Naga Sakti Sungai Kuning Chapter 02

NIC

Liu Bhok Ki sendiri hancur hatinya semenjak peristiwa yang menimpa keluarganyaa. Hatinya remuk, kebahaagiaan hidupnya lenyap dan dia hidup seperti seorang setengah gila, mengasingkan diri di Kui-san (Bukit Setan) yang berada di Lembah Sungai Huang-ho yang paling sunyi. Disini dia mendirikan pondok tinggal di situ bersama dua buah kepala. Yang sebuah adalah kepala Coa Kun Tian dan setelah direndamnya dengan ramuan yang membuat kepala itu tak dapat membusuk, bahkan kini mongering seperti kayu, dan digantungny di tengah pondok. Yang kedua adalah kepala isterinya Phang Hui Cu yang cantik jelita, yang direndamnya dalam anggur di botol besar dan kedua kepala inilah yang selalu menemaninya di dalam pondok sunyi itu.

Selama dua puluh tahun lebih ini, pihak Hek-Houw-pang tidak pernah diam untuk berusaha membalas dendam. Sudah puluhan kali, bahkan hampir setiap tahun ada saja dari pihak Hek-Houw-pang yang mencari Liu Bhok Ki untuk membalas dendam. Namun, selama ini belum pernah ada yang berhasil. Bahkan sebaliknya, ada saja pihak Hek-Houw-pang yang roboh dan tewas. Oleh karena itu, dendam Hek-Houw-pang terhadap Liu Bhok Ki menjadi semakin berlarut, semakin mendalam. Hal ini sebenarnya membuat Liu Bhok Ki merasa sedih juga. Akan tetapi apa hendak dikata, keadaan sudah seperti itu. Dia tidak mungkin mundur kembali, dan dia selalu siap membela diri kalau tiba serangan dari pihak Hek-Houw- pang.

Bahkan pada pagi hari itu, selagi dia makan, datang serangan gelap dalam bentuk sebatang piauw yang dapat ditangkapnya dengan sepasang sumpitnya. Cara menghadapi serangan gelap senjata piauw beracun itu saja sudah menunjukkan betapa lihaynya pria setengah tua tinggi besar ini. Memang sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat dan namanya pernah besar sebagai seorang pendekar yang selalu menentang para penjahat di sepanjang sungai Huang-ho. Akan tetapi, semenjak peristiwa menyedihkan itu, dimana dia terpaksa membunuh isteri tercinta dan sahabatnya terbaik, namanya lenyap dari dunia kangouw dan dia mengasingkan diri di pondok itu. Hanya kadang-kadang saja dia pergi ke dusun terdekat untuk membeli kebutuhan sehari-hari, ditukar dengan hasil dia bercocok tanam atau mencari ikan di sungai Huang-ho yang berada di dekat pondoknya.

Peristiwa itu sungguh menghancurkan kehidupannya. Dia seolah-olah telah mati, dan selalu terancam bahaya oleh pihak Hek-Houw-pang. Maklum bahwa para musuhnya itu takkan pernha berhenti berusaha untuk membalas dendam, diapun tidak tinggal diam dan setiap hari, kalau tidak bekerja, Liu Bhok Ki melatih diri, memperdalam ilmu-ilmunya, bahkan dengan bakat dan kecerdikannya, dia telah menciptakan beberapa macam ilmu silat yang hebat. Kini, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, dia memiliki ilmu kepandaian yng hebat, dan jarang ada orang yang akan mampu menandinginya.

Kini Liu Bhok Ki sudah tidak “berbicara” lagi dengan wajah kepala wanita di dalam botol, melainkan duduk termenung memandangi piauw yang tadi ditangkap sepasang sumpitnya dan kini dia letakkan diatas meja didepannya..

Sebatang piauw yang bentuknya segi tiga dan diujung belakangnya dihiasi ronce-ronce merah. Piauw ini kecil dan ringan sekali, akan tetapi runcing dan mengandung racun yang amat berbahaya, hal ini dapat dikenalnya dari baunya yang amis seperti bau ular. Dan melihat bentuk piauw yang kecil ringan itu, apalagi melihat hiasan ronce merah, Liu Bhok Ki dapat menduga bahwa yang mempergunakannya patutnya seorang wanita. Sepasang alisnya berkerut. Selama dua puluh tahun lebih ini, belum pernah Hek-Houw-pang mengirim seorang murid wanita untuk mencoba membunuhnya. Rasa gatal pada tangan kanannya membuat dia tiba-tiba seperti orang terkejut dan cepat dia memeriksa tangan kanannya, matanya terbelalak melihat betapa ada tanda menghitam pada dua jarinya, di permukaan telunjuk dari jari tengah.

“Ahhh ……” serunya perlahan dan cepat mengambil sebuah buntalan yang tergantung pada rak senjata.

“Sungguh tolol, memandang rendah lawan!” gumamnya sambil membuka buntalan dan dia mengeluarkan sebuah bungkusan kuning.

Dibukanya bungkusan itu dan ditaburkan sedikit bubukan merah pada noda hitam di kedua permukaan jari tangan, digosok-gosoknya dan noda itupun lenyap, rasa gatalnya lenyap.

Bubuk merah itu adalah obat manjur sekali untuk melawan racun. Kiranya, penyerang dengan piauw tadi agaknya sengaja melontarkan piauw secara perlahan saja agar dia dengan mudah dapat menangkapnya dengan tangan atau sumpit. Dan biarpun ditangkap dengan sumpit, namun agaknya ada bubuk atau hawa beracun dari piauw itu yang mengenai jari tangannya seolah-olah racun itu mampu menjalar melalui sumpit, mengenai dua jari tangan yang kalau tidak cepat diobati akan berbahaya sekali baginya, dapat membuatnya mati konyol!

Kini tahulah dia bahwa pelempar piauw itu merupakan seorang lawan tangguh yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan !

Pada saat itu, muncullah belasan orang di depan pintu pondok. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun, mengiringkan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini berwajah tampan dan begitu melihat wajah pemuda itu, Liu Bhok Ki merasa jantungnya berdebar tegang.. Wajah itu! Persis wajah pria yang telah menggoda dan menggauli isterinya. Persis wajah Coa Kun Tian yang kepalanya kini tergantung di tengah ruangan pondok. Pemuda itu kini berdiri memandang kepada kepala kering yang tergantung itu, kepala yang bergoyang dan berputar. Ketika kepala itu menghadap keluar kepadanya, tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut.

“Ayah ……!” Dan diapun sambil berlutut memberi hormat delapan kali kearah kepala yang tergantung itu. Sejak tadi Liu Bhok Ki sudah bangkit berdiri dan dia memandang bengong kepada pemuda itu. Putera Coa Kun Tian ? rasanya tidak mungkin! Bukankah Kun Tian ketika menzinai isterinya dahulu itu belum menikah? Dia tahu benar akan hal ini karena dia bersahabat karib dengan Kun Tian dan dia mengenal betul keluarga ketua Hek-Houw-pang.

Bagaimana kini muncul seorang pemuda yang menyebut ayah kepada mendiang Coa Kun Tian? Akan tetapi, kalau bukan puteranya, lalu siapa dan mengapa mengaku anak? Dan wajah itu! Dia tidak akan meragukan bahwa itu adalah wajah Kun Tian, dan patut dipercaya bahwa pemuda ini memang putera bekas sahabat yang dibunuhnya itu.

Setelah memberi hormat kepada kepala yang terayun-ayun itu, si pemuda yang tampan berpakaian seba putih itu bangkit berdiri memandang kepada Liu Bhok Ki dengan sinar mata penuh kemarahan dan dendam. Pandang mata seperti ini sudah biasa dirasakan oleh Bhok Ki dari para anggota Hek- Houw-pang, maka diapun balas memandang dengan sikap tenang saja.

Pemuda itu melangkah mundur, dan para anggota Hek- Houw-pang yang berada dibelakangnya juga ikut mundur. Sambil melangkah mundur tanpa melepaskan pandang matanya dari laki-laki setengah tua di dalam pondok itu, si pemuda lalu berkata, suaranya halus walaupun mengandung kemarahan yang ditahannya. “Liu Bhok Ki, keluarlah dan mari kita selesaikan perhitungan yang telah terpendam lama sekali ini!”

Liu Bhok Ki melangkah maju, mulutnya tersenyum dan ketika dia berada diluar pondok, di udara terbuka, dia lalu tertawa bergelak. Tubuhnya terguncang-guncang dan wajahnya dilempar ke belakang, menengadah, seolah-olah dia tertawa kepada langit diatas. “Ha-ha-ha!” Lalu dia menunduk dan menatap pemuda didepannya itu penuh perhatian.

“orang muda, engkau telah mengenal namaku, akan tetapi aku belum mengenalmu. Biasanya, tidak pernah aku menanyakan nama orang-orang Hek-Houw-pang yang datang dengan maksud membunuh aku. Entah sudah berapa banyak, mungkin lebih dari enam puluh orang Hek-Houw-pang yang tewas dalam usaha mereka membunuhku. Akan tetapi engkau lain. Sikapmu menarik hatiku, terutama ketika engkau tadi berlutut dan menyebut ayah kepada Coa Kun Tian. Benarkah engkau putera Kun Tian dan siapa namamu?”

Sikap pemuda itu tenang dan cukup gagah, nampak ketabahan luar biasa pada sinar matanya.

“Namaku Coa Siang Lee dan memang mendiang Coa Kun Tian adalah ayah kandungku. Sebagai putera kandungnya, tentu engkau cukup maklum apa yang menjadi maksud kunjunganku ini. Bersiaplah untuk mengadu nyawa denganku, Liu Bhok Ki!”

Liu Bhok Ki memandang ragu dan penuh selidik. Biarpun wajah pemuda pakaian putih itu memang serupa dengan mendiang Kun Tian, akan tetap bagaimana mungkin Kun Tian yang masih belum menikah itu kini tiba-tiba mempunyai anak?

“Hemmmm, ketahuilah bahwa Kun Tian tadinya adalah sahabat karibku dan aku tahu benar bahwa dia belum pernah menikah. Bagaimana kini tiba-tiba saja muncul engkau yang mengaku sebagai puteranya?”

Mendengar ucapan ini, wajah yang tampan itu berubah merah, dan tiga belas orang anggota Hek-Houw-pang, yang dapat dikenal dengan lukisan harimau hitam kecil di dada sebelah kiri baju mereka, saling pandang dan merekapun kelihatan rikuh. Memang, pemuda bernama Coa Siang Lee ini adalah keturunan aseli dari Coa Kun Tian, putera kandung yang kinimenjadi jago mereka yang diharapkan, akan mampu menandingi dan merobohkan musuh besar mereka. Akan tetapi kelahiran Coa Siang Lee ini tidak sah, karena ibunya mengandung sebagai hasil hubungan gelap dengan mendiang Coa Kun Tian. Setelah Kun Tian meninggal barulah diketahui bahwa gadis yang digaulinya itu telah mengandung!

“Liu Bhok Ki, aku datang bukan untuk menceritakan riwayatku kepadamu. Bagaimana duduknya perkara aku menjadi putera ayahku, bukan urusanmu. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah putera kandungnya dan aku datang untuk menuntut balas atas kematian ayahku di tanganmu!”

Posting Komentar