“Hemm, kalian minta pajak limapuluh tail perak? Biar limaratus atau limaribu tail sekalipun aku dapat memberi, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu siapa yang memungut pajak di sini! Kalian ini siapakah yang begitu sombong hendak memaksa orang membayar pajak? Kalian bukan pemerintah yang menguasai daerah ini. Kalau mau mengemis, jangan dengan paksaan begitu!”
Semua anggauta Pek-lian-kauw melotot mendengar penghinaan itu. “Mengemis? Jahanam busuk, kami adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang berkuasa di daerah ini!” bentak orang yang mewakili para anggautanya itu.
Kam Ki tersenyum. Dia sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw, sebuah perkumpulan besar dan kuat yang berpengaruh di antara para tokoh di dunia kang-ouw, seperti yang pernah dia dengar dari Hwa Hwa Cinjin. Tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan Pek-lian-kauw dan alangkah baiknya kalau dia dapat menjadi pemimpin mereka. Namanya akan menjadi terkenal, ditakuti dan dihormati dunia kang-ouw dan dia mempunyai banyak anak buah yang boleh diandalkan. Daripada hidup tanpa tempat tinggal dan kedudukan tetap, alangkah baiknya kalau dia dapat menjadi ketua Pek- lian-kauw, walaupun hanya ketua cabang saja.
“Dengar, kalian orang-orang Pek-lian-kauw. Aku ingin berteman dan bicara dengan pimpinan kalian. Soal pajak itu, jangan khawatir, seratus kali dari itupun aku sanggup memberinya!”
Orang-orang itu tentu saja memandang rendah pemuda yang tampan dan berpakaian mewah ini. Pemuda ini tidak membawa senjata, tampaknya seperti seorang kongcu (tuan muda) yang kaya saja.
Karena melihat Hek-bin Moko, pemimpin mereka, masih diam saja karena si muka hitam ini yakin bahwa tanpa dia turun tangan, belasan orang anak buahnya tentu akan mampu mengatasi pemuda itu, maka para anak buah Pek-lian-kauw segera mengepung Kam Ki. Juru bicara mereka tadi, seorang anggauta Pek-lian-kauw berusia sekitar empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, maju menghadapi Kam Ki dan menghardiknya.
“Bocah macam engkau hendak bertemu dengan pimpinan kami yang terhormat? Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan buntalan itu kepada kami dan cepat menggelinding pergi dari sini kalau engkau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!”
Kam Ki tersenyum akan tetapi sepasang matanya mencorong. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali. Akan tetapi dalam benaknya masih terbayang keinginannya untuk dapat menjadi pemimpin cabang Pek-lian-kauw, maka dia menahan kesabarannya dan meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh melakukan pembunuhan kalau menghendaki kedudukan itu.
“Coba kalian semua maju dan siapa yang dapat menghancurkan kepalaku lebih dulu, boleh memiliki buntalan ini. Kalian tahu, dalam buntalan ini terdapat emas dan perak yang amat mahal. Hayo hancurkan kepalaku!” Di antara para anggauta yang jumlahnya enambelas orang itu, ada yang tertawa geli. Kiranya mereka berhadapan dengan seorang pemuda gendeng (ediot)! Karena merasa diri gagah, tentu saja mereka tidak mau mengeroyok seorang pemuda gila, dan mereka sama sekali tidak percaya akan cerita tentang emas dan perak itu.
Anggauta Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu dengan marah membentak, “Bocah gila, mampuslah!” Dia mengayun tangannya yang besar menghantam ke arah kepala Kam Ki dan agaknya dia tidak bicara kosong belaka kalau hendak memecahkan kepala Kam Ki karena mungkin hantaman yang dahsyat itu akan dapat memecahkan kepala seorang laki-laki biasa. Akan tetapi hantaman itu luput dan tiba-tiba tubuhnya terbanting roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih-rintih. Memegangi perut yang rasanya mulas bukan main!
Lima belas orang rekannya terkejut dan juga marah. Mereka segera maju mengeroyok. Akan tetapi empat orang yang berada paling depan, juga berpelantingan dan tidak mampu bangkit, terkena tamparan kedua tangan Kam Ki. Masih untung mereka tidak tewas karena Kam Ki membatasi tenaganya, namun cukup membuat mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali.
Kini sisa anak buah Pek-lian-kauw mencabut senjata dan dengan buas mereka menyerang Kam Ki dengan golok atau pedang. Hujan senjata itu disambut Kam Ki dengan tenang, namun tubuhnya berkelebatan di antara sebelas orang pengeroyok itu sambil membagi-bagi tamparan dan tendangan. Dalam waktu yang cepat, enambelas orang anak buah Pek-lian-kauw itu sudah roboh semua dan belum ada yang dapat bangkit kembali karena mereka masih mengaduh-aduh sambil memegangi bagian yang kena tampar atau tendang!
Wajah Hek-bin Moko menjadi semakin hitam. Kedua matanya yang lebar itu melotot dan dia segera menghampiri Kam Ki. Pemuda itu memandang penuh perhatian. Yang berada di depannya adalah seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, bajunya putih dan memakai jubah yang terbuka sehingga tampak gambar bunga teratai putih dalam lingkaran berdasar biru. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita putih model gelung para tosu (pendeta Agama To), dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.
“Engkaulah pemimpin Pek-lian-kauw di sini?” Kam Ki bertanya.
“Pimpinan cabang Pek-lian-kauw di sini adalah kami bertiga. Aku, ji-suheng (kakak seperguruan kedua) dan twa-suheng (kakak seperguruan pertama). Siapakah engkau yang berani menentang kami dan merobohkan anak buahku?”
“Aku Kam Ki dan engkau tadi melihat sendiri bahwa anak buahmu yang menyerang aku sehingga mereka mencari penyakit sendiri. Akan tetapi engkau juga melihat bahwa aku tidak membunuh mereka, hal ini karena aku ingin menjadi pemimpin Pek-lian-kauw yang menguasai daerah ini.”
“Keparat sombong!” Hek-bin Moko sudah mencabut pedangnya. Langsung saja dia menyerang Kam Ki dengan pedangnya. Hal ini saja menunjukkan betapa curangnya pemimpin Pek-lian-kauw ini. Dia menyerang dengan pedang lawan yang tidak bersenjata dan belum siap tanpa peringatan terlebih dulu.
“Singgg……!” Pedang itu mendesing dan menyambar ke arah leher Kam Ki. Melihat sambaran pedang itu cukup dahsyat, Kam Ki tahu bahwa lawannya bu-kan orang lemah seperti para anak buahnya tadi. Dia mengelak dengan mudah. Hek-bin Moko mengejar dengan serangan bertubi-tubi. Namun sama sekali semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh lawan.
Diam-diam Kam Ki membuat perhitungan. Sebaiknya kalau dia bertemu dengan para pimpinan yang lain dan mengajak mereka bertanding daripada membiarkan perkumpulan itu mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengeroyoknya. Maka dia mengambil keputusan untuk tidak melukai Hek-bin Moko, hanya membuat lawan menjadi jerih dan melarikan diri ke sarangnya untuk mencari bala bantuan.
Setelah mendapat kesempatan, dia menotok siku lengan kanan lawan sehingga Hek-bin Moko merasa tangannya kaku dan dengan mudah pedangnya dapat dirampas Kam Ki. Pemuda ini lalu menggunakan kedua tangannya, mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, Hek-bin Moko terbelalak, lalu dia melompat pergi dan sebelum melarikan diri dia berteriak.
“Orang she Kam, kalau memang gagah berani, tunggulah pembalasanku di sini!”
Kam Ki tersenyum. Inilah yang dia kehendaki. Dia melihat belasan orang yang roboh tadi sudah ada yang merangkak bangun dan mereka saling tolong. Dia tidak memperdulikan mereka lalu melompat jauh dan membayangi Hek-bin Moko yang lari mendaki bukit.
Tergopoh-gopoh Hek-bin Moko memasuki pondok besar dalam perkampungan Pek-lian-kauw itu, sebuah pondok besar yang berada di tengah perkampungan, di antara banyak pondok-pondok yang kecil. Setelah tiba di ruangan tengah di mana dia lihat kedua pemimpin Pek-lian-kauw yang lain duduk, dia menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan terengah-engah.
“Celaka, ji-suheng dan twa-suheng. Aku dan enambelas orang anak buah telah dikalahkan oleh seorang pemuda bernama Kam Ki yang tadinya kami hadang. Dia lihai bukan main dan katanya ingin bicara dengan para pimpinan Pek-lian-kauw!”
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko mengerutkan alis mereka. Mereka berdua marah sekali. Siapa orangnya berani main-main dengan Pek-lian-kauw, pikir mereka.
“Kurang ajar!” kata Ang-bin Moko sambil bangkit berdiri. “Kita harus cari dan hajar bocah itu!”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ambang pintu ruangan itu telah berdiri seorang pemuda yang bukan lain adalah Kam Ki. Pemuda itu tersenyum dan sikapnya tenang sekali.
“Tidak perlu repot-repot mencari. Aku sudah berada di sini dan aku memang ingin bertemu dan bicara dengan para pimpinan Pek-lian-kauw.”
Tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terkejut bukan main. Mereka semua bangkit dan Hek-bin Moko berseru, “Inilah orangnya yang bernama Kam Ki!”
“Benar, aku Kam Ki dan aku menawarkan diri untuk menjadi pemimpin kalian, memimpin cabang Pek- llan-kauw ini agar memperoleh kemajuan!” Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko marah bukan main. “Bangsat cillk! Orang macam engkau hendak menjadi pemimpin cabang Pek-lian-kauw? Hemm, agaknya engkau sudah bosan hidup!” bentak Ang-bin Moko yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan.
“Berani benar engkau datang memusuhi kami!” bentak pula Pek-bin Moko.
“Tenanglah! Kalau aku datang untuk memusuhi kalian, tentu si muka hitam ini dan belasan orang anak buahnya tadi sudah kubunuh semua! Tidak, aku datang hendak memimpin kalian dan memajukan Pek- lian-kauw yang sudah lama kudengar namanya. Bahkan guruku menganjurkan agar aku membantu Pek- lian-kauw.”
“Gurumu? Siapa gurumu?” tanya Ang-bin Moko dengan alis berkerut. Alangkah beraninya pemuda ini sehingga membuat dia ingin mengetahui siapa gurunya.
“Aku mempunyai banyak guru dan yang kumaksudkan adalah guruku kedua, yaitu Hwa Hwa Cinjin, pertapa di pegunungan Himalaya.”
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw itu terkejut. Mereka sudah lama mendengar akan nama besar Hwa Hwa Cinjin yang kabarnya bahkan pernah mengajarkan suatu ilmu kepada ketua umum Pek-lian- kauw pusat! Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi hati-hati dan ragu untuk mengerahkan semua anak buah untuk mengeroyok Kam Ki.
“Kam Ki, engkau hanyalah seorang pemuda. Bagaimana engkau akan dapat menjadi ketua cabang Pek- lian-kauw? Kami bertiga, aku Ang-bin Moko menjadi ketua cabang dan dua orang suteku (adik seperguruanku) ini, Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko, menjadi ketua kedua dan ketiga. Sekarang, katakan, apa kehendakmu?”
“Begini, kita bukanlah musuh, maka kita atur dengan adil. Aku akan bertanding menghadapi kalian bertiga untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi ketua. Kalau aku kalah dan tewas, tidak akan ada yang menuntut kalian. Akan tetapi kalau kalian bertiga tidak mampu mengalahkan aku, maka kalian harus mengangkat aku menjadi ketua dan kalian bertiga menjadi pembantu- pembantuku. Bagaimana pendapat kalian?”