Telah puluhan tahun mereka bertapa, tanpa mengisi perut, hanya beberapa tahun sekali mereka keluar dari gua untuk minum air telaga sebuah yang terdapat di puncak gunung itu.
Mereka bercakap-cakap sebentar untuk bertukar pendapat, kemudian masuk ke dalam gua pula untuk melanjutkan pertapaan mereka.
Di pegunungan yang banyak puncaknya itu, terdapat sebuah puncak bukit kecil dan disitu terdapat lain gua pertapaan.
Tapi yang bertapa disitu seorang manusia, seorang pertapa laki-laki yang gagah lagi sakti.
Diapaun bertapa disitu menyucikan diri dan bermohon menjadi dewa.
Pada suatu hari, ketika seluruh puncak bukit-bukit di situ diliputi halimun putih tebal, pertapa itu keluar dari gua untuk pergi ke dalam hutan dan memetik buah yang dapat dimakan.
Tapi ketika ia sedang berjalan perlahan menuruni puncak, tiba-tiba ia melihat dua batang sinar memancar dari puncak Kam-hong-san.
Ia terkejut sekali karena sinar itu cahayanya keemas-emasan dan tahulah ia bahwa dua ekor naga-sakti yang bertapa disitu telah mendekati kesempurnaan dan boleh dibilang telah berhasil baik dalam pertapaan mereka! Mungkin telah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, karena pada saat yang kebetulan sekali itu, pertapa itu kena asap hawa-hawa kotor yang keluar dari dunia ramai dan berkumpul diatas puncak, terbawa awan dan mega.
Maka tiba-tiba saja timbullah iri hati dan kecewa dalam kepala dan hatinya.
Ia merasa malu sekali mengapa ia seorang manusia sampai kalah oleh dua ekor naga itu.
Buktinya, sedangkan ia sendiri belum berhasil apa-apa dalam pertapaannya, adalah dua ekor naga itu telah sampai di dekat pantai cita! Rasa iri dan dengki mengamuk hebat di dadanya hingga ia menyerah terhadap godaan ini.
Ia gunakan kesaktiannya untuk terbang melayang kepuncak Kam-hong-san.
Benar saja, dua cahaya terang itu mencorot keluar dari dua buah gua yang berdampingan.
Timbullah marahnya dan ia membentak marah ke arah dua gua itu.
"Hai, siluman naga yang rendah! Kalian telah mengotorkan puncak bukit ini.
Pergilah kalian sebelum pinto mewakili Thian menghukum kalian!" Kedua naga mendengar bentakan nyaring dan keras ini menjadi heran dan keluarlah mereka dari gua masing-masing.
Naga jantan yang bersisik putih segera menegur pertapa itu.
"Engkau seorang manusia pertapa mengapa ganggu kami? Apakah salah kami? Maka kau bersikap seperti ini?" "Eh, siluman jahat kau masih berpura-pura! Tak tahukah kau bahwa aku telah bertahun-tahun bertapa di puncak gunung ini? Kalian yang berhawa siluman sekarang mengotorkan tempat ini hingga mengganggu sekali pertapaanku.
Hayo kalian pergi sekarang juga, kalau tidak terpaksa pinto bersihkan tempat ini dan membunuh kalian." Naga betina yang bersisik hitam mulus menjadi gemas dan berkata kepada naga putih.
"Saudaraku Pek Liong (naga putih), kakek ini begini sombong.
Biarlah kucoba kesaktiannya!" Maka bertempurlah pertapa itu melawan naga hitam.
Mereka berkelahi dengan seru, saling mengeluarkan kesaktian hingga mereka dari atas tanah terbang ke atas mega-mega dan bertempur diantara awan hitam.
Kilat menyambar-nyambar dan berhari-hari mereka bertempur tiada hentinya.
Melihat kesaktian pertapa itu, naga putih tidak sabar lagi.
Ia melayang dan terjang pertapa itu, menggantikan naga hitam.
Maka kalahlah pertapa itu dan ia kena ditiup pergi oleh naga putih.
Karena sakit hati, pertapa itu menaruh dendam.
Ia mencari daya untuk membalas, tapi apa daya? Sepasang naga itu terlampau sakti dan kuat baginya.
Tapi dasar ia manusia dan memiliki otak manusia yang penuh tipu daya dan muslihat, akhirnya ia mendapat akal juga.
Ia tahu bahwa pada musim kemarau dan hawa sangat panasnya, kedua naga itu akan keluar gua dan minum air telaga diatas gunung itu.
Maka ia menjaga dengan sabar di dekat telaga sambil mempersiapkan semacam ramuan obat beracun.
Benar saja, ketika musim sedang panas-panasnya, kedua naga itu keluar dari guha mereka dan dengan berbareng sambil bercakap-cakap mereka menuju ketelaga dengan gembira.
Keduanya merasa gembira dan puas karena pertapaan mereka sudah mendekati hasil baik.
Mereka tidak tahu sama sekali bahwa petapa itu dengan cepatnya melempar ramuan obat yang mempunyai pengaruh luar biasa ke dalam air yang hendak mereka minum.
Tanpa ragu-ragu sedikitpun mereka minum dengan segar dan nikmatnya.
Kemudian mereka kembali ke puncak gunung.
Si pertapa yang tadinya bersembunyi melihat betapa ke dua naga itu benar-benar telah minum air yang telah dicampurnya dengan racun hebat, menjadi girang sekali dan menanti-nanti hasil perbuatannya yang curang.
Ternyata pengaruh racun itu mujijat sekali.
Kalau hanya racun atau bisa yang berbahaya dan dapat menghanguskan isi perut saja, tak mungkin dapat mempengaruhi dan mencelakakan ke dua naga sakti itu.
Tapi racun atau obat yang dilepas oleh pertapa itu adalah racun yang langsung merangsang perasaan dan melemahkan iman, lalu membangkitkan nafsu-nafsu keduniaan yang telah lama dapat ditekan dan dipadamkan oleh kedua naga itu.
Kini obat itu menjalar dan bekerja dengan hebat.
Nafsu-nafsu yang telah padam dan terpandam di dasar hati kedua naga sakti itu kini mulai bernyala kembali dan timbul menguasai seluruh hati dan pikirannya.
Maka mulai merahlah kulit muka mereka dan mulai suramlah cahaya mata mereka dan mulai suramlah cahaya meling pandang dan timbullah hati suka dan tertarik kepada masing-masing dan lupalah mereka bahwa pantangan terbesar bagi pertapaan mereka ialah menurutkan napsu hati.
Kesadaran mereka kini dikuasai hati, hati dikuasai pikiran dan pikiran dikuasai pancaindera mereka.
Maka di bawah pengaruh ramuan obat mujijat itu, kedua naga sakti mulai bercumbu dan melupakan segala! Ternyata obat itu tidak bertahan lama mempengaruhi kedua naga yang sebenarnya telah mempunyai batin yang teguh dan kuat itu.
Beberapa hati kemudian, lenyaplah pengaruh obat itu dan keduanya kembali sadar kembali dari kekhilapan.
Alangkah menyesal dan malunya hati mereka.
Kedua perasaan ini lalu bersatu dan berubah menjadi perasaan marah yang hebat.
Mereka dapat menduga bahwa keadaan mereka yang tidak sewajarnya dan bagaikan mabok itu tentu terkena pengaruh obat mujijat.
Maka dengan penuh kemarahan dan dendam, mereka berdua turun gunung dan mencari pertapa itu.
Si pertapa yang ketahui pula akan hal ini, segera melarikan diri dari gunung ke gunung.
Tapi sepasang naga itu tidak mau melepaskannya, dan tiada hentinya mengejar.
Hati mereka terlampau menyesal dan sedih hingga kini hanya satu tujuan mereka, yakni membalas dendam! Akhirnya di puncak sebuah gunung di pegunungan Thai-san, kedua naga dapat menangkap pertapa denga hati gemas mereka lalu membunuhnya dan menghancurkan tubuhnya.
Namun mereka masih merasa penasaran karena hasil pertapaan yang puluhan tahun lamanya itu lenyap dan membuat hati mereka berduka.
Mereka lalu bertapa kembali, tapi para dewa yang melihat pelanggaran yang mereka lakukan, lalu memberi hukuman kepada mereka.
Hukuman itu ialah bahwa mereka harus ke alam ramai dan memberi pertolongan kepada manusia untuk tebus dosa mereka.
Sepasang naga-sakti itu lalu mengubah diri menjadi sepasang pedang mustika, naga jantan bersisik putih berubah menjadi sebatang pedang warna putih dan naga betina bersisik hitam berubah menjadi sebatang pedang berwarna hitam! Karena masih diliputi hawa nafsu mereka ketika mengubah diri menjadi pedang, maka kedua pedang itu masih penuh mengandung hawa Im dan Yang, yaitu hawa positip dan negatif! Pedang putih dan pedang hitam lalu turun ke alam ramai dan keduanya berjuang melalui tangan orang-orang gagah untuk membasmi semua keturunan pertapa yang jahat, yakni manusia-manusia yang hanya mengotorkan dunia dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang dan menindas sesama manusia! "Demikianlah dongeng itu, Sin Wan, dan sampai sekarangpun orangorang jahat, betapapun pandai dia itu pasti mereka takkan terluput dari hukuman.
Maka kau yang mempelajari ilmu silat dariku, kelak harus mencontoh perjuangan suci dari sepasang naga-sakti itu untuk membela keadilan kebenaran serta membasmi segala kejahatan".
Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong akhiri ceritanya yang sangat menarik hati Sin Wan, hingga anak itu seakan-akan lupa akan segala dan melihat sendiri kedua naga dalam dongeng itu di depan mata khayalnya.
"Kalau begitu, bayang-bayang naga yang kulihat tadi adalah Pek Liong dan Ouw Liong yang sakti itu, ngkong?" "Aah, yang kuceritakan hanya dongeng, Sin Wan, dan telah terjadi ribuan tahun yang lalu.
Mana ada liong betul-betul di jaman ini?" kata engkongnya sambil usap-usap jenggotnya yang putih.
"Sin Wan telah jauh malam, hayo kau tidur!" terdengar suara ibu Sin Wan memerintah anaknya.
Sin Wan bersungut-sungut, tapi ia tidak berani membantah kehendak ibunya, dan engkongnya berkata dengan tertawa.
"Benar kata ibumu, Sin Wan.
Tidak baik bagi anak-anak tidur terlampau malam.
Kau tentu masih ingat kata-kata orang dahulu bahwa tidur tak terlambat bangun pagi-pagi, tubuh sehat banyak rejeki!" Sin Wan tertawa pula lalu ia masuk ke biliknya di mana hanya terdapat sebuah dipan bambu sederhana.
Seperti biasa menurut ajaran kakeknya sebelum tidur ia bersamadhi membersihkan napas.
Sin Wan adalah seorang anak yang rajin sekali, dan otaknya sangat cerdik.
Baik dalam pelajaran silat yang diturunkan oleh Kanglam Ciuhiap Bun Gwat Kong kepadanya, maupun dalam pelajaran menulis yang diajakankan ibunya, ia sangat maju dan tekun belajar hingga dalam usia sepuluh tahun saja ia telah memiliki kepandaian gin-kang dan lwee kang yang cukup mengagumkan serta telah menguasai dasardasar ilmu silat tinggi, juga dalam hal membaca dan menulis ia telah dapat melampai pengetahuan kakeknya.
Semenjak mendengar dongeng tentang sepasang naga sakti yang diceritakan kakeknya itu, Sin Wan seringkali duduk termenung di lereng gunung terendah sambil memandang ke arah puncak Kam-hong-san dengan tertarik.