lebih-lebih lagi kalau ia cantik jelita!”
Kini Ciu-wangwe yang tertawa geli mendengar ucapan ini.
“Shan-tung Koai-hiap, aku benar-benar suka kepadamu. Kau berbeda sekali dengan pemuda-pemuda lain. Kuharap kau suka bermalam di rumahku di Cin-an agar hatiku puas. Sukakah kau?”
Melihat sikap hartawan yang amat tulus dan jujur ini, memang Tiong San telah merasa suka dan cocok sekali, maka ia menganggukkan kepalanya dan menjawab,
“Aku sedang ada urusan penting, yakni mencari seorang di sekitar bukit Tai-san. Karena akupun harus melalui Cin-an, tidak ada halangan apabila aku mampir semalam di rumahmu.”
Ciu-wangwe merasa girang sekali dan perjalanannya dilanjutkan dengan selamat sampai di Cin-an. Mereka menuju ke gedung Ciu-wangwe dan hartawan itu selain memberi upah yang telah dijanjikan kepada para piauwsu, juga memberi hadiah ekstra karena ia merasa kasihan kepada para piauwsu yang terluka.
Tentu saja para piauwsu itu amat berterima kasih sekali dan memuji-muji kebaikan budi hartawan itu. Hartawan lain tentu akan marah-marah dan menyatakan ketidak puasannya karena terjadinya gangguan perampok yang hampir mencelakakan itu, akan tetapi hartawan ini bahkan memberi hadiah dan ongkos- ongkos pengobatan kawan-kawan mereka yang terluka!
Ciu-wangwe memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia delapan belas tahun. Gadis ini bernama Ciu Leng Hwa dan semenjak kecil ia memang telah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan amat rajinnya. Ia mempunyai otak yang cerdas dan setelah ia menjadi dewasa, ia terkenal sebagai kembang kota Cin-an, baik mengenai kecantikan maupun mengenai kepandaiannya, terutama tulisan- tulisannya yang indah. Sering kali kawan-kawannya minta supaya menuliskan lian (tulisan-tulisan di atas kain yang mengandung arti dan ditulis indah, biasanya berbentuk syair).
Ciu-wangwe suami isteri merasa amat bangga akan puteri mereka ini, tetapi sebagaimana yang diceritakan oleh Ciu-wangwe kepada Tiong San, gadis ini selalu menolak apabila orang tuanya bicara tentang perjodohan dan pinangan orang kepadanya!
Ketika Leng Hwa mendengar dari ibunya bahwa ayah bundanya tadi diganggu perampok dan terjadi pertempuran hebat, ia menjadi khawatir sekali dan berkata, “Ah, untung sekali ibu dan ayah tidak sampai mendapat celaka. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana dengan
.... aku? Ah, syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa, malam ini kebetulan bulan purnama dan tengah malam nanti aku harus bersembahyang untuk mengucap syukur.”
“Memang kita harus bersyukur, anakku, terutama sekali kepada Shan-tung Koai-hiap, karena dialah yang menolong sehingga ayah bundamu masih dapat bertemu dengan kau dalam keadaan hidup!” Nyonya Ciu lalu menceritakan betapa pendekar muda itu telah menolong mereka dengan gagahnya.
“Tak kusangka bahwa seorang pemuda yang begitu halus dan kelihatan lemah, memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Sayangnya .... bicaranya aneh-aneh sehingga ayahmu menyangka bahwa ia agak ....
miring otaknya! Ia ikut datang atas undangan ayahmu dan ayahmu suka sekali bercakap-cakap. Percakapan mereka aneh-aneh sehingga aku tidak mengerti sedikitpun. Coba saja pikir, pendekar yang usianya belum tentu ada dua puluh tahun itu beberapa kali kudengar menyebut ayahmu gila!”
Leng Hwa tertarik sekali. “Memang kata orang-orang dahulu, orang yang gila paling suka menyebut orang waras gila!” katanya perlahan dan diam-diam ia mempunyai keinginan keras untuk melihat bagaimana macamnya pendekar muda yang amat terkenal itu. Akan tetapi sebagai seorang gadis terpelajar dari keluarga sopan, tentu saja tak mungkin baginya untuk menjumpai seorang tamu laki-laki yang masih muda dan asing pula.
Malam hari itu, Leng Hwa berada di taman bunga. Memang taman bunga keluarga Ciu-wangwe amat indah dan terkenal, karena selain Leng Hwa suka sekali kepada kembang-kembang, juga suami isteri Ciu suka berjalan-jalan di situ.
Gadis itu menanti datangnya tengah malam di taman itu sambil menghadapi dua helai kain yang disulam indah. Seorang kawannya minta kepadanya untuk menuliskan dua buah syair di atas dua helai kain yang lebar itu. Akan tetapi, entah mengapa, malam hari ini agaknya jalan pikiran gadis ini kurang tenang.
Telah lama sekali ia duduk di atas sebuah bangku menghadapi kain yang terbentang di hadapannya tanpa dapat menuliskan sehurufpun. Ia bertopang dagu dan pelayannya duduk tak jauh dari situ, sama sekali tidak berani mengganggu nonanya yang sedang mengasah otak itu.
Sambil bertopang dagu, Leng Hwa memandang kepada bulan yang nampak bulat dan terang di angkasa raya. Pelayannya, seorang gadis tanggung, memandang nonanya dengan kagum sekali. Karena sedang berdongak, wajah Leng Hwa sepenuhnya ditimpa sinar bulan dan pelayan itu diam-diam berpikir, manakah yang lebih indah, wajah nonanya atau bulan itu!
Melihat bulan seakan-akan bergerak di atas awan-awan putih dan kadang-kadang bersembunyi di belakang sekelompok awan hitam. Tiba-tiba Leng Hwa menggerakkan pensil bulunya di atas kain itu. Ia telah mendapat bahan bagi syairnya, ialah bulan itu! Dengan asyiknya ia menulis, sambil mengeluarkan ujung lidahnya yang merah dan kecil itu di ujung bibirnya, mengerahkan seluruh perhatiannya pada pensil bulu yang kini menari-nari di atas kain. Setelah syair itu selesai, ia memandangnya dengan puas, wajahnya berseri-seri.
“A-bwe,” ia memanggil pelayannya yang duduk kedinginan karena hawa malam yang sejuk itu membuatnya mengantuk. A-bwe terkejut dan berdiri.
“Kau lihat, syair telah selesai sebuah! Coba kau baca keras-keras hendak kudengarkan!”
A-bwe memang amat mengagumi syair nonanya dan ia senang sekali membaca syair yang ditulis oleh nonanya. Banyak syair tulisan Leng Hwa telah dapat dibacanya di luar kepala, padahal Leng Hwa sendiri sudah lupa akan bunyi syair-syairnya itu. Akan tetapi ia suka mendengar A-bwe membaca syairnya karena suara pelayan ini memang merdu dan apabila syairnya dibaca oleh A-bwe, seakan-akan syair itu menjadi lebih hidup dan indah!
A-bwe berlari-lari menghampiri dan melihat tulisan yang indah itu ia memuji-muji, lalu membaca syair itu dengan suara nyaring dan merdu, penuh perasaan dan gaya serta tekanan suaranya tepat sekali:
Bulan indah, begitu tinggi dan mulia
kau menerangi seluruh permukaan dunia ratu malam yang megah, cantik jelita menyaingi matahari
raja siang yang jaya!
namun sekali terbang lalu
awan dan mega yang terang menjadi gelap, kau tak berdaya !
“Bagus, Siocia (nona), bagus! Akan tetapi agak agak sedih!”
Akan tetapi, kebetulan sekali memang pada saat itu ada segunduk awan hitam bergerak perlahan menutup bulan.
“Aku hanya menuliskan keadaan yang sebenarnya A-bwe. Lihat, agaknya awan hitam itu akan lama menutup bulan karena berkelompok besar, lebih baik kita masuk dulu dan kau sediakan alat-alat sembahyang karena tak lama lagi tengah malam akan tiba. Kalau bulan sudah terang lagi kita kembali ke sini,” Kedua wanita itu lalu meninggalkan tempat itu, masuk ke dalam rumah.
Tak lama setelah mereka pergi, nampak sesosok bayangan berjalan ke tempat itu dan ia berhenti di depan meja, membaca syair yang baru ditulis oleh Leng Hwa tadi. Bayangan ini adalah Tiong San yang juga merasa tertarik oleh bulan purnama dan keluar dari kamarnya untuk menikmati pemandangan dalam taman bunga yang indah itu.
Biarpun masih ada awan tipis menutup bulan, dan keadaan tidak sangat terang, akan tetapi matanya yang tajam dapat membaca syair itu dengan terang. Ia merasa tertarik sekali dan melihat bahwa di situ masih ada sehelai kain yang sama ukuran dan bentuknya dengan kain yang sudah ditulisi, dan kain itu masih kosong, tak terasa pula timbul kegemarannya menulis syair.
Ia pegang pensil bulu, mencelupkannya di tempat tinta, lalu berpikir sebentar sambil memandang kepada syair Leng Hwa tadi, lalu menulis dengan gerakan cepat dan kuat. Baru saja ia selesai menulis, terdengar suara orang mendatangi. Ia terkejut dan sadar bahwa ia telah berlaku lancang, maka cepat-cepat ia melompat ke balik gerombolan pohon bunga dan mengintai. Ternyata yang datang adalah dua orang wanita, seorang gadis cantik diikuti oleh seorang gadis pelayan yang membawa lilin dan dupa.
Bulan bersinar penuh dan keadaan menjadi terang sekali. Ketika Leng Hwa tiba di dekat mejanya, ia terkejut sekali dan terdengar ia mengeluarkan seruan tertahan. Mendengar ini A-bwe berlari menghampiri dan juga pelayan ini menjadi terkejut sekali.
“Bagus, bagus! Syair ini lebih bagus, siocia!” kata pelayan itu yang lalu meletakkan barang-barangnya di atas tanah. Kemudian dengan suara nyaring ia membaca syair yang baru saja ditulis oleh Tiong San itu:
Sungguh! Awan tak mungkin dihindarkan namun awan gelap hanya rintangan
yang akan lenyap oleh tiupan angin gelap sebentar,
hujan badai boleh menggelegar! Sesudah lewat,
bulan muncul lagi berseri segar! matahari akan terbit lagi, hangat dan terang!
“Bagus, siocia, bagus!” Syair ini merupakan pasangan yang cocok sekali dengan syairmu dan sekali gus menghapus kesedihan syairmu itu! Dan tulisannya .... alangkah indahnya ... tak kalah oleh tulisanmu !”
Akan tetapi, Leng Hwa merasa marah sekali melihat betapa kain yang masih kosong itu ada orang lain yang lancang tangan menulisi. Ia berdiri tegak dan memandang ke kanan kiri, lalu katanya dengan suara nyaring, tanda kemarahan hatinya.
“Orang kurang ajar dari manakah yang berani membikin kotor kain ini? Sungguh gila!”
Tiong San adalah seorang yang berhati tabah dan ia paling tidak suka kalau dianggap kurang ajar dan pengecut, maka mendengar ini ia merasa sudah sepantasnya kalau ia mengakui perbuatannya itu dengan terus terang dan berani. Maka ia lalu muncul keluar dari balik gerombolan pohon kembang itu, sehingga kedua orang wanita itu melangkah mundur dengan terkejut.
“Nona, akulah yang menulis syair itu!”
Leng Hwa memandang dengan mata melebar. “Kau ... siapakah? Dan mengapa kau berani lancang menulis syair ini dan .... dan ....bagaimana pula kau dapat masuk ke sini .....?” Harus diketahui bahwa taman bunga itu menjadi satu dengan gedung Ciu-wangwe dan bahwa sekelilingnya dilingkungi oleh tembok yang amat tinggi dan di luarnya terjaga pula.
Tiong San tersenyum, “Namaku Tiong San, dan aku menulis syair itu karena merasa tak setuju dengan bunyi syairmu yang memperlihatkan kelemahan hatimu, dan tentang bagaimana aku dapat masuk ke sini, karena memang aku bermalam di gedung ini!”
“Jadi kau .... kau Shan-tung Koai-hiap ....?” Makin lebar mata gadis itu memandang Tiong San. Tak disangkanya sama sekali bahwa pendekar muda yang diceritakan oleh ibunya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian ... tampan dan gagah serta amat indah tulisannya! Dan menurut pandangannya, pemuda ini sama sekali tidak gila.
“Ada orang yang menyebutku gila,” jawab Tiong San sederhana.
Berobahlah sikap Leng Hwa mendengar ini. Bibirnya tersenyum manis dan mukanya berobah merah. Ia tidak berani memandang langsung, setengah menundukkan mukanya. Akan tetapi dari bawah bulu matanya itu kerlingnya menyambar halus.
“Ah .... kalau begitu kau adalah penolong ayah bundaku ... silahkan duduk, taihiap ”