Mukanya Ceng Ceng menjadi merah saking malu. Ia menoleh pada ibunya.
"Ibu, dengarlah kata-katanya itu!" katanya.
"Cit-ko, mari, aku hendak bicara denganmu," kata Un Gie dengan pelahan.
Un Lam Yang kasih dengar suara :" Hm!" lantas ia bertindak menghampiri, sikapnya jumawa sekali.
"Kita ibu dan anak hidup menderita," berkata si nyonya kemudian. "Kita berterima kasih kepada lima yaya dan semua saudara, yang masih mengijinkan kita tinggal belasan tahun dalam rumah keluarga Un ini. Tentang urusan si orang she Hee, belum pernah aku omong suatu apa terhadap Ceng Ceng, tetapi sekarang setelah dia menutup mata, selagi citko ketahui semua dengan baik, tolong kau tuturkan itu kepada Wan Siangkong dan Ceng Ceng. "
"Kenapa aku yang mesti menuturkan?" tanya Un Lam Yang dengan mendongkol. "Inilah urusan kamu, kamu sendiri yang harus menceritakan asal jangan kamu tahu malu!"
Nyonya itu menghela napas.
"Baiklah," sahut dia. "Aku tahu, dia pernah tolongi jiwamu, aku percaya, sedikitnya kau masih bersukur terhadapnya, siapa tahu kau sama saja dengan semua anggauta keluarga Un ini, semuanya bong in pwee gie - semua tidak kenal budi-kebaikan!"
Un Lam Yang jadi sangat gusar.
"Dia pernah tolong jiwaku, itu benar!" katanya dengan sengit.
"Tapi kenapa dia tolongi aku? Baiklah, aku nanti tuturkan semua, supaya kalau kau yang menceritakannya, tak bisa kau menambahi bumbu hingga aku akan jadi orang macam apa tahu!"
Ini mamak yang ketujuh lantas duduk.
"Orang she Wan, Ceng Ceng," katanya, mulai, "nanti aku tuturkan bagaimana duduknya hingga kami kenal Kim Coa Kan-cat, aku nanti jelaskan semua dengan terang supaya kamu ketahui bagaimana jahatnya kancat itu!"
"Jikalau kau omong jelek tentang dia, tak suka aku mendengari!" memotong Ceng Ceng.Dan ia tutupi kupingnya.
"Ceng Ceng, kau dengarilah!" berkata sang ibu. "Ayahmu yang telah meninggal dunia ini, walaupun dia tak dapat dikatakan orang baik seluruhnya, akan tetapi apabila dia dipadu dengan keluarga Un, dia masih terlebih baik beratus lipat!"
"Hm, kau lupa bahwa kau pun she Un!" mengejek Un Lam Yang sambil tertawa dingin.
Un Gie tidak perdulikan ejekan kakak itu.
Maka Un Lam Yang segera mulai dengan penuturannya
: "Itu adalah kejadian pada dua-puluh tahun yang telah lampau. Ketika itu aku baru berumur dua puluh satu tahum. Ayah telah utus aku ke Yang-ciu untuk bantui liok- siokhu..."
"Kiranya," pikir Sin Cie," Ngo Cou dari Cio Liang Pay bukan cuma berlima saudara hanya berenam..."
Liok-siokhu adalah paman yang keenam.
"Ketika aku sampai di Yang-ciu, aku tak dapat menemui Liok-siokhu," Lam Yang melanjuti. "Pada suatu malam aku pergi keluar, untuk bekerja, apa celaka, karena kurang waspada, aku gagal..."
"Kau tidak jelaskan, kerjaan apa itu yang kau lakukan," kata Un Gie dengan dingin. Lam Yang mendongkol, ia gusar.
"Aku toh satu laki-laki, aku berani berbuat, mustahil aku takut menyebutkannya?" katanya dengan sengit. "Aku telah dapat lihat satu nona yang cantik sekali, aku lompat masuk kedalam pekarangannya , untuk memetik bunga. Nona itu tolak aku, maka aku lantas bunuh dia. Nona itu masih dapat ketika untuk menjerit dan jeritannya itu terdengar orang. Ada beberapa guru silat yang menjadi cinteng rumah itu, mereka itu keluar mengepung aku. Aku tidak sanggup layani begitu banyak orang, akhirnya aku kena ditangkap. " Sin Cie bergidik sendirinya mendengar orang cerita tentang kekejian dan kekejamannya sendiri tanpa merasa jengah atau malu. Istilah "petik bunga" itu adalah perkosaan terhadap orang perempuan. Ia pikir, kenapa Un Lam Yang sedemikian jahat.
"Orang lantas kirim aku kepenjara," mamaknya Un Ceng Ceng itu melanjuti. "Aku tidak takut. Aku ingat, liok-siokhu toh ada di kota Yang-ciu. Untuk seluruh Kanglam, bugeenya paman itu tidak ada tandingannya. Aku percaya, asal paman ketahui kegagalanku, pasti dia bakal datang menolongi aku. Akan tetapi sepuluh hari sudah aku menanti-nanti, tidak juga paman muncul. Sementara itu surat keputusan telah datang dari pembesar lebih atas, aku telah diputuskan hukuman mati, yang mesti dijalankan didalam kota Yangciu juga. Satu pegawai penjara beritahukan aku keputusan itu. Sampai itu waktu Barulah aku ketakutan..."
"Hm! Aku menyangka kau tak kenal takut!..." Ceng Ceng mengejek.
Lam Yang tidak gubris keponakannya ini.
"Selang tiga hari, sipir bui datang dengan arak secawan besar dan sepiring daging," demikian ia meneruskan ceritanya. "Aku tahu artinya makan besar ini, ialah besok aku bakal jalankan hukumanku. Aku pikir, semua orang memang satu kali mesti mati, hanya aku, aku merasa sayang atas diriku sendiri. Aku masih muda dan belum cukup merasai kesenangan....Tapi aku keraskan hati, aku dahar, aku minum, aku habiskan daging dan arak itu, sesudah mana, aku pergi tidur. Tepat pada tengah malam, aku tersedar karena ada orang tepuk-tepuk pundakku dengan pelahan. Aku segera geraki tubuh, untuk bangun. Lantas aku dengar kisikan di kupingku : "Jangan bersuara! Aku akan tolong padamu!" Orang itu lantas gunai
298 senjatanya, akan tabas kutung pesawat borgolan di tangan dan kakiku. Itulah senjata yang tajam luar biasa, karena borgolan besi terpapas dengan beberapa bacokan saja. Habis itu dia tarik tanganku, dia ajak aku menyingkir dari penjara. Kita kabur sampai diluar kota, disebuah kuil tua. Selama diajak lari, aku turut saja. Memang aku tak dapat berbuat lain. Dia itu larinya pesat sekali, tenaganya pun besar luar biasa, tak bisa aku lepaskan diri dari cekalannya. Karena separuh ditarik, aku jadi tidak terlalu cape. Setelah dia nyalakan lilin diatas meja suci, Baru aku dapat lihat tegas romannya, ialah satu pemuda yang cakap- ganteng, usianya lebih muda beberapa tahun daripadaku, mukanya putih- bersih. Hm!"
Lantas saja ia berpaling kepada Un Gie dan Ceng Ceng bergantian, akan lirik itu ibu dan anak.
"Aku lantas kasih hormat pada pemuda itu seraya menghaturkan terima kasih." Lam Yang cerita lebih jauh setelah ia mengejek ibu dan anak itu dengan lirikannya. "Dia sangat jumawa, dia tak balas hormatku itu. Dia kata : "aku seorang she Hee, apa kau ada orang she Un dari Cio Liang Pay?" Aku manggut. Sementara itu aku lihat dia masih cekal senjata tajamnya yang tadi dipakai menabas kutung rantai borgolanku. Itu adalah pedang warna hitam, anehnya adalah ujung pedang terpecah dua sebagai cagak."
Didalam hatinya, Sin Cie kata : "Itulah dia pedang Kim Coa Kiam yang aku dapatkan." Ia diam saja, ia mendengari terus.
"Habis itu aku tanya namanya," Un Lan Yang bercerita terus. "Tak usah kau ketahui namaku!" jawabnya. "Biar bagaimana, dibelakang hari, tidak nanti kau berterima kasih kepadaku!" Aku jadi sangat heran. Pikirku, dia telah tolongi jiwaku, tentu saja aku mesti senantiasa ingat budinya itu, ingat seumur hidupku. "Aku tolong kau untuk kepentingan
299 pamanmu yang keenam," ia menambahkan. "Mari turut aku!"
"Dengan keheran-heranan, aku ikuti dia. Kita pergi ketepi sungai Un Hoo, kita naik atas sebuah perahu dan masuk kedalamnya. Dengan ringkas dia suruh tukang perahu berangkat, keselatan. Sesudah menyingkir dari Yangciu lebih dari sepuluh lie, Baru hatiku mulai lega. Itu artinya, pembesar negeri tidak akan mampu susul pula padaku."
"Dari sakunya, anak muda itu keluarkan sepasang ngo- bie-cie, ialah semacam senjata mirip dengan tempuling. Aku kenali itu sebagai gegaman liok-siokhu. Biasanya tidak pernah liok-siokhu terpisah dari gegamannya itu, maka aku heran, kenapa ngo-bie-cie itu berada ditangannya penolongku yang tidak dikenal itu.
"Liok-siokhumu itu adalah sahabat karibku!" kata dia sambil tertawa. Ia tertawa beberapa kali, lalu dengan tiba- tiba mukanya jadi berperongos bengis. Tanpa merasa, aku menggigil saking heran, kaget dan jeri.
"Disini ada sebuah peti," katanya kemudian. "Aku ingin kau bawa pulang itu kerumah.Dan ini surat kau serahkan pada ayahmu, pada mamak dan pamanmu semua!" Dia menunjuk pada sebuah peti didalam perahu itu. Itulah peti yang besar sekali yang ditutup dan dipaku keras, lalu dilibat dengan dadung.
"Kau mesti pulang dengan lekas, jangan kau singgah ditengah jalan," dia pesan. "Peti ini mesti dibuka dengan tangan sendiri oleh mamakmu yang pertama!"
Aku terima baik pesan itu.