Kisah si Bangau Putih Chapter 10

NIC

Namun, pengeroyokan dua orang ini cukup membuat Wan Ceng sempoyongan karena ia sudah menderita luka-luka parah. Bagaimana dengan Tiong Khi Hwesio? Sama saja! Seperti halnya nenek Wan Ceng, tingkat kepandaian Tiong Khi Hwesio hanya menang sedikit dibanding Ok Cin Cu, seorang di antara pengeroyoknya, namun dia masih kalah dibandingkan dengan Thian Kong Cin-jin. Menghadapi pengeroyokan dua orang ini saja dia sudah kewalahan, apalagi dua orang itu dibantu oleh tiga orang anak buah yang seperti orang kesurupan itu. Biarpun kadang-kadang masih terdengar suara tertawanya, namun tubuh hwesio tua itu berkali-kali terkena hantaman tongkat dan serempetan golok sehingga dia menderita luka-luka. Namun, tidak percuma hwesio tua ini dahulu berjuluk Si Jari Maut,

Dan pedang Cui-beng-kiam di tangannya adalah sebatang pedang pusaka dari Pulau Neraka yang amat ampuh. Maka biarpun dia menderita luka-luka pula, dia berhasil membabat roboh tiga orang kesetanan itu dengan pedangnya walaupun dia pun roboh terguling karena pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menghantam pahanya. Begitu roboh, sebuah tendangan kaki Thian Kong Cin-jin membuat tubuh Tiong Khi Hwesio bergulingan. Ok Cin Cu mengejar dan menubruk dengen tongkat hitamnya yang berbentuk ular. Tongkat itu menghantam ke arah kepala Tiong Khi Hwesio tanpa dapat dielakkannya lagi. Tiong Khi Hwesio yang sudah maklum bahwa dia tidak akan mampu bertahan lagi, menggunakan kesempatan terakhir untuk menusukkan pedang Cui-beng-kiam ke arah lawan yang menyerangnya.

"Krakkk!" "Cappp....!"

Tiong Khi Hwesio terkulai dengan kepala retak, tewas seketika, akan tetapi juga tubuh Ok Cin Cu terguling dan tewas tak lama kemudian karena dadanya ditembus pedang Cui-beng-kiam! Thian Kong Cin-jin memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak percaya melihat betapa hwesio itu berhasil membinasakan sutenya, juga merobohkan tiga orang anak buah pasukan iblis itu. Pada saat yang hampir bersamaan, Wan Ceng roboh pula oleh hantaman tongkat naga di tangan Thian Kek Seng-jin, namun pada saat ia terguling karena batang lehernya patah terkena ayunan tongkat Wan Ceng melontarkan pedang Ban-tok-kiam yang mengenai perut anak buah pasukan iblis yang mengeroyoknya. Juga nenek ini, dalam pengeroyokan yang berat sebelah itu, berhasil membunuh Coa-ong Seng-jin dan tiga orang anak buah pasukan iblis.

Kakek Kao Kok Cu masih dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li, dan dua orang anak buah pasukan iblis karena dalam perkelahian selanjutnya tadi, Kao Kok Cu berhasil merobohkan Sai-cu Sin-touw ketika Maling Sakti ini berhasil menangkap ujung lengan bajunya yang kosong, yaitu yang kiri. Pada saat itu, Sin-kiam Mo-li menusukkan pedangnya yang mengenai pundak Kao Kok Cu, namun kakek sakti ini berhasil menampar dengan tangan kanannya, mengenai pelipis Saicu Sin-touw yang roboh dan tewas seketika. Pada saat tiga orang anak buah pasukan iblis menubruk, tendangan kakinya yang keras merobohkan seorang anak buah dan menewaskannya. Kini dia menghadapi pengeroyokan Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buahnya. Dia masih terus menggerakkan kedua kakinya dan sebelah tangannya untuk membela diri, namun gerakannya menjadi semakin lambat dan lemah karena banyak darah keluar dari tubuhnya yang sudah amat tua itu.

"Wuuuttttt....!"

Tiba-tiba ujung kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li menyambar. Kao Kok Cu menggerakkan tangan kanan menangkap kebutan dan mengerahkan tenaganya.

"Brettt....!"

Bulu kebutan itu putus seluruhnya dan kini bulu-bulu yang beracun itu berada di tangan Kao Kok Cu sedangkan yang tinggal di tangan Sin-kiam Mo-li hanya tinggal gagang emasnya saja.

"Cappppp....!"

Dalam kemarahannya, Sin-kiam Mo-li membarengi tusukan pedangnya yang mengenai lambung Kao Kok Cu. Kakek ini sudah kehabisan tenaga, tak mungkin lagi melindungi tubuhnya dengan sin-kangnya, apalagi karena penyerangnya juga memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka pedang itu pun memasuki lambungnya. Kao Kok Cu terhuyung dan tersenyum melirik ke arah tubuh isterinya dan tubuh Tiong Khi Hwesio yang sudah menggeletak tak bernyawa. Dia tiba-tiba menyambitkan bulu-bulu kebutan itu ke arah dua orang anak buah yang menyergapnya dari samping. Mereka itu roboh berkelojotan karena bulu-bulu itu menancap di muka dan dada mereka, sedangkan bulu kebutan itu mengandung racun yang amat kuat.

Kao Kok Cu terhuyung menghampiri tempat di mana Wan Ceng roboh tadi, dan dia pun terkulai roboh di samping mayat isterinya, menghembuskan napas terakhir dengan tenang tanpa sekarat. Sin-kiam Mo-li berdiri tertegun seperti dua orang temannya. Mereka termangu kagum dan juga kaget melihat kenyataan betapa hebatnya tiga orang tua, renta itu. Sudah begitu tua dan tenaganya sudah banyak berkurang, namun ternyata masih demikian hebatnya sehingga mereka yang datang berjumlah tujuh belas orang, kini hanya tinggal tiga orang saja yang masih hidup! Empat belas orang teman mereka telah tewas semua! Bahkan mereka bertiga, sisa dari tujuh belas orang itu yang masih hidup, juga tidak keluar dari pertempuran itu tanpa luka! Punggung Sin-kiam Mo-li masih biru dan nyeri karena tadi sempat tercium ujung lengan baju kiri kakek Kao Kok Cu,

Thian Kong Cin-jin agak terpincang karena pahanya tadi tercium tendangan Tiong Khi Hwesio, sedangkan Thian Kek Seng-jin juga robek bajunya dan pundaknya luka terkena cengkeraman tangan kiri nenek Wan Ceng! Sin-kiam Mo-li bergidik dan menoleh kepada dua orang temannya. Mereka pun berdiri termangu dan bergidik ngeri. Selama hidup mereka, tiga orang tokoh sesat ini baru sekarang menemukan tanding yang demikian lihainya, padahal tiga orang itu sudah amat tua dan mereka tadi sudah mempersiapkan segalanya, mengeroyok mereka dengan tujuh belas orang, bahkan sebelas orang anak buah mereka tadi mempergunakan pasukan iblis yang mengandung tenaga ilmu hitam! Seorang pemuda berpakaian putih muncul dari ambang pintu depan. Tiga orang itu terkejut dan sudah memegang senjata masing-masing,

Siap untuk menyerang dan memandang kepada pemuda itu penuh rasa heran dan juga gelisah. Siapa tahu, pemuda itu adalah calon lawan yang amat tangguh, pikir mereka, juga merasa heran mengapa kalau memang masih ada penghuni di dalam istana tua itu, mereka tadi tidak keluar membantu tiga orang tua yang mereka keroyok. Akan tetapi pemuda itu, yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, tidak mempedulikan mereka, melainkan melangkah maju perlahan-lahan, menghampiri tiga mayat orang tua itu yang rebah berdekatan, apalagi Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang rebah dekat sekali dan tangan kakek itu memegang tangan si nenek. Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, tanpa menangis tanpa mencucurkan air mata, namun dengan tubuh lemas, wajah pucat dan mata sayu, dia mencium ujung kaki ketiga orang gurunya yang sudah tak bernyawa lagi!

Bagaimanapun juga hatinya penuh penyesalan. Kalau saja dia tidak terikat oleh janji dan sumpahnya, bahwa selama satu tahun dia tidak boleh melakukan gerakan silat dan tidak boleh menge-rahkan tenaga sakti, kalau saja dia tadi dapat membantu tiga orang gurunya melawan pengeroyokan belasan orang jahat itu, belum tentu tiga orang gurunya tewas! Akan tetapi dia tidak boleh menurutkan perasaannya, bahkan dia dapat dengan segera melenyapkan segala penyesalan tadi. Ketika belasan orang itu datang, dia pun sudah tahu dan dialah yang memberi tahu mereka akan kedatangan belasan orang yang mencurigakan tadi. Akan tetapi, tiga orang gurunya bersikap tenang saja, bahkan lalu duduk bersila di balik pintu dan mereka memesan agar dia bersembunyi saja di dalam dan jangan memperlihatkan diri.

"Pesanku, Sin Hong, andaikata terjadi sesuatu dengan kami dan kami sampai tewas, hal yang lumrah saja bagi manusia karena ada kelahiran pasti ada kematian, maka kalau engkau mendapat kesempatan, bawalah mayat kami ke dalam istana lalu bakarlah istana ini,"

Demikian pesan kakek Kao Kok Cu dan mereka tidak sempat bicara lebih panjang karena belasan orang itu telah tiba di luar pintu.

Sin Hong lalu bersembunyi dan tiga orang tua itu membuka daun pintu mempergunakan alat rahasia yang terdapat di situ. Setelah pertempuran selesai dan dia melihat betapa tiga orang gurunya tewas, barulah Sin Hong keluar dengan hati hancur. Tak mungkin dia menyembunyikan diri lagi seperti pesan guru-gurunya, walaupun dia keluar hanya untuk memberi hormat atas kepergian ketiga orang gurunya, bukan bermaksud melawan musuh. Melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang berlutut dan mencium kaki tiga mayat kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir itu, Thian Kong Cin-jin dan Thian Kek Seng-jin yang sudah panik itu segera menggerakkan senjata untuk menyerangnya. Akan tewaslah Sin Hong kalau saja Sin-kiam Mo-li tidak menggerakkan pedangnya dan meloncat melindunginya, menangkis datangnya tongkat.

"Perlahan dulu, Totiang (Bapak Pendeta)!"

Kata wanita ini. Ia merasa tertarik melihat pemuda berpakaian putih ini, yang nampaknya halus dan mempunyai daya tarik besar itu. Sejak tadi ia mengamati dan siap menyerang pula, akan tetapi melihat sikap pemuda itu, ia melarang dua orang temannya untuk turun tangan menyerangnya. Seorang pemuda yang usianya baru sekitar dua puluh tahun mempunyai wajah yang sederhana saja, tidak dapat disebut tampan sekali, akan tetapi juga tidak buruk sekali. Bentuk wajahnya sederhana, seperti dapat ditemui pada pemuda-pemuda biasa, akan tetapi kulitnya bersih dan pandang mata yang lembut disertai mulut yang selalu membayangkan senyum ramah itu mempunyai daya tarik yang besar.

Dan bagaimanapun juga, ditemukannya seorang pemuda di istana kuno ini, Istana Gurun Pasir milik Pendekar Naga Sakti, menunjukkan bahwa pemuda ini bukan pemuda biasa! Dua orang pendeta itu menahan tongkat mereka dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan alis berkerut dan heran. Mengapa iblis betina ini mencegah mereka membunuh pemuda itu? Mereka sudah mengenal watak cabul Sin-kiam Mo-li, akan tetapi menurut penglihatan mereka, tidak ada apa-apanya pada pemuda ini yang dapat menggerakkan hati wanita cabul yang mata keranjang. Kalau saja pemuda ini memiliki wajah yang tampan sekali, atau tubuh yang berotot membayangkan kejantanan, mereka masih dapat mengerti. Akan tetapi pemuda ini biasa saja, di mana-mana dapat ditemukan pemuda macam ini?

"Orang muda, siapakah engkau?"

Sin-kiam Mo-li bertanya dengan pedang masih di tangan karena sekali saja pemuda itu membuat gerakan menyerang, tentu akan didahuluinya dengan pedangnya. Tan Sin Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menghadapi wanita yang bertanya itu.

"Namaku Tan Sin Hong,"

Jawabnya singkat namun suaranya tetap halus, tidak memperlihatkan isi hatinya.

"Engkau masih ada hubungan apa dengan mereka bertiga itu?"

Tanya pula Sin-kiam Mo-li sambil menuding ke arah tiga mayat itu.

"Aku adalah pelayan mereka,"

Jawab pula Sin Hong, tenang saja. Mendengar jawaban ini, Sin-kiam Mo-li bertukar pandang dengan kedua orang kawannya. Kini dua orang pendeta itu mengerti bahwa iblis betina itu tadi melarang mereka menyerang karena agaknya hendak menanyai pemuda ini dan memang hal ini penting sebelum mereka menyerbu masuk untuk mencari harta pusaka. Pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam tadi telah dipungut oleh Sin-kiam Mo-li dan kini kedua pedang itu telah diikatkan di pinggangnya, di kanan dan kiri!

"Selain engkau dan mereka bertiga ini, siapa lagi yang tinggal di dalam istana kuno ini sekarang?"

"Tidak ada lagi, hanya kami berempat,"

Jawab Sin Hong.

"Ketika tadi tiga orang majikanmu ini bertempur melawan kami, apakah engkau mengetahui?"

Tenang, tenanglah, bisik hati Sin Hong, kini tiba saatnya menghadapi kesukaran.

"Aku tahu karena aku mengintai dari balik dinding itu."

Dia menuding ke arah pintu depan dari mana dia tadi keluar.

"Kenapa engkau tidak muncul dan membantu tiga orang majikanmu?"

Sin-kiam Mo-li bertanya lagi, suaranya agak ketus dan sinar matanya mencorong penuh selidik memandang wajah yang nampak tidak begitu cerdik itu.

"Aku tidak bisa berkelahi, pula perkelahian itu bukan urusanku, mengapa aku harus membantu?"

Katanya perlahan.

"Akan tetapi engkau berduka melihat mereka tewas?"

Posting Komentar