Kao Kok Cu mengangguk, tersenyum dan tangan mereka saling sentuh dengan mesra, penuh perasaan kasih sayang.
"Selamat berpisah, isteriku."
Mereka pun bergandeng tangan keluar mengikuti Tiong Khi Hwesio. Sejenak mereka berdua seolah-olah merasa sedang menjadi pengantin, melangkah perlahan di belakang seorang pendeta yang mengawinkan mereka, menuju ke tempat sembahyangan! Setelah tiga orang tua ini tiba di pekarangan, Sin-kiam Mo-li segera memberi isyarat kepada semua temannya dan tujuh belas orang itu lalu mengepung tiga orang kakek yang berdiri saling membelakangi membentuk segi tiga.
"Bagaimana, Kao-taihiap? Apakah kita harus melayani mereka ini?"
Terdengar Tiong Khi Hwesio bertanya, sambil tersenyum dan pertanyaan itu seolah-olah hendak menguji apakah jalan pikiran sahabatnya itu sama dengan pikirannya.
"Tentu saja,"
Jawab Kao Kok Cu tenang.
"Omitohud! Untuk apa?"
Tiong Khi Hwesio mendesak.
"Pertama, sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar, dan ke dua, sudah menjadi kewajiban kita pula sebagai orang-orang yang pernah mempelajari ilmu untuk mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang sesat,"
Kini yang menjawab adalah nenek Wan Ceng.
"Ha, ha, ha, bagus!"
Kata Tiong Khi Hwesio.
"Akan tetapi, kita membela diri dan menghadapi mereka ini tanpa marah dan benci?"
"Tanpa marah dan benci!"
Kata kakek Kao Kok Cu dengan suara tegas. Sementara itu, men-dengarkan tiga orang tua itu bercakap-cakap seenaknya, dengan sikap acuh seolah-olah mereka sedang bercengkerama, bukan sedang dikepung dan diancam musuh, Sin-kiam Mo-li menjadi marah sekali. Ia menganggap tiga orang tua itu memandang rendah kepadanya dan teman-temannya, maka ia pun berteriak dengan suara lantang sekali.
"Serbuuuuu! Bunuh mereka....!"
Sin-kiam Mo-li sendiri sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri, menyerang kepada kakek Kao Kok Cu karena ia tahu bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang buntung lengan kirinya inilah yang paling tangguh, Sai-cu Sin-touw si Maling Sakti Muka Singa sudah cepat menyusulkan serangan pula dengan kedua tangannya, membantu Sin-kiam Mo-li. Namun dengan gerakan ringan dan halus, Kao Kok Cu dapat menghindarkan serangan mereka itu dengan elakan dan kebutan ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong. Ok Cin Cu dan Thian Kong Cin-jin, dua orang tokoh Pat-kwa-kauw itu, segera menerjang Tiong Khi Hwesio dengan tongkat mereka.
Tiong Khi Hwesio bergelak tertawa dan dia pun mencabut Cui-beng-kiam yang tadi sudah dipersiapkannya ketika mereka bertiga bersila menyambut datangnya rombongan tamu tak diundang itu dan terjadilah perkelahian antara dia dan dua orang pengeroyoknya yang lihai. Wan Ceng juga sudah mencabut Ban-tok-kiam untuk menghadapi terjangan dua orang kakek tokoh Pek-lian-kauw yaitu Thian Kek Seng-jin yang bersenjatakan tongkat naga hitam dan Coa-ong Seng-jin yang bersenjatakan seekor ular hidup dan dua orang ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi nenek Wan Ceng menghadapi mereka dengan tenang dan pada wajahnya sedikit pun tidak terbayang kemarahan, sungguh jauh bedanya dengan wataknya di waktu yang lalu. Sebelas orang anak buah Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw yang mengepung mereka juga sudah memegang senjata masing-masing.
Seorang diantara mereka mengeluarkan sebongkok hio (dupa biting), membakar ujungnya sampai membara, kemudian membagi-bagikan hio itu, masing-masing mendapatkan tiga batang. Kemudian, tiga batang hio itu mereka pasang di kepala, diselipkan pada ikat kepala yang sudah mereka pakai. Kemudian, sebelas orang itu memakai dupa di kepalanya ini lalu berlari-lari mengelilingi pertempuran itu sambil membaca mantera. Kiranya, seperti yang sudah mereka rencanakan, dipimpin oleh seorang pendeta Pek-lian-kauw, mereka membentuk sebuah barisan siluman yang mempergunakan kekuatan mantera dan ilmu hitam dari Pek-lian-kauw! Barisan yang memupuk tenaga ilmu hitam ini berlari-larian, makin lama semakin cepat mengitari pertempuran itu,
Kemudian tiba-tiba membalik dan demikian berkali-kali sambil membaca mantera sampai muka mereka dipenuhi keringat dan kini ada sinar aneh pada pandang mata mereka seperti mata orang yang tidak sadar lagi, bahkan mulut mereka, yang masih berkemak-kemik itu kini mengeluarkan busa! Kiranya sebelas orang itu seperti dalam keadaan kesurupan dan mulailah mereka melakukan pengeroyokan kepada tiga orang tua dari Istana Gurun Pasir itu! Ketika sebelas orang itu tadi berlari-lari membaca mantera, tiga orang tua sakti merasakan getaran aneh yang mengancam mereka, seolah-olah hendak melumpuhkan semangat mereka. Makin cepat barisan aneh itu berlari, semakin kacau pula perasaan mereka. Namun, berkat kekuatan batin yang hebat, mereka dapat menghalau semua pengaruh ilmu hitam itu. Bahkan ketika sebelas orang itu ikut mengeroyok, tiga orang tua ini melihat seolah-olah sebelas orang itu telah menjadi ratusan banyaknya!
Namun, pengerahan sin-kang membuat mata mereka terbuka penuh kewaspadaan dan lenyaplah bayangan ratusan orang tua itu, dan yang nampak tetap saja sebelas orang yang seperti gila atau kesurupan! Akan tetapi, sepak terjang sebelas orang itu ternyata lebih hebat daripada enam orang pemimpin mereka yang lihai. Kalau enam orang pemimpin mereka hanya mengandalkan kepandaian saja, sebelas orang itu selain kepandaian pribadi, juga mengandalkan kekuatan yang tidak lumrah manusia, dan kenekatan yang mengerikan! Tiga orang tua yang dikeroyok itu sebentar saja terdesak hebat. Kalau dibuat perbandingan, tentu saja tingkat kepandaian kakek Kao Kok Cu yang paling tinggi di antara isterinya dan hwesio itu, juga tingkatnya masih lebih tinggi daripada Sin-kiam Mo-li sekalipun. Ketika dikeroyok dua oleh Sin-kiam Moli dan Sai-cu Sin-touw,
Dia masih dapat mengimbangi kekuatan mereka, bahkan membuat mereka kewalahan. Akan tetapi kini ditambah lima orang anak buah yang seperti kesurupan itu mengeroyok, kakek ini segera terdesak hebat dan beberapa kali tubuhnya sudah terkena tusukan pedang Sin-kiam Mo-li dan bacokan golok di tangan anak buah yang kesetanan itu. Namun, dengan sikap yang masih gagah dan tenang, kakek penghuni Istana Gurun Pasir itu terus membela diri dengan gigih dan sabetan ujung lengan baju kirinya, ketika dia mengerahkan tenaga Sinliong Hok-te, merobohkan dua orang anggauta pasukan yang kesetanan itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak! Namun, yang tiga orang lagi menyerang semakin nekat, juga Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw memperhebat desakan mereka melihat betapa kakek berlengan tunggal itu sudah menderita luka-luka.
Keadaan nenek Wan Ceng lebih parah lagi daripada suaminya. Tingkat kepandaiannya hanya seimbang dibandingkan Coa-ong Seng-jin, bahkan masih kalah dibandingkan tingkat Thian Kek Seng-jin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu. Dikeroyok dua saja ia sudah repot, hanya mengandalkan pedang Ban-tok-kiam yang ampuh itu sajalah ia masih dapat melindungi dirinya. Akan tetapi, ketika tiga orang yang kesetanan itu maju mengeroyok, ia pun tak dapat menghindarkan lagi senjata para pengeroyok sehingga menderita luka-luka, bahkan hantaman tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin yang mengenai pundak dekat leher membuat ia menderita luka dalam yang cukup parah. Namun, nenek ini memang hebat. Luka-luka di tubuhnya tetap saja tidak dapat membangkitkankemarahannya.
Ia menahan rasa nyeri dan gerakan pedangnya tetap hebat sehingga ia pun berhasil menusuk roboh Coa-ong Seng-jin dengan pedangnya. Begitu tertusuk lambungnya oleh Ban-tok-kiam, Coa-ong Seng-jin menjerit dan roboh tak berkutik lagi, tubuhnya berubah menjadi kehitaman karena racun yang amat hebat dari pedang Ban-tok-kiam. Melihat betapa sutenya tewas, Thian Kek Seng-jin menjadi semakin marah dan mendesak sehingga tongkatnya kembali berhasil menghantam betis kanan nenek Wan Ceng sehingga roboh terguling! Tiga orang yang kesetanan itu menubruk dengan golok mereka. Namun, Wan Ceng membabat dan dua orang roboh oleh Ban-tok-kiam dan tewas seketika. Wan Ceng berhasil melompat dan segera membuat pedangnya menghadapi pengeroyokan Thian Kek Seng-jin yang kini hanya dibantu oleh seorang anak buah yang masih nekat kesetanan.