"Di puncak sana itu."
Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno.
"Bangunan apakah itu?"
Tanya Kwi Lan.
"Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang-pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini."
"Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?"
Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya.
"Apakah dugaanku keliru?"
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang.
"Kedua orang Guruku adalah.. orang-orang hukuman di kuil itu.."
"Apa..?"
Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
"Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang menyeleweng?"
"Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi.. entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan. Tidak mudah menemui mereka di sana, kalau, ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua orang Guruku."
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol keluar,
"Siangkoan Li, keadaan Gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di Kuil Lu-liang-pai?"
Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu bercerita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.
"Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh Ayah."
Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan. Sebagai seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang.
Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang terdapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkinkan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan Kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebarnya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi jembatan. Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum terpenuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang.
Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai gala loncatan, sampai jugalah ia, di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur. Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang yang tertutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah. Dia seorang anak pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan. Akhirnya setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi.
Dua orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua kurus sekali sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan tulang tulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan tetapi jenggotnya, lebat dan panjang. Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya pucat seputih tembok.
"Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan berada di neraka berjumpa seorang iblis cilik?"
Si Muka Merah berkata sambil terkekeh-kekeh.
"Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?"
Kata Si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek. Melihat keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biarpun Siangkoan Li seorang anak yang pemberani, ia merasa serem juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu bertanya.
"Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?"
Dua orang- kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut.
"Kau bocah dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?"
Tanya yang muka putih. Siangkoan Li terkejut. Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.
"Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama Ayahku berkunjung kepada para Losuhu di Lu-Lang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang."
Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai ke tempat itu.
"Ayahmu Siangkoan Bu Ketua Thian-liong-pang? Ha-ha-ha"
Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju dan.. menyusup keluar dari kerangkeng. Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin dapat lolos keluar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak susah? Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat keadaan ini, sungguhpun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap suka memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orang-orang sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf"
Si Muka Merah tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha. Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus. Eh, bocah, maukah engkau menjadi murid kami?"
Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali. Sudah seringkali ia mendengar dari ayahnya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan dan seringkali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat menjadi murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid. Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala,
"Teecu akan merasa girang dan bahagia sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)"
"Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana kalau kelak ternyata salah pilih?"
Tegur Si Muka Putih.
"Heh-heh-heh"
Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih? Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil belajar"
Siangkoan Li terkejut sekali.
"Tapi.. tapi.. teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah.."
Bantahnya dengan muka pucat. Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar.
"Hah, boleh kau coba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang"
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai.
"Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang Guruku itu."
Siangkoan Li melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat tertarik.
"Selama itu belum pernah kedua orang, suhu itu memberitahukan nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?"
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata,