali tidak dapat disamakan dengan kau penjahat kejam yang hanya mengotorkan nama Go-bi-pai!”
Merahlah muka Touw Cit mendengar ini. “Aku pernah mendengar nama ayahmu yang tingkatnya sama dengan aku. Kalau kau seorang gadis yang mengerti peraturan, kau seharusnya menyebut aku susiok (paman guru).”
Tin Eng tersenyum mengejek. “Aku harus menyebut paman guru kepada seorang perampok, penipu dan pemeras rakyat? Hm, nanti dulu, kawan! Pada saat ini, aku adalah seorang petugas yang membawa dendam penduduk Hun-lam yang telah lama kau ganggu. Kalau kau hendak menganggap aku sebagai anak murid Go-bi-pai, baiklah, aku mewakili Go-bi-pai pula untuk membersihkan nama Go-bi-pai dari anak muridnya yang tersesat dan yang patut menerima hukuman berat!”
“Boca sombong!” Touw Cit menjadi marah sekali lalu menyerang dengan pedangnya. Tin Eng menangkis sambil tersenyum manis dan sebentar kemudian mereka telah bertempur kembali dengan hebatnya. Gwat Kong hanya berdiri tak jauh dari situ dengan kedua tangan bertolak pinggang dan bibir tersenyum. Ia hendak menyaksikan kemajuan ilmu pedang Tin Eng.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat dan jauh lebih sengit dari pada tadi oleh karena Touw Cit yang telah menghadapi jalan buntu dan tidak mempunyai harapan untuk melarikan diri dan melepaskan diri dari kedua orang muda yang lihai ini, telah mengambil keputusan untuk berlaku nekad dan bertempur mati-matian. Sepasang matanya memandang marah, seakan- akan mengeluarkan sinar berapi, mengandung nafsu membunuh. Ia lebih mengerahkan kepandaian dan tenaganya untuk menyerang dari pada mempertahankan diri, dalam usahanya untuk membunuh atau dibunuh.
Menghadapi serangan-serangan nekad ini, Tin Eng berlaku tenang dan hati-hati sekali dan biarpun mulutnya masih memperlihatkan senyum manis, akan tetapi ia mencurahkan seluruh perhatiannya karena maklum bahwa lawannya telah nekad untuk mengadu jiwa. Dara ini mempergunakan ilmu ginkangnya yang lebih tinggi dari pada Touw Cit yang bertubuh besar pula. Tubuh Tin Eng nampak ringan sekali dan gerakan kedua kakinya demikian cepat dan gesit sehingga ia seakan-akan bertempur sambil menyambar-nyambar tanpa menginjak tanah. Bagaikan seekor burung walet bermain di antara mega.
Pertempuran berjalan dengan ramainya sampai lima puluh jurus dan diam-diam Gwat Kong merasa girang melihat kemajuan ilmu pedang gadis itu karena ia maklum pula bahwa gadis itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Tin Eng mau, memang sudah semenjak tadi ia dapat merobohkan lawannya yang dalam kenekatannya telah membuka banyak lowongan pada dirinya sendiri.
Akan tetapi Tin Eng masih tidak tega untuk memberi tusukan yang dapat membinasakan lawannya atau mendatangkan luka berat. Karena betapapun juga ia masih ingat bahwa lawannya ini adalah anak murid Go-bi-pai atau masih saudara seperguruan ayahnya.
Pertahanan Touw Cit makin lemah karena ia telah menggunakan tenaga terlalu banyak dan terlalu dipaksakan, menuruti hatinya yang penuh dendam dan marah. Juga kegelisahannya membuat permainan pedangnya kacau balau. Dan tak lama kemudian, ia mulai terdesak dan berkelahi sambil mundur!
Tiba-tiba Tin Eng berseru keras dan tubuhnya melompat ke atas dan mengirim serangan dengan gerak tipu Air Mancur Menyiram Bunga. Pedangnya di tangan kanan ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya dipentang ke belakang, kedua kakinya membuat imbangan untuk menahan turun tubuhnya dari atas.
Serangannya cepat sekali sehingga dengan terkejut Touw Cit lalu melangkah mundur dan menggerakkan pedangnya untuk menangkis dengan sabetan dari atas ke bawah dengan maksud menghantam pedang gadis itu agar terlepas. Akan tetapi secepat kilat, pedang Tin Eng ditarik mundur dan setelah pedang Touw Cit lewat ke bawah, ia lalu menindih pedang lawan itu. Dengan pedangnya di atas pedang Touw Cit yang tak berdaya itu, maka kini dada Touw Cit terbuka dan bagi Tin Eng dengan mudah saja kalau ia hendak merobohkan lawannya. Sekali ia menusukkan pedangnya akan tertembus dada lawan.
Akan tetapi Tin Eng tidak mau melakukan hal ini, hanya menggerakkan pedang ke atas, ke arah tangan Touw Cit yang memegang pedang. Penjahat itu menjerit kesakitan dan pedangnya terlepas karena tangannya telah termakan oleh pedang Tin Eng sehingga ibu jarinya hampir putus. Tin Eng menarik kembali pedangnya pada saat itu digunakan oleh Touw Cit untuk melompat mundur dalam usahanya melarikan diri.
Akan tetapi, nampak berkelebat bayangan yang cepat sekali dan sebuah tendangan pada lututnya membuat Touw Cit terjungkal tak dapat bangun kembali. Ternyata bahwa sambungan lutut kanannya telah terlepas akibat tendangan yang dikirim oleh kaki Gwat Kong.
Pada saat itu, para penjaga yang mengejar baru dapat menemukan mereka dan dengan girang mereka lalu menubruk dan mengikat kaki tangan Touw Cit, lalu diseretnya kembali ke kota. Dengan jatuhnya Touw Cit, maka boleh dibilang semua penjahat yang melakukan pengacauan itu, yang semua berjumlah empat belas orang telah diringkus.
Kota Hun-lam merayakan peristiwa itu dengan gembira sekali. Touw Cit dengan kawan- kawannya dimasukkan ke dalam penjara dan mendapat hukuman berat atas dosa-dosanya. Para penjahat di luar kota yang mendengar hal ini, menjadi ketakutan dan nama Kang-lam Ciu-hiap makin terkenal. Sementara itu penduduk Hun-lam juga memberi nama pujian bagi Tin Eng, yakni Sian-kiam Lihiap atau Pendekar Wanita Pedang Dewa.
****
Setelah tinggal di gedung Lie Kun Cwan sepekan lamanya, Gwat Kong lalu meninggalkan kota Hun-lam. Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong hendak berusaha mendamaikan permusuhan yang timbul antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai.
“Betapapun juga aku merasa bersedih kalau mengingat keadaan permusuhan itu, karena ayah adalah anak murid Go-bi-pai dan tidak suka kalau ayah sampai terlibat dalam permusuhan ini. Harap kau suka memberitahukan kepada setiap orang gagah dari Hoa-san-pai bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat belaka. Juga kalau kau bertemu dengan tokoh-tokoh Go-bi-pai harap beritahukan bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai baik dan benar.
Buktinya Touw Cit itu juga telah mengotorkan nama Go-bi-pai dan melakukan perbuatan yang jahat,” kata Tin Eng kepadanya. Sebetulnya Gwat Kong merasa berat untuk berpisah dari Tin Eng, gadis yang diam-diam dicintainya semenjak ia masih menjadi pelayan di gedung orang tua gadis itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa terus-terusan tinggal di rumah paman gadis itu. Lagi pula juga tidak enak bagi Tin Eng untuk ikut pergi merantau dengan dia. Karena sebagai gadis sopan, tidak selayaknya melakukan perantauan dengan seorang pemuda yang bukan menjadi keluarganya.
Ia hanya berpesan agar supaya gadis itu suka berlatih dengan giat. Karena biarpun telah mendapat petunjuk-petunjuk darinya, namun gadis ini belum lama mempelajari Sin-eng Kiam-hoat yang tulen sehingga gerakannya masih agak kaku.
Gwat Kong pergi dengan diantar oleh Lie-wangwe sampai di luar kota. Hartawan ini merasa suka dan kagum sekali kepada Gwat Kong yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian tinggi. Ia bahkan memberi hadiah sebuah guci arak terbuat dari pada perak terukir yang amat indah kepada pemuda itu, berikut isinya yakni arak Hang-ciu yang bukan main keras dan wanginya dan telah berusia tua sekali.
Gwat Kong menyimpan guci ini dengan menggantungkannya pada pinggangnya dan berangkatlah dia, mulai dengan perantauannya. Ia cinta kepada Tin Eng, akan tetapi tidak berani ia menyatakan cintanya itu. Sungguhpun dulu pernah ia menyatakan di luar kesadarannya, yakni ketika ia mabuk di rumah gadis itu sebelum ia meninggalkan gedung Liok-taijin.