“Ayoh, kau keluarkan semua ilmu cambukmu yang lihai!” Si Cui Sian tertawa mengejek.
Tiong San harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Kini ia memegang cambuknya yang telah ditekuk menjadi pendek dan ia memainkan Im-yang Joan-pian dengan hati-hati. Ujung cambuknya menyambar-nyambar kaku merupakan sebatang tongkat, akan tetapi tiap kali ditangkis, ujung cambuk itu menjadi lemas dan dapat meluncur dan melanjutkan serangan mengarah jalan-jalan darah lawan untuk ditotoknya.
Inilah kelihaian ilmu cambuk Im-yang, semacam ilmu cambuk yang tiada duanya dalam dunia persilatan. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa wanita itu selama berpuluh tahun, setelah terluka oleh suhunya, dengan tekun mempelajari ilmu pedang yang hebat dan yang sengaja diatur untuk menghadapi ilmu cambuk dari Thian-te Lo-mo. Maka kini semua serangannya, satu demi satu digagalkan oleh Si Cui Sian dan bahkan serangan balasan wanita itu membuat Tiong San menjadi sibuk sekali!
Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, perlahan-lahan Tiong San mulai terdesak hebat dan perempuan tua itu tertawa senang. “Ha, kalau saja Thian-te Lo-mo sendiri yang bertempur melawan aku ....
hm, akan tahulah dia bahwa Si Cui Sian bukanlah wanita yang mudah dikalahkan! Ha ha, anak muda, kau mulai berkeringat dan bingung!” Memang Tiong San merasa kewalahan sekali. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan yang demikian tangguhnya. Ia menggertakkan gigi dan tiba-tiba ia melompat ke kanan dan mengeluarkan cambuknya yang digerakkan sedemikian rupa sehingga cambuk itu berlenggak-lenggok menyerang tubuh lawan dari atas ke bawah! Inilah gerakan cambuk yang disebut Ular Luka Mencari Obat, gerakan yang amat sukar ditangkis oleh lawan oleh karena tiap lekuk dari cambuk ini melakukan serangan tersendiri sehingga dalam gerakan ini, cambuk di tangan Tiong San sekali gus melakukan beberapa serangan yang tak boleh dipandang ringan!
Akan tetapi, agaknya wanita itu telah siap pula menghadapi serangan macam ini. Tiba-tiba ia tertawa masam, secepat kilat menangkap ujung cambuk yang menyambar lehernya, lalu melompat ke belakang sambil menarik ujung cambuk itu! Bagaikan seekor ular yang ditarik kepalanya, sekali gus semua lekuk yang menyerang itu menjadi gagal karena kini cambuk menjadi terpentang lurus.
Mereka saling menyentakkan dan tiba-tiba Si Cui Sian menggerakkan pedangnya dan putuslah cambuk itu pada tengah-tengah! Pedang pusaka itu memang tidak mampu membabat putus cambuk ketika mereka sedang bertempur, karena cambuk itu bersifat lemas. Tetapi setelah kini cambuk itu dipegang oleh kedua pihak dan ditarik kencang, tentu sekali sabet saja, pedang pusaka itu telah berhasil memutuskannya!
Tiong San merasa terkejut sekali dan karena kurang pengalaman, ia menjadi gugup. Saat itu digunakan oleh Si Cui Sian untuk melompat maju dan mengirim tusukan ke arah dada pemuda itu. Tiong San tak mendapat kesempatan berkelit dan agaknya iapun akan menerima nasib seperti suhunya, yakni dadanya tertembus pedang pusaka di tangan Si Cui Sian!
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu menahan tangannya yang memegang pedang, melemparkan pedangnya di atas tanah dan berlutut sambil menutupi mukanya lalu menangis!
“Thian-te Lo-mo , apa artinya aku membunuh muridmu? Apa artinya membuat dosa baru? Ah, mengapa
kau tidak lekas datang mencabut nyawaku ?”
Sementara itu, Tiong San merasa terhina dan menjadi marah sekali karena wanita itu tidak jadi membunuhnya. Ia banting-banting kakinya dan berkata,
“Perempuan gila! Mengapa kau tidak tusuk dadaku seperti yang kau lakukan kepada mendiang suhu? Jangan kau menghinaku! Aku tidak takut mati, aku sudah kalah terhadapmu, lekas kau ambil pedangmu dan bunuhlah aku!”
Si Cui Sian mengangkat mukanya dan aneh, sepasang matanya sungguhpun mengalirkan air mata, tetapi kini memandang kagum kepada Tiong San.
“Kau .... kau seperti Hong Sian di waktu muda kau gagah perkasa!”
“Siapa sudi mendengar ocehanmu? Bunuhlah aku, ayoh, lekas bunuh. Kau kira aku takut mati? Kalau tidak, mari kita bertempur lagi sampai seribu jurus!”
SI CUI SIAN berdiri perlahan-lahan, lalu berkata,
“Shan-tung Koai-hiap, betapapun lihaimu, kau bukanlah lawanku! Suhumu sendiri belum tentu dapat menghadapi ilmu pedangku, apalagi kau yang belum berpengalaman. Kita tidak mempunyai permusuhan sesuatu, maka kalau kau suka, dari pada kita bermusuh, marilah kau kuberi pelajaran ilmu pedang. Aku dan gurumu tidak ada jodoh, biarlah ilmu kepandaian kami berdua saja yang menjadi satu dan diwariskan kepadamu!”
“Kau musuh suhu! Kau pembunuh suhu! Bagaimana aku bisa menjadi muridmu? Hanya ada dua jalan bagiku, membunuhmu atau kau membunuh aku!” Tiong San berkeras.
“Orang bijaksana tidak memperdulikan akibat, tetapi dengan teliti memperhatikan sebab. Kematian suhumu hanya akibat dan sebab-sebabnya kau belum mengetahui. Dengarlah penuturanku, anak muda!” Maka berceritalah Si Cui Sian, wanita yang bermuka cacad itu. Tiong San mendengarkan dengan penuh perhatian oleh karena memang suhunya belum pernah menceritakan riwayatnya ketika masih muda.
“Dulu ketika masih muda, suhumu dan aku saling mencinta dengan tulus, saling berjanji akan mencinta dengan tulus, saling berjanji akan menjadi suami isteri. Akan tetapi malang sekali, ketika aku berkenalan dengan dia, aku belum tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang menyakitkan hati orang tuaku. Sebelum aku turun dari perguruan, suhumu pernah mengalahkan ayahku yang menjadi jago terkenal sehingga ayah merasa demikian malu karena namanya dijatuhkan oleh suhumu. Ayah lalu jatuh sakit dan meninggal dunia karena sakitnya itu.”
“Sebenarnya, memang kematian ayah ini bukanlah salah suhumu, kiranya kau tentu mengerti perasaan ibuku. Ibu merasa demikian sakit hati kepada suhumu, sehingga ia bersumpah untuk membalas dendam. Ketika aku datang, ibu lalu membuat aku bersumpah pula untuk membalas dendam itu. Biarpun tidak secara langsung, memang suhumu yang menjadi sebab kematian ayah dan kehancuran hati ibuku.”
“Kemudian, setelah aku mengetahui bahwa sebenarnya suhumu atau kekasihku itu yang menjadi musuh besar ibuku, terpaksa kami lalu bertengkar. Aku tantang kekasihku sendiri untuk mengadu kepandaian. Kalau saja suhumu bijaksana, tentu ia sudah mengalah dan membiarkan aku menang dalam pertempuran itu karena bukan maksudku untuk membunuhnya. Ku pikir bahwa sakit hati ayah hanya karena dikalahkan saja, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membalas sakit hati ini dengan mengalahkan suhumu pula di depan orang banyak.”
“Kami bertempur dengan disaksikan oleh banyak orang gagah, tetapi sayang, suhumu ternyata amat keras hati, seperti kau sekarang! Suhumu tidak mau mengalah sehingga kami bertempur dengan seru dan mati- matian! Akhirnya ternyata bahwa suhumu masih lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan dalam pertempuran mati-matian yang disaksikan oleh banyak orang gagah itu, suhumu salah tangan dan membacok mukaku sehingga mukaku menjadi bercacad seperti ini untuk selamanya!” Wanita itu berhenti sebentar dan menangis, sedangkan Tiong San mendengarkan bagaikan sebuah patung tak bergerak sama sekali. Ia amat tertarik dan ia mulai merasa kasihan kepada wanita ini.”
“Rasa sakit pada mukaku yang terbacok pedang, bukan apa-apa apabila dibandingkan dengan rasa perih dan sakit pada hatiku. Aku telah dihina di depan orang banyak oleh kekasihku sendiri, oleh orang yang telah bersamaku bersumpah untuk saling mencinta selamanya! Aku lalu melarikan diri dan belajar ilmu silat yang lebih tinggi, dengan cita-cita membalas penghinaan ini! Akupun mendengar bahwa suhumu juga lari dan menjadi miring otaknya. Tetapi aku tidak perduli. Setelah berpuluh tahun melatih diri, aku mulai mencarinya.”
“Kemudian, aku mendengar bahwa dia berada di kota raja dan aku segera menyusul ke sana. Kebetulan suhumu sedang mengacau di dapur istana dan aku mendapat kesempatan untuk berhadapan dengannya, untuk sekali lagi mengadu kepandaian! Akan tetapi, suhumu tidak mau melawan dan membiarkan saja pedangku menusuk dadanya, sehingga ..... sehingga ia tewas oleh pedangku ...”
Kembali wanita itu menangis terisak-isak sambil menutup mukanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan melangkah maju mendekati Tiong San sambil berkata gagah,
“Dia telah mati, untuk apa aku hidup lebih lama? Aku tak dapat membunuhmu, karena kau bukan musuhku. Tadi kau bilang bahwa jalan bagimu hanyalah membunuhku atau terbunuh olehku. Baiklah kau boleh ambil jalan kedua dan bunuhlah aku! Bunuhlah dengan pedang yang telah membunuh kekasihku itu agar aku dapat segera bertemu dan berkumpul dengan dia!”