“Tinggalkan kami berdua,” kata Pek-hwa, “biar aku sendiri yang melayani Thio-kongcu.”
A-kui dan A-hui tersenyum dan dengan langkah genit mereka meninggalkan ruangan makan itu. Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira. Pek-hwa Sianli dengan penuh perhatian melayani Kam Ki. Sekali ini ia tidak berani main-main seperti kalau menjamu makan para pemuda yang pernah dibawanya pulang. Kepada para pemuda itu, ia selalu menaburkan obat bius yang mengandung perangsang dalam anggur. Akan tetapi sekali ini ia tidak berani melakukan hal itu. Kalau Kam Ki yang amat lihai mengetahui dan menjadi curiga, ia bisa celaka!
Setelah makan minum sampai puas, Pek-hwa Sianli tersenyum memandang wajah Kam Ki yang kemerahan. Pemuda ini selama menjadi murid Leng-hong Hoatsu, tentu saja tidak pernah minum minuman keras. Akan tetapi ketika dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, pertapa sesat ini suka minum arak dan Kam Ki juga ketularan, walaupun dia bukan peminum berat, namun dia sudah sering minum arak. Maka, biarpun anggur yang disuguhkan Pek-hwa Sianli tidak sekeras arak, namun karena dia minum agak banyak, maka kulit mukanya menjadi merah.
“Mari kita duduk di dalam, twako, kita lanjutkan percakapan kita tadi.”
Pek-hwa Sianli menggandeng tangan Kam Ki yang menurut saja dengan gembira ketika diajak memasuki ruangan dalam. Kam Ki menahan napas saking kagumnya. Ruangan ini bukan ruangan tidur, akan tetapi lebih pantas disebut ruangan bersantai! Terhias lukisan-lukisan indah, pemandangan alam, binatang- binatang dan lukisan wanita dengan pakaian tipis yang tembus pandang, dalam posisi yang memikat. Di atas lantai yang bersih itu tergelar kasur lebar dengan tilam sutera merah muda dan bantal-bantal yang sarungnya dari sutera disulam. Di dinding dekat kasur terdapat sebuah rak pendek dengan beberapa botol anggur bermacam rasa dan di dekatnya tergantung sebuah yang-kim (siter).
“Mari, duduklah, Thio-twako,” kata Pek-hwa Sianli sambil membuka sepatunya lalu ia duduk di atas kasur.
Kam Ki juga melepas sepatunya dan duduk di depan wanita itu. Pek-hwa Sianli menuangkan anggur merah ke dalam dua cawan perak dan menyerahkan yang sebuah kepada pemuda itu. Mereka minum anggur merah yang rasanya manis dan baunya harum. Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah berseri.
“Twako, aku merasa berbahagia sekali dapat berkenalan dan bersahabat dengan engkau yang telah menyelamatkan nyawaku. Selama ini, aku merasa kesepian, twako. Hidup di tempat sunyi ini, hanya ditemani dua orang pelayanku A-kui dan A-hui itu.”
“Hemm, tentu mereka itu merupakan pelayan yang amat setia padamu, Hwa-moi. Akan tetapi, kalau tadi engkau sudah mendengar riwayatku, kini aku ingin sekali mendengar tentang dirimu. Mengapa seorang gadis…… eh, seperti engkau……”
“Seperti apa, twako?” 'Maksudku, gadis secantik engkau. ”
“Benarkah, twako? Sudah dua kali engkau mengatakan aku cantik. Terima kasih atas pujianmu. Nah, lanjutkan pertanyaanmu tadi.”
“Mengapa engkau hidup seorang diri dan kesepian di tempat sunyi ini? Padahal engkau berkepandaian tinggi dan kulihat engkau kaya raya. Tentu engkau dapat tinggal di kota besar dalam sebuah gedung mewah dan…… tentu saja, bersama seorang suami yang pandai, kaya raya dan mencinta.”
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi muram. Alis yang hitam melengkung itu berkerut dan bola mata yang jernih itu menjadi basah. Pek-hwa Sianli menghela napas panjang.
“Aih…… kata-katamu menusuk perasaanku dan membuat aku sedih sekali me-ngenang nasibku yang buruk, twako. ” katanya lirih dan jari tangannya menyeka dua butir air mata yang bergantung di bulu
matanya.
“Ah, kalau begitu maafkan aku, Hwa-moi. Kalau engkau tidak mau, tidak usah kauceritakan riwayatmu yang menyedihkan hatimu,” Kam Ki cepat berkata.
Sepasang bibir itu tersenyum lagi. “Tidak, twako. Engkau sudah kuanggap sebagai seorang sahabat baik dan engkau boleh mengetahui riwayatku yang menyedihkan. Seperti juga engkau, aku seorang yatim piatu, twako. Ayah ibu sudah tidak ada, juga aku tidak mempunyai saudara, tidak ada sanak kadang, hanya sebatang kara hidup di dunia ini.”
“Wah, kasihan engkau, Hwa-moi.”
“Engkau juga! Kita sama-sama sebatang kara, bukan?”
“Akan tetapi engkau wanita, dan orang secantik engkau tentu tidak lama hidup seorang diri!”
“Aku hidup sebatang kara dan merantau, mempelajari ilmu-ilmu silat untuk bekal menjaga diri. Dan sebetulnya akan tetapi jangan engkau kecewa, twako.”
“Kenapa mesti kecewa? Ceritakan saja terus terang.” “Sebetulnya aku…… aku pernah menikah……”
Kam Ki terkejut. “Ah, engkau punya suami? Kalau begitu, kehadiranku di sini dapat membuat suamimu salah sangka dan marah!” Kam Ki hendak bangkit, akan tetapi wanita itu memegang tangannya dan menariknya, menahannya untuk tetap duduk.
“Aku hanya pernah menikah, sekarang tidak lagi. Aku pernah menjadi isteri orang, akan tetapi perjodohan kami hanya bertahan beberapa bulan saja.”
“Eh? Kenapa begitu, Hwa-moi?” “Pada suatu hari aku menangkap basah suamiku, mendapatkan dia menyeleweng, berjina dengan seorang wanita lain. Aku merasa sakit hati sekali, marah dan mata gelap, maka kubunuh mereka berdua!”
Setelah berkata demikian, Pek-hwa Sianli mengepal tinju dan mukanya berubah merah. Apa yang ia ceritakan itu memang benar. Terjadinya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Setelah membunuh suaminya yang menyeleweng, ia berubah. Ia menjadi seorang wanita yang sakit hati dan mendendam kepada pria, menjadi kejam bukan main, mempermainkan pemuda-pemuda untuk memuaskan nafsunya, kemudian setelah bosan ia membunuh mereka!
“Ah, aku ikut menyesal mendengar riwayatmu yang menyedihkan itu, Hwa-moi.”
Pek-hwa Sianli tersenyum lagi. “Aku sudah melupakan semua peristiwa itu, twako. Sejak itu, aku tidak pernah lagi mau berdekatan dengan pria. Bagiku semua pria itu tidak setia!”
“Wah, kalau begitu…… ah, kenapa sekarang kita bersahabat dan berdekatan? Bukankah engkau membenci semua pria?” Kam Ki memandang penuh curiga.
Pek-hwa Sianli memegang tangan Kam Ki dan…… mencium tangan itu. “Aih, engkau lain lagi, twako. Engkau seorang pria jantan sejati yang telah menolongku. Engkau tidak seperti para pria lainnya. Twako, setelah kita menjadi sahabat, ada sebuah keinginanku dan kuharap engkau tidak akan menolak permintaanku ini.”
“Hemm, permintaan apakah itu, Hwa-moi?” tanya Kam Ki sambil menarik lepas tangannya dengan jantung berdebar tegang karena belum pernah dia bergaul dengan wanita sedekat ini, apalagi wanita secantik Pek-hwa Sianli.
“Begini, twako. Aku sejak kecil suka sekali akan ilmu silat dan aku melihat tadi betapa hebat gerakan silatmu. Maka, aku ingin menguji diriku sendiri dan aku minta agar engkau suka melayani aku untuk bertanding silat sehingga aku dapat mengukur kemampuan sendiri.”
Ia lalu memandang dengan mata setengah terkatup dan bibir terbuka sehingga wajahnya tampak menggairahkan dan seolah menantang. Kam Ki tidak dapat menolak permintaan itu, apalagi dia memang ingin memamerkan kepandaiannya agar dipuji dan dikagumi wanita cantik yang menggairahkan ini.
“Kalau itu keinginanmu, marilah,” katanya.