Pedang Ular Mas Chapter 39

NIC

Orang-orang yang muncul paling belakang ada satu nyonya umur kurang-lebih empat-puluh tahun, dia didampingi Goat Hoa, itu kacung perempuan yang ditugaskan melayani si tetamu anak muda.

"Ibu!" Un Ceng memanggil seraya maju menghampirkan apabila ia lihat nyonya itu.

Njonya itu mempunyai wajah yang eilok tetapi ia nampaknya berduka, ia tidak sahuti Un Ceng, ia cuma melirik, kelihatannya ia tidak gembira.

"Kau hendak gunai senjata apa, kau boleh pilih sendiri!" berkata Un Beng San setelah mereka sudah berkumpul. Ia menunjuk kesekitarnya dimana ada terdapat para-para serta pelbagai gegaman.

Sin Cie mengerti, urusan ada sangat sulit untuk diselesaikan, tetapi disebelah itu, tak ingin ia melukai orang. Ini adalah pengalamannya yang pertama, baru mulai berkelana sudah menghadapi kesulitan. Ia berpikir bagaimana ia harus ambil putusan.

Un Ceng lihat kesangsian Sin Cie, ia kata : "Sam yayaku ini paling suka anak-anak muda, tidak nanti dia lukai padamu..."

Tapi dia disenggapi ibunya : "Ceng Ceng, jangan banyak mulut!"

Kelihatan ibu itu gusar. Un Beng San menoleh kepada Un Ceng, dia kata : "Kita lihat saja masing-masing punya untung!" Lalu ia tambahan pada Sin Cie : "Saudara Wan, kau gunai pedang atau golok?"

Sin Cie terdesak, ia mesti berikan jawabannya. Ia melihat ke sekitarnya. Tiba-tiba ia tampak satu bocah lelaki umur enam atau tujuh tahun, yang sedang dituntun oleh Goat Hoa. Mestinya bocah itu ada anggauta keluarga yang termuda. Anak itu lagi pegangi sebatang pedang kayu jang dicat beraneka warna. Pasti itu ada pedang yang menjadi alat permainan bocah itu. Lantas saja ia hampirkan bocah itu.

"Saudara cilik, mari kasi aku pinjam pakai pedangmu, sebentar saja," ia minta.

Bocah itu berani, ia tertawa, ia serahkan pedang- pedangannya itu. Setelah sambuti itu pedang kayu, Sin Cie hampirkan Un Beng San.

"Tidak berani aku yang muda menghadapi locianpwee dengan golok atau tumbak tulen, dari itu aku pinjam pakai ini pedang kayu, untuk kita berlatih beberapa jurus saja." Berkata dia.

Pemuda ini bicara merendah dan halus, tetapi ia nampaknya sabar dan tenang.

0o-d.w-o0

Un Beng San murka sampai hampir dia tak sanggup kendalikan diri lagi, maka sebagai pelabi, dia tertawa ter- bahak-bahak. "Sudah beberapa puluh tahun lohu berkelana didunia kangouw, belum pernah lohu ketemui siapa juga yang berani memandang enteng tongkatku Liong-tau Koay- thung!" kata dia. "Baiklah! Apabila kau benar punyakan kepandaian, hayo dengan pedang kau, kau tabas kutung tongkatku ini!"

Liong-tau Koay-thung ada tongkat berkepala naga- nagaan. Berbareng dengan berhentinya kata-kata jumawa itu, tongkat tersebut dipakai membabat kepinggang Sin Cie. Sambaran itu diiringi dengan sambarannya angin juga, yang bersuara nyaring.

Un Ceng menjerit ketika ia lihat serangan yaya-nya itu. Ia tampak tubuh Sin Cie seperti terbawa tongkat yang liehay itu. Akan tetapi belum sampai tubuhnya anak muda ini terlempar, atau tahu-tahu pedang kayunya sudah menyambar lempang kemuka si penyerang.

Un Beng San mundur seraya tarik pulang tongkatnya, tetapi ia tidak cuma menarik saja, sebaliknya, ia segera dapat juga maju pula, untuk totok ulu-hati orang! "Ha, kiranya tongkat ini dapat juga dipakai sebagai alat penotok jalan darah!" pikir Sin Cie sambil ia berkelit. "Aku mesti waspada!"

Sambil berkelit, pemuda ini lantas membabat dengan pedang-pedangannya itu.

Kalau itu ada pedang benar dan mengenai dengan tepat, tangan lawan yang menyekal tongkat mesti sapat semua jarinya. Akan tetapi Un Beng San bukannya lawan lemah. Dia tahu baik sekali, sekalipun hanya pedang-pedangan, kalau ia terbacok, ia bakal terluka juga. Maka segera ia lepaskan tangannya yang kanan, hingga ujung tongkat jatuh ketanah dan tinggal pangkalnya yang lain jang tercekal di tangan kiri, lalu dengan dibantu lagi tangan kanan, ia ulangi serangan susulannya yang tidak kalah berbahayanya.

Ditangan orang liehay, tongkat itu jadi seperti bertambah-tambah beratnya, maka siapa lacur kena terserang, celakalah dia.

Sin Cie kagum melihat kegesitan dan keliehayan lawan itu, karenanya, ia jadi bertanding dengan terlebih hati-hati.

Setiap serangan Un Beng San menerbitkan sambaran angin keras, malah kalau kebetulan ia mengemplang tempat kosong, batu lantai hancur terlabrak dan muncrat meletik berhamburan. Coba itu mengenai tubuh manusia, bagaimana hebatnya.

Sin Cie tidak perdulikan liehaynya tongkat, dia melayani dengan tubuhnya yang enteng, dengan gerakannya yang cepat dan pesat, sehingga ia bagaikan kupu-kupu yang terbang molos sana molos sini. Disebelah itu, pedangnya pun saban-saban mencari bagian-bagian yang lowong dari anggauta-anggauta lawannya, untuk membalas.

Tanpa merasa, saking cepatnya, pertempuran telah melalui banyak jurus, sesudah mana, Un Beng San menjadi kelabakan sendirinya. Ia sudah buka mulut besar tetapi buktinya, belum dapat ia rubuhkan lawan ini. Ia jadi ingat bagaimana tongkatnya ini yang dia buat andalan, sudah angkat namanya di Kanglam, belum pernah dia menemui tandingan, tetapi sekarang, ia seperti dilece-lece bocah cilik. Apakah nama baiknya tak akan runtuh karenanya? Oleh karena memikir begini, dalam penasarannya, Beng San ubah caranya berkelahi. Ia jadi berlaku sangat gesit, hingga ia seperti libat lawannya ini dengan tongkatnya itu.

Semua penonton mundur sedikit, mereka merasai sambaran angin tak hentinya. Ada diantaranya yang nyender pada tembok thia, supaya tidak sampai kena kelanggar....

Setelah perubahan sikapnya jago tua itu, Sin Cie merasa inilah musuh pertama yang paling tangguh yang ia pernah ketemukan. Tak dapat ia dekati lawan, sedang dengan pedang kayunya, tak bisa ia tabas tongkat itu.

"Tidak bisa lain, mesti aku gunai ajaran suhu," pikir dia akhirnya. Dan lantas ia mulai dengan perubahannya, hingga sekarang ia tampaknya bergerak lambat atau ayal.

Sebagai ahli, Un Beng San bisa lihat kelambatan bergerak dari lawannya yang muda ini. Ia jadi sangat girang. Ia tidak hendak mensia-siakan ketika lagi. Begitu terbuka ketikanya, ia menyapu dengan hebat.

Nampaknya Sin Cie sudah lelah, ayal segala gerak- geriknya, akan tetapi ketika pinggangnya disapu, mendadak ia sambar ujung tongkat. Ia menggunai tangan kiri, ia menyekal dengan keras, ia menarik dengan kaget sambil menekan, berbareng dengan mana tangannya yang kanan, yang menyekal pedang-pedangan, menyambar langsung kedepan.

"Bret!" demikian satu suara nyaring, dari pecahnya cita. Dan bajunya Un Beng San, tertua ketiga dari Cio Liang

Pay, robek karenanya! Masih Sin Cie berlaku murah hati,

jikalau tidak, ujung pedang pasti sudah menyambar terus kedada! Un Beng San kaget berbareng ia rasai telapakan tangannya sakit disebabkan gentakan Sin Cie, karena ia berbelit, ia terpaksa lepaskan tongkatnya jang tercekal keras lawannya itu.

Sin Cie ada berhati mulia, tak mau ia bikin malu jago tua itu, selagi menarik pulang pedangnya, ia sodorkan tangan kirinya, berikut tongkat ditangannya, akan kembalikan tongkat itu. Kejadian ini dilakukan dengan cepat luar biasa, kecuali ahli silat, jarang ada yang bisa lihat pertukaran tongkat itu.

Sam-yaya itu mendongkol sangat, begitu ia sambuti tongkatnya, begitu ia menyerang pula! Sin Cie terkejut, ia heran. Orang sudah kalah, kenapa orang masih berlaku begini tidak berkepantasan? Tetapi tidak sempat ia berpikir. Dengan sebat ia egos tubuh kebelakang, dengan lompat mundur sedikit untuk bebeaskan diri dari serangan seumpama bokongan itu.

Masih jago tua itu tidak mau mengerti, ia tarik tongkatnya untuk lagi sekali dipakai menyerang pula. Tapi sekarang berbareng terdengar suara "Ser!" tiga kali, dari mulut naga-nagaan dari tongkat itu melesatlah tiga batang paku baja, menherang kearah tiga penjuru: atas, tengah dan bawah! Jarak diantara kedua orang itu ada dekat, karena serangan senjata rahasia itu membarengi totokan tongkat.

Un Ceng kaget, sampai ia berseru diluar keinginannya, hampir ia berlompat kalau tidak ibunya tarik tangannya.

Sin Cie terkejut, inilah ia tidak sangka. Tapi ia tidak menjadi gugup.

Ia lantas menyampok, beruntun tiga kali. Ia telah menggunai tipu silat "Kong ciak kay pang" atau "Burung merak buka sajap". Dengan tangkisannya ini semua tiga paku jatuh ketanah. Inilah salah satu kepandaian istimewa dari Hoa San Pay. Setelah itu, ia tidak diam saja, sambil maju setindak, ia tekan ujung tongkat dengan pedang- pedangannya.

Dengan tiba-tiba Un Beng San merasai tenaga menekan yang berat sekali, sedang itu waktu, ia belum sempat tarik pulang tongkatnya. Rupanya tadi ia percaya ia pasti akan berhasil dengan serangan senjata rahasia itu. Ia mundur,

272 akan tancap kaki, untuk pasang kuda-kuda, guna pertahankan diri.

Sin Cie menekan terus, sampai ujung tongkat mengenai tanah, sesudah mana, mendadak ia angkat sebelah kakinya yang kiri, akan injak ujung tongkat.

Jago tua itu kerahkan tenaganya, untuk tarik pulang tongkatnya.

Sin Cie tidak menginjak lama, dengan sekonyong- konyong ia angkat kakinya, sambil terus mencelat mundur, maka itu, dengan gampang sekarang Beng San bisa angkat dan tarik tongkatnya itu. Akan tetapi pada lantai, yang terbuat dari batu hijau, ada lobang bekas kepala tongkat itu! Semua hadirin terperanjat; mereka saling mengawasi dengan tercengang.

Un Beng San kena dipecundangi, ia mendongkol bukan buatan. Dengan kedua tangannya, ia lemparkan tongkatnya keatas wuwungan dari thia itu, hingga dilain saat terdengarlah satu suara nyaring yang dahsyat, sebab tongkat itu membuat satu lobang dan nembus keluar wuwungan! "Alat ini kena dikalahkan pedang kayumu, buat apa dipakai lagi!" kata jago tua itu.

Sin Cie tampak orang murka besar, didalam hatinya dia berkata: "Sebenarnya kau yang kalah dari aku, bukannya tongkatmu yang kalah dari pedang-pedanganku!"

Posting Komentar