Tetapi ketika ia tiba di rumah ibunya, ia disambut oleh tangis ibunya yang membuatnya amat terkejut. “Ada apakah, ibu?” tanyanya dengan cemas.
“Siang Cu ” kata ibunya dengan terisak-isak.
“Mengapa dia ....?” Makin gelisahlah hati Tiong San mendengar ini, mengkhawatirkan hal yang mungkin terjadi. Sakitkah gadis itu? Atau telah pergi pula?
“Dia dibawa pergi oleh serombongan perwira dari kaisar!” Tiong San merasa seakan-akan kepalanya disambar geledek. Ia melompat dan bertanya, “Kapan terjadinya?”
“Pagi tadi dua orang perwira tua datang dan memaksanya ikut pergi, katanya atas perintah kaisar yang
menghendaki kembalinya pelayan istana itu.” “Naik apa?”
“Mereka menunggang kuda dan Siang Cu juga dinaikkan ke atas kuda.”
Tanpa pamit lagi Tiong San lalu berlari keluar. Pedang dan cambuknya tak terlupa, tergantung di pinggangnya. Ia tahu ke mana harus mengejar!
Ibunya lalu memeramkan matanya dan diam-diam berdoa semoga puteranya akan berhasil menolong dan membawa kembali gadis itu.
********************
Dua orang perwira yang datang merampas Siang Cu sebenarnya bukan lain adalah Im-yang Po-san Bu Kam, perwira kerajaan kelas satu yang bertubuh tinggi kurus dan bermata juling itu. Seperti diketahui, perwira ini gagah perkasa sekali dan ketika dulu bertempur melawan Thian-te Lo-mo, perwira ini telah dicabut jenggotnya oleh Thian-te Lo-mo. Oleh karena itu, ia masih merasa sakit hati sekali dan setelah kematian kakek sakti itu, ia masih mempunyai keinginan untuk bertemu dan mengadu kepandaian dengan Shan-tung Koai-hiap, murid Thian-te Lo-mo.
Perwira kedua adalah Bu Tong Cu yang berjuluk Lui-kong atau Dewa Geluduk, perwira kelas dua yang juga tinggi ilmu silatnya, bertubuh bungkuk dengan punggung seperti punggung unta. Sebagaimana diketahui, Bu Kam bersenjata sepasang kipas dan Bu Tong Cu bersenjata sebatang tongkat besi yang berat.
Di istana kaisar, masih terdapat beberapa orang perwira kelas satu yang lihai, tetapi kali ini yang datang merampas Siang Cu hanya dua orang perwira ini, oleh karena sebetulnya mereka ini sama sekali tidak diutus kaisar. Kaisar yang mendengar tentang larinya pelayan itu, tidak mengambil pusing karena baginya, apakah artinya seorang pelayan wanita yang lari? Yang menyuruh dua orang perwira itu adalah pangeran yang tergila-gila kepada Siang Cu, dan hanya dua orang perwira itu saja yang dapat “dibeli” oleh pangeran itu.
Bu Kam dan Bu Tong Cu memaksa Siang Cu naik kuda dan segera melarikan kuda itu menuju ke kota raja. Akan tetapi oleh karena Siang Cu adalah seorang gadis lemah dan mereka telah mendapat pesan keras dari pangeran itu agar jangan sampai membuat gadis itu menderita, maka mereka tidak melarikan kuda mereka terlalu cepat. Malam hari itu mereka bermalam di sebuah kota pada sebuah rumah penginapan. Mereka masukkan Siang Cu dalam sebuah kamar dan menjaga kamar itu bergiliran.
Siang Cu merasa berduka cita dan bingung sekali. Ia tidak takut akan nasibnya, oleh karena ia telah bersumpah takkan menyerahkan diri kepada pangeran itu. Banyak jalan baginya untuk menghindarkan diri dari paksaan pangeran itu, dan mudah saja baginya kalau hendak membunuh diri. Tetapi ia tidak mau melakukan hal itu sekarang, karena diam-diam ia ingin melihat apakah yang akan dilakukan Tiong San apabila mendengar tentang penangkapan ini.
Malam itu gelap dan awan hitam menutup langit, sehingga bintang-bintang tak tampak dari bawah. Menjelang tengah malam ketika yang mendapat giliran menjaga pintu kamar Siang Cu adalah Bu Tong Cu si Dewa Geluduk, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan sekali di atas genteng.
Ia berlaku hati-hati dan waspada, maka sambil membawa tongkat besinya, ia lalu melompat naik ke atas. Akan tetapi, pada saat ia melayang naik, dari atas berkelebat bayangan hitam yang cepat sekali gerakannya dan begitu bayangan itu turun di depan kamar, ia segera membuka pintu kamar itu dengan sekali betot saja, lalu ia melompat masuk ke dalam.
Bu Tong Cu terkejut sekali, maka setibanya di atas genteng, ia lalu kembali melompat ke bawah dan menyerbu ke dalam kamar. Ternyata bahwa yang masuk ke dalam kamar itu bukan lain ialah Tiong San sendiri! Ketika ia telah memasuki kamar, ia melihat Siang Cu duduk dengan tenang di atas pembaringan dan begitu melihat Tiong San, ia tersenyum! Senyum kemenangan ini juga nampak dalam matanya yang berseri-seri puas. Sinar mata gadis itu seakan-akan berbisik kepada Tiong San, “Nah, akhirnya kau datang juga menolongku!”
Tiong San yang sudah lama sekali tak pernah bicara kepada gadis itu, kini merasa bingung karena apakah yang harus ia katakan. Ketika ia hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar bentakan Bu Tong Cu yang menyerbu masuk.
“Bangsat kurang ajar!” Akan tetapi Bu Tong Cu tertegun ketika pemuda itu membalikkan tubuhnya, karena tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu adalah Tiong San.
“Shan-tung Koai-hiap !” serunya dengan suara gentar, tetapi ia segera mengangkat tongkatnya karena
tiba-tiba ujung cambuk Tiong San telah menyambar ke arah mukanya. Tongkatnya berhasil menangkis batang cambuk, tetapi ujung cambuk itu yang seperti ekor ular, dapat melanjutkan serangannya melalui pinggir tongkat, terus menghantam mukanya! Bu Tong Cu telah kenal kelihaian cambuk ini, maka ia segera melangkah mundur sambil menarik kembali tongkatnya sehingga mukanya terhindar dari pecutan ujung cambuk. Kemudian ia mendahului pemuda itu dan menyerangnya dengan tongkat besinya dengan gerak tipu Raja Monyet Mencari Buah, yakni sebuah serangan dari ilmu tongkat Heng-cia Kun-hoat.
Tiong San maklum bahwa dalam keadaan terdesak karena harus menolong Siang Cu, maka ia harus bertindak cepat. Maka ia lalu mencabut pedangnya dengan tangan kiri dan menangkis serangan tongkat itu. Seperti juga cambuknya, gerakan pedangnya ini luar biasa cepatnya dan lihai sekali.
Ketika pedangnya bertemu dengan tongkat lawan, ia merasa betapa hebatnya tenaga lweekang yang disalurkan melalui tongkat itu, tetapi pedangnya yang terpental itu merupakan serangan balasan karena ujung pedangnya yang terpental bukannya tertolak ke belakang, akan tetapi meleset ke bawah dan menusuk dada Bu Tong Cu! Perwira ini terkejut sekali karena ia memang belum pernah mengenal kelihaian Pat-kwa Kiam-hoat yang mempunyai gerakan-gerakan sambung menyambung. Tangkisan dapat diteruskan menjadi serangan. Sebaliknya di dalam serangan pedang selalu bersembunyi gerakan penjagaan diri yang kuat.
Dengan cepat Bu Tong Cu mengelak ke samping karena untuk menangkis dengan tongkat sudah tidak ada waktu lagi, tetapi pada saat itu, cambuk di tangan kanan Tiong San dengan tak terduga-duga telah menyambar ke bawah dan melibat kedua kakinya! Sekali menarik tangan kanannya yang memegang gagang cambuk sambil berseru keras, tubuh Bu Tong Cu yang bongkok itu terguling ke atas lantai!
Tiong San tidak mau membuang waktu lagi. Tanpa berkata sesuatu ia segera memasukkan pedang ke sarungnya dan menggunakan tangan kirinya yang kosong untuk menyambar tubuh Siang Cu yang segera didukungnya dan dibawa melompat keluar dari kamar terus melayang naik ke atas genteng! Terdengar bentakan Bu Kam dari bawah, tetapi Tiong San tidak mau melayaninya dan terus berlari dan berlompat- lompatan dari genteng ke genteng!
SEMENTARA itu, telah dua kali dengan ini Siang Cu mengalami peristiwa seperti ini, yaitu dibawa lari oleh Tiong San sambil berlompatan dan lari secepat angin. Di dalam dukungan tangan kiri pemuda itu, ia merasa amat aman dan senang, sama sekali lenyap rasa takut yang dulu masih dirasainya pada pertolongan pertama. Akan tetapi melihat betapa pemuda itu melarikan diri dari kedua perwira yang menangkapnya, ia tidak merasa puas.
“Engko Tiong San, apakah kau tidak bisa menangkan mereka?” tanyanya dan Tiong San merasa seakan- akan ia bermimpi. Benarkah ini suara Siang Cu yang berada dalam pondongannya? Telah lama sekali ia tidak mendengarkan suara gadis ini berbicara kepadanya, sehingga ia hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri. Apalagi karena gadis ini menyebutnya “engko”, sebutan yang amat merdu dan sedap memasuki telinganya!
“Tentu saja aku berani dan dapat mengalahkan mereka!” jawabnya dengan hati berdebar-debar, sehingga Siang Cu yang menempelkan telinganya ke dada pemuda itu dapat mendengar degupan jantungnya. “Kalau begitu, mengapa kau berlari-lari seperti orang ketakutan? Mengapa kau tidak melawan dan memberi ajaran kepada orang-orang kurang ajar itu?”
“Mereka adalah utusan-utusan kaisar, bagaimana aku dapat melawan mereka? Bukankah aku akan dicap pemberontak?”
“Mereka bohong! Dari percakapan mereka aku tahu bahwa mereka sama sekali bukan utusan kaisar, tetapi adalah kaki tangan pangeran jahanam yang hendak memaksaku menjadi bini mudanya.”